Fathi Osman: Hak Asasi Manusia dan Pluralisme
I. Latar belakang dan Biografi Intelektual
Mohammed Fathi Osman lahir pada 17 Maret 1928 di Mesir, terkenal sebagai penulis dan tokoh pemikir Muslim serta sebagai pendidik. Dia banyak tinggal di California Selatan kegiatannya dicurahkan untuk menulis dan mengajar. Dalam penjelasan lain, Fathi Osman tinggal di Virginia Amerika Serikat, dia selalu tampil sederhana dengan peci khas Pakistan yang dikenal “Peci Ali Jinah”. Dalam kegiatannya sehari-hari, ia didampingi oleh istrinya di mana istrinya tidak memakai “jilbab kaffah” yang membuntal seluruh tubuh – seperti umumnya digunakan perempuan Arab, tetapi kerudung biasa. Ini menunjukkan bahwa Fathi Osman melihat jilbab sebagai salah satu kemungkinan berpakaian ala (model) Islam, bukan satu-satunya.[1]
Pendidikan yang ditempuh Fathi Osman di antaranya, di Universitas Kairo tahun 1948, Universitas Alexandria tahun 1960 dan Universitas Princenton tahun 1992. Fathi Osman mendapat gelar kehormatan sebagai perintis reformasi pemikiran Islam di bidang nilai-nilai demokrasi dan Hak Azasi Manusia.[2] Pemikirannya ini rupanya terlahir dari situasi tempat di mana ia dilahir dan dibesarkan.
Osman lahir dan dibesarkan di lingkungan sosial politik yang keras karena saat itu Inggris masih menguasai Mesir. Situasi ini nampaknya membuat ia terkesan dan ingin mengetahui sejak awal kenyataan hiruk pikuknya perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme, serta anti Barat yang merebak di dunia muslim di Mesir. Pasca pelepasan Inggris atas Mesir, agenda penataan negara dengan sistem pemerintahannya menjadi ajang perselisihan. Minatnya terhadap politik secara resmi terlihat sejak ia bergabung dengan Partai Wafd. Namun, ia juga sangat simpatik dengan keberadaan, perjuangan dan agenda yang diusung Ikhwan al-Muslimin. Karena kedekatannya dengan al-Muslimin, pada tahun 1954, dia dimasukkan ke dalam penjara. Sebelum dipenjara ia mengajar sejarah di Fakultas Seni Universitas Kairo, namun ketika ia dipenjara selama dua tahun, akhirnya ia dipecat. Meskipun demikian, Pengalaman yang dia dapatkan dari bangku kuliah budaya dan politik, pengabdiannya mengajar sejarah di Universitas Kairo dan pergaulannya dengan tokoh-tokoh Ikhwan al-Muslimin menjadi fondasi penting bagi perkembangan pemikirannya.[3]
Di tengah situasi yang tidak menentu, ia memutuskan untuk melanjutkan studinya di bidang hukum di Universitas Alexandria. Tesisnya berbicara tentang sejarah hubungan Islam dengan Byzantium menjadi pijakan ketertarikannya dalam hal hubungan Islam dan Barat. Kematangan Osman dalam ilmu sejarah memang telah teruji secara formal maupun informal.[4] Kemampuannya ini bisa dilihat dari sepak terjang dan tulisan-tulisannya. Ia pernah menjadi Profesor Peneliti pada The Center for Muslim-Christian Understanding Georgetown University, Washington, DC. Selama musim semi tahun 1997. Tempat-tempat mengajarnya termasuk Universitas Southern California, Los Angeles, Universitas Temple, Pennsylvania, Universitas Princeton, New Jersey, Univrsitas Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Arab Saudi, Universitas Al-Ajhar Kairo Mesir dan Universitas Oran di Aljazair. Di antara karya-karyanya: The Islamic Though and Human Change, An Introduction to the Islamic History, Human Rights between the Western Though and the Islamic Law, On the Political Experience of the Contemporary Islamic Movements, The Muslim World, Issues and Challenges, Jihad: A Legitimate Struggle for Human Rights, Muslim Women in the Family and Society, Shari’a in a Contemporary Society; Islamic Law and Change, Concepts of the Quran: A Topical reading of the Divine Revelation.[5]
II. Pluralisme
Di sini Konsep pluralisme dikemukakan untuk memberi pemahaman bahwa perbedaan yang terjadi di antara manusia tidak harus dimaknai sebagai permusuhan dan saling klaim kebenaran antara satu dengan yang lain yang ujungnya berakibat pada konflik bahkan peperangan.[6] Pemikiran Osman tentang Pluralisme sebenarnya ada karena kaitannya dengan HAM. Dalam arti bahwa ketika Osman berbicara soal HAM, mau tidak mau ia juga harus berbicara soal pluralisme. Hal ini ditengarai oleh berbagai persoalan yang terjadi dalam HAM selalu berkaitan beragam ras, suku, budaya dan jenis kelamin. Islam tidak tinggal sendiri, tetapi dengan orang yang non-muslim. Tak bisa dipungkiri bahwa salah satu alasan dasar terjadinya ketidakadilan atau pelanggaran HAM juga karena kita hidup dalam dunia yang plural. Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengetahui apa dan bagaimana pluralisme itu?
Pluralisme berasal dari kata pluralis yang berarti jamak, lebih dari satu, atau pluralizzing sama dengan jumlah yang menunjukkan lebih dari satu, atau lebih dari dua yang mempunyai dualis; sedangkan pluralisme adalah suatu keadaan atau paham dalam masyarakat majemuk dan bersangkutan dengan system social politik sebagai budaya yang berbeda-beda dalam satu masyarakat.[7] Sementara di dalam kamus Filsafat, pluralisme memiliki beberapa ciri antara lain: pertama, pluralisme adalah realitas fundamental yang bersifat jamak. Hal ini berbeda dengan dualisme yang menyatakan bahwa realitas fundamental ada dua dan monisme menyatakan bahwa realitas fundamental hanya satu. Kedua, banyak tingkatan hal-hal dalam alam semesta yang terpisah tidak dapat diredusir dan pada dirinya independent. Ketiga, alam semesta pada dasarnya tidak ditentukan dalam bentuk dan tidak memiliki kesatuan atau kontiunitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan koheren dan rasional fundamental. Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda dan dipergunakan dalam cara yang berlainan pula.[8]
Berkaitan dengan pluralisme ini, Islam telah menawarkan banyak hal melalui Nabi Muhammad dan al-Qur’an; diantaranya al-Qur’an (7:172-173), (17:70) yang menyuratkan, bahwa kita harus membuka diri dan berdialog dengan komunitas lain supaya bisa hidup bersama dalam masyarakat. Kemudian hal lain yang diperlukan adalah nilai-nilai yang harus ditaati semua masyarakat secara permanen (“..moral values as justice, honesty and truthfulness are permanently needed in any human society).[9] Dari sini bisa dipahami bahwa Islam mengakui adanya pluralisme dalam masyarakat lokal, komunitas negara, komunitas internasional yang tidak bisa dihindari. Untuk itu, hal ini harus disikapi dengan cara membuka diri, berdialog dengan komunitas lain, agama lain, seperti yang telah disiratkan dalam al-Qur’an dan praktek Nabi Muhammad SAW ketika memimpin Negara Madinah. Permusuhan atau memusuhi komunitas lain justru nanti akan merugikan Islam sebagai agama dunia.[10]
Pluralisme mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan legal yang melindungi dan mensahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi maupun kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan maupun perolehan. Pluralisme menuntut pendekatan yang serius terhadap upaya memahami pihak lain dan kerja sama yang membangun semua pihak. Semua manusia seharusnya menikmati hak-hak dan kesempatan yang sama, memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas, kepentingan dan juga seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga negara atau warga dunia.[11]
Orang muslim dalam suatu negara tertentu, harus hidup dengan orang non-muslim atau sebaliknya. Oleh karena itu harus ada kesadaran, bahwa tidak ada satupun pemahaman yang tunggal mengenai kebenaran. Karenanya berbagai ragam keyakinan, kelembagaan, komunitas seyogianya muncul bersama dan menikmati pengakuan yang sama. Hubungan-hubungan itu
Seyogianya juga selalu bersifat membangun keyakinan kelompok tertentu, baik itu menyangkut kebenaran khusus maupun umum.[12] Hal ini akan tercipta, jika setiap orang muslim maupun non-muslim saling terbuka satu sama lain dan tidak eksklusif. Dan, hal inilah yang sangat ditekankan Osman dalam pemikirannya tentang HAM.
III. Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi manusia (HAM) mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita. Kata ‘hak’ sendiri sudah sering kita gunakan dalam hidup keseharian kita. Kata ‘hak’ dan istilah HAM ini sudah kita dapatkan sejak kita duduk di bangku Sekolah Dasar. Kita juga mungkin telah mengetahui maknanya. Namun, kali ini, penulis akan mencoba mengajak kita untuk mengkajinya lebih dalam dari perspektif Fathi Osman dalam kaitannya dengan Islam. Istilah hak manusia baru muncul setelah Revolusi Prancis, di mana para tokoh borjuis berkoalisi dengan tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah mereka miliki sejak lahir.[13] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa HAM terlahir dari pengalaman real atau situasi masyarakat yang ditindas kala itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), telah disebutkan beberapa arti untuk hak, yaitu: "benar, milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, derajat atau martabat, dan wewenang menurut hukum".[14] Defenisi yang terdapat dalam KBBI ini rupanya tidak lari jauh dari arti etimologisnya. Secara etimologi, hak berasal dari bahasa Arab, yang berarti sesuatu yang tetap dan kokoh. Atas dasar ini, al-Qur'an telah menyifati Allah SWT dengan al-Haq. Penyifatan ini terdapat di dalam al-Qur’an al-Hajj: 62, "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang bathil" (QS. 22:62).[15] Pada prinsipnya, hak-hak asasi manusia merupakan istilah khusus yang menunjuk pada hak-hak setiap manusia dalam kehidupan sosialnya. Hak-hak manusia tersebut merupakan nilai universal yang disepakati oleh setiap orang untuk dihormati, seperti hak untuk hidup, hak beragama, hak berpendapat, hak mengenyam pendidikan dan hak berkarya. Konsep HAM memiliki karakteristik pokok, yaitu setiap orang menikmati hak-hak dasar tersebut berdasarkan kenyataan bahwa ia adalah manusia tanpa diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, bahasa, agama, dan lainnya.[16] Bahkan sekarang kita mengenal juga hak untuk berpartisipasi dan masih banyak hak-hak lainnya.
Berbicara soal hak dalam bagian lain dari Al-Qur’an dikatakan bahwa semua anak Adam yang terlahir ke dunia ini mempunyai martabat yang sama antara satu dengan yang lain. Martabat yang dimiliki anak Adam ini, harus dilindungi dan dipertahankan, baik oleh hukum maupun oleh penguasa negara. Manusia adalah makhluk intelek yang diberikan potensi untuk memiliki perbuatan baik dan jahat, sedangkan tanggung jawab universal manusia adalah melindungi hak individu dan hak sosial semenjak ia dilahirkan.[17] Namun demikian, di dalam Islam masih terjadi persoalan-persoalan lain yang berkaitan dengan pelanggaran HAM. Dari persoalan-persoalan ini lah Fathi Osman mencari tahu faktor penyebab terjadinya berbagai pelanggaran HAM ini.
Osman akhirnya menemukan beberapa problematika modernitas berkaitan dengan HAM dalam Islam, diantaranya:
1. Sumber Utama (The basic Sources)
Problematika sumber utama biasanya bermuara pada keyakinan mayoritas umat Islam bahwa sumber utama hukum dalam Islam adalah Al-Quran dan Hadis. Keyakinan ini cenderung membuat mereka menolak hukum-hukum positif yang dibuat oleh manusia. Apalagi, jika ternyata ada perbedaan di antara hukum positif tersebut dengan syariah (hukum Allah).[18] Hidup umat Islam sejatinya diatur oleh kedua hukum ini. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika kedua hukum ini bersinggungan dengan hukum-hukum yang dibuat manusia. Akan menjadi lebih rumit ketika hukum-hukum lain yang merupakan produk manusia itu bertentangan dengan syariah yang mereka pegang. Apalagi jika dalam suatu wilayah atau negara tertentu, Islam menjadi mayoritas. Prinsip mayoritas ini dengan sendirinya menolak yang apa yang datang dari luar Islam, termasuk menerima hukum-hukum buatan manusia. Hal ini tidak berarti bahwa Islam akan mengalah ketika menjadi penduduk minoritas dalam sebuah negara. Komitmen ke-Islaman untuk taat pada al-Qur’an adalah mengikat.
2. Terminologi dan semantik (Terminology and Semantic)
Berkaitan dengan ini, umat Islam sepertinya telah terbiasa dengan term-term yang sudah ada dalam Al-Qur’an. Buku suci ini dianggap sebagai pemberian Yang Ilahi, sehingga apa yang ada di dalamnya—semua termnya—dianggap sebagai sesuatu Yang Ilahi. Konsekuensinya, kontennya berlaku abadi dan tidak akan mengalami perubahan. Nah, hal inilah yang sangat bertentangan dengan perspektif Barat. Sebagai contoh kata freedom yang dalam konteks Barat berarti kebebasan. Namun, dalam konteks Al-qur’an freedom hanya diartikan sebagai pembebasan para budak.
3. Konsep Perubahan (Concept of Change),
Semua penciptaan baik yang berupa materi atau hidup manusia secara terus menerus akan mengalami perubahan, baik menyangkut pribadi atau masyarakat. Perkembangan manusia juga berbeda sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat Ajaran Islam melalui al-Qur’an sangat definitif dan jelas mengungkapkan tentang prinsip-prinsip yang permanen untuk merespon secara dinamis tentang perubahan manusia dan keabadian Tuhan. Hal ini tertulis dalam al-Qur’an 28:88, 52:26-27, 112: 1-2. Akan tetapi, persoalan yang dihadapi umat Islam adalah ketika mereka berhadapan dengan modernitas yang diperkenalkan oleh Negara Barat – negara Barat menyukai perubahan.[19]
4. Formulasi dan Kodifikasi (Formulation and Codification)
Problem lain yang dihadapi umat Islam adalah persoalan teknis terkait dengan formulasi dan artikulasi hukum-hukum modern. Sebagian besar umat Islam percaya bahwa warisan hukum yang mereka miliki sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan, di segala ruang dan waktu. Mereka cenderung ingin menerapkan apa yang diwariskan generasi masa lalu, tanpa bisa membedakan antara ilmu hukum (jurisprudence) dan hukum (legislation).[20] Problem tersebut terjadi pada aspek terminologis maupun pada masalah adaptasi terhadap perubahan. Orang Muslim selama ini merasa cukup dengan hukum yang sudah ada dan bisa berlaku di semua tempat dan waktu dan dalam konteks manusia yang beragam.[21] Mentalitas yang tidak terbuka dengan perubahan inilah yang selalu menimbulkan persoalan. Hal ini karena pada kenyataannya hukum-hukum yang ada tidak bisa menjangkau semua aspek kehidupan yang sudah semakin berkembang. Oleh karena itu, ketika ada persoalan yang muncul, maka akan ada banyak pendapat bahkan akan saling mengklaim kebenaran.
5. Kesetaraan dan ‘Orang lain’ (Equality and The “Other”)
Orang Islam dituntut untuk memperlakukan non-muslim dengan adil, terbuka, dan baik, selama yang non-muslim tidak melakukan penyerangan atau permusuhan terhadapa mereka. Umat muslim harus menampakkan kecondongannya pada kedamaian dan kerukunan. Dalam sejarah pun banyak cerita yang menunjukkan bahwa masyarakat muslim bergaul dan bersikap baik dengan non-muslim. Semuanya ini sudah termuat dalam Al-Qur’an, tinggal saja bagaimana umat muslim menghidupinya. Dan memang pada kenyataannya, hal ini sudah direaalisasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Namun, yang menjadi persoalan adalah apa yang diimplementasikan muslim terhadap the other masih sebatas nicety, sikap baik, bukannya equality. Nicety mengimplikasikan sikap superioritas, muslim bisa berbuat baik terhadap the other, untuk menjaga superioritasnya, perasaan lebih baik dari orang lain. Akan tetapi orang Muslim belum sepenuhnya menunjukkan equality, sikap sama diri dengan orang lain. Equality sejatinya tidak akan terwujud jika tidak ditopang dengan nicety. Oleh karena itu, menurut Osman kedua sikap ini harus dimunculkan muslim dalam membangun pergaulan dengan orang lain, tidak bisa dipisah-pisahkan. Setidaknya, kedua sikap itu menjadi fondasi bagi dua hal, yakni dalam hubungannya dengan perempuan dan hubungannya dengan mereka yang non-muslim.[22] Berkaitan dengan dua relasi ini, umat muslim diharapkan mampu melihat kembali perspektif universalitas manusia yang ada dalam HAM.
Umat Islam diharapkan untuk melihat HAM sebagai hukum yang berlaku universal dan karena itu berlaku untuk semua orang. Penerapan HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang bulu dan segala perbedaan yang dimiliki. Menurut perpektif universalitas manusia, the other atau ‘orang lain’ itu adalah ‘aku yang lain’, dalam arti harus memandang sama semua manusia, baik itu laki-laki atau perempuan, ras-etnis, kepercayaan, usia, atau ideologinya dan lain sebagainya. Secara khusus kita akan melihat bagaiamana Islam harus berelasi dengan yang bukan Islam dan juga antara laki-laki dengan perempuan dalam hidup bersama.
Persamaan untuk Perempuan
Berbicara soal persamaan untuk perempuan sesungguhnya mau berbicara soal relasi antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, persamaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan abad ini lebih trend kita disebut persamaan gender. Hal ini menjadi suatu problem dalam Islam, karena Osman melihat di dalam Islam terjadi ketidakadilan perlakuan terhadap kaum perempuan. Hak kaum perempuan tidak dicanangkan, Hal ini nyata dari tindakan apresiasi bagi kaum perempuan. HAM yang sesungguhnya berlaku universal yang mengakui persamaan derajat bagi semua manusia, tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama, dan jenis kelamin, rupa-rupanya mengalami kehilangan maknanya. Banyak terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan. Oleh karena itu, Osman ingin agar pentingnya persamaan hak untuk kaum laki-laki dan perempuan.
Di sini, Osman mendasarkan argumentasi kesetaraan perempuan melalui term zawj, zawjah dan bentuk jamak keduanya azwaj yang disebutkan dalam al-Qur’an. Dari istilah ini, Osman mengatakan bahwa seharusnya Muslim mempunyai kesadaran lebih tinggi dari lainnya. Secara etimologis, zawj yang menunjuk arti suami dan zawjah istri, berasal dari kata yang sama, yang arti dasarnya adalah “pasangan”.[23] Dari sini sebenarnya Osman ingin mengatakan bahwa sudah sejak diciptakan, laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya ada untuk saling melengkapi dan tidak ada yang lebih tinggi untuk menguasai yang lainnya. Untuk itu, tidak ada superioritas di dalamnya. Oleh karena itu, keduanya wajib diperlakukan sama.
Dalam masyarakat, menurut Osman, laki-laki dan perempuan setara dan bekerja sama untuk saling menanggung dan bertanggung jawab satu sama lain dalam memenuhi kewajiban-kewajiban kolektifnya terhadap masyarakat secara keseluruhan. Perempuan mempunyai hak bersuara, menjadi anggota parlemen, menteri, hakim, dan bahkan tentara. Di negara modern, tidak ada satupun, baik laki-laki maupun perempuan yang mempunyai kekuasaan absolut.[24]
Relasi dengan Non-muslim
Pluralitas global benar-benar tidak dapat dihindari, maka umat Islam tidak bisa hanya menutup sebuah keadilan begitu saja—karena jumlahnya di dunia ini termasuk minoritas—kecuali jika mereka mau menjamin keadilan non-muslim sebagai minoritas yang tinggal di negara yang mayoritas Muslim.[25] Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa umat Islam harus bertindak adil kepada semua orang, termasuk di dalamnya yang bukan Islam. Hukum universalitas manusia yang ada dalam HAM, sesungguhnya juga tedapat dalam Al-Qur’an. Maka, setiap orang diberikan kesempatan untuk mengimplementasikannya dalam hidup harian mereka.
Namun pada kenyataannya, masih banyak yang berlaku tidak adil kepada sesama manusia yang bukan Islam. Melihat kenyataan ini, Osman akhirnya berpendapat bahwa, rupanya harus dikaji ulang pemahaman orang muslim akan hukum yang mereka hidupi dan yang menjadi dasar hidup mereka. Menurutnya, perlu adanya suatu kesempatan rethinking bagi umat Islam. Akhirnya, melalui pendekatan terminologis nicety dan equality, Osman memaparkan masalah hubungan ini. Semestinya umat Islam tidak hanya berhenti pada “bersikap baik” (nicety) kepada umat yang beragama lain, tetapi juga harus memandang mereka dengan pandangan yang sama sebagaimana Islam itu sendiri (equality).[26] Kiranya maksud dari konsep HAM universal adalah “persamaan” atau “kesetaraan” yang bukan hanya sekedar “menyenangkan”. Muslim dan non-muslim seharusnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama di sebuah masyarakat dalam hidup bersama—meskipun dalam mayoritas muslim/negara muslim. Hal ini berarti non-muslim dapat bersuara, menjadi anggota parlemen, menteri, hakim, tentara dan lain sebagainya. Mereka seharusnya menikmati hak-hak dasar mereka berupa keyakinan, ekspresi, dan kebebasan berkumpul bersama.
IV. Kesimpulan dan Relevansi
Pemikiran Osman tentang HAM ini sangatlah penting bagi kehidupan kita. Secara khusus ketika ia berbicara soal relasi antarumat beragama—relasi muslim dengan non muslim dan kesetaraan gender (relasi laki-laki dan perempuan). Seperti yang kita ketahui bahwa negara kita (Indonesia) adalah negara pluralis yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras yang berbeda-beda. Oleh karena itu, hemat saya pemikiran Osman penting juga untuk kita terapkan dalam negara kita ini. Akan tetapi, perlu diingat bahwa di dalam Islam masih banyak yang sangat fanatik dengan The Basic Sources mereka. Mereka ini sering kita kenal dengan nama Islam garis keras. Sangat tidak mudah bagi mereka, jika kita katakan bahwa Al’Qur’an harus mengalami pembaruan pemahaman sesuai perkembangan zaman, seperti yang ditawarkan Osman. Untuk itu, kita perlu menggunakan metode dan waktu yang tepat untuk menerapkan pemikiran ini di kalangan para garis keras.
Pemikiran Osman, sejalan dengan pemikiran tokoh Islam Indonesia yang sangat terkenal yaitu Abdurrahman Wahid atau Gusdur. Gusdur juga banyak berbicara soal HAM, pluralisme dan juga berkaitan dengan kesetaran gender atau persaman perlakuan untuk kaum laki-laki dan perempuan. Dalam bukunya, Gusdur mengungkapkan bahwa di negeri-negeri yang nota benenya muslim, justru pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia banyak terjadi.[27] Di Indonesia banyak dijumpai berbagai tindakan pelanggaran HAM yang berbau agama. Sebagai contoh yang masih aktual, misalnya konflik Front Pembela Islam (FPI) dengan Gubernur Jakarta[28]; pembakaran rumah ibadat di Situbondo, Tasikmalaya, Maluku dan juga tragedi Ambon dan Poso serta masih banyak lagi pelanggaran HAM lain yang terjadi di Indonesia yang tidak saya sebutkan satu demi satu dalam tulisan ini. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran Osman ini sangatlah bermanfaat dan juga relevan dengan Negara Indonesia. Pemikiran Osman ini menjadi sebuah tanggapan yang sangat signifikan akan situasi negara kita ini.
Pemikiran Osman tentang relasi muslim dengan non-muslim ini sungguh sangat relevan dengan negara Indonesia. Persoalan ini sudah bertunas sejak terbentuknya negara ini. Para founding fathers—baik yang ‘nasionalis sekular’ maupun yang ‘nasionalis Islamis’—bahkan sampai mengerutkan dahi untuk menemukan suatu keputusan yang adil. Di dalam Panitia 9 BPUPKI, yang merancang naskah UUD 1945, pertukaran pendapat dari dua kelompok ini akhirnya memperoleh konsensus yang memenangkan semua pihak. Hal itu tercantum pada alinea ketiga dari UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Dari alinea ini, kita bisa kaitkan dengan konsep relasi muslim dan non-muslim yang dicita-citakan Osman. Setiap kita harus memberi kebebasan kepada sesama untuk menganut keyakinannya masing-masing dengan hidup toleransi dan saling menghargai satu sama lain dan bukan saling menyerang dan menjatuhkan.
Daftar Pustaka
Ach. Mus’if, Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Fathi Osman, Volume 6. No. 02. September 2014 (Prodi Hukum Bisnis Syariah Universitas Trunojoyo Madura (UTM).
Bagus, Lorens, 2006, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Depdikbud.
Muafiah, Evy, 2011, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Konsepsi Fathi Osman, ISLAMICA, Vol. 5, No. 2.
Mu’ammar, M. Arfan; Hasan, Abdul Wahid, dkk., 2012, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, Yogyakarta, IRCiSoD.
Rasyid, H. Hatamar, Esensi Ham Dalam Islam Relevansinya Dengan Demokrasi, Makalah Kepala Kantor wilayah Kementerian Agama Provinsi Bangka Belitung.
Fauzi, Ihsan Ali "Hak Asasi Manusia", 1992
Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Dinamika Masa Kini, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve.
Mahmudi, Rethinking Islam and Modernity Kajian Pemikiran Fathi Osman Tentang Pluralisme dan HAM, Jurnal Lisan Al-hal Vol. 4, No. 2, Desember 2012, Fakultas Tarbiyah IAI Ibrahimy, Situbondo.
Fuad Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke II, Jakarta, Balai Pustaka.
Osman, Mohammed Fathi, 2006, The Children Of Adam: an Islamic Perspective on pluralism, Jakarta, Paramadina.
Osman, Mohammed Fathi, On Reflection: Towards an Islamic Dynamism in an Era of Globalism, The Institute for the Study of Islam in the Contemporary World at the Omar Ibn Al Khattab Foundation.
Kholis, Nur., 2014, Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Toleransi Umat beragama dan Implikasinya dalam Pendidikan Agama Islam, (Tesis Magister Program Pascasarjana, Program Studi Agama Islam), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
[1] Ach. Mus’if, Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Fathi Osman, Volume 6. No. 02. September 2014 (Prodi Hukum Bisnis Syariah Universitas Trunojoyo Madura (UTM), hlm. 302-303.
[2] Ach. Mus’if, Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Fathi Osman, hlm. 303.
[3] Evy Muafiah, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Konsepsi Fathi Osman, ISLAMICA, Vol. 5, No. 2, Maret 2011, hlm. 310-311.
[5] M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk., Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, Yogyakarta, IRCiSoD, 2012, hlm. 293.
[6] Mahmudi, Rethinking Islam and Modernity Kajian Pemikiran Fathi Osman Tentang Pluralisme dan HAM, hal. 332-333.
[7] Fuad Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi II), Jakarta, Balai Pustaka, 1990, hlm. 777.
[8] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 2006, hlm. 853.
[9] Fathi Osman, On Reflection: Towards an Islamic Dynamism in an Era of Globalism, The Institute for the Study of Islam in the Contemporary World at the Omar Ibn Al Khattab Foundation, hlm. 1.
[10] Mahmudi, Rethinking Islam and Modernity Kajian Pemikiran Fathi Osman Tentang Pluralisme dan HAM, , hlm. 334.
[11] Mohamed Fathi Osman, The Children Of Adam: an Islamic Perspective on pluralism, trj.Irfan Abu bakar, Jakarta, Paramadina, 2006, hlm. 2-3.
[12] Mahmudi, Rethinking Islam and Modernity Kajian Pemikiran Fathi Osman Tentang Pluralisme dan HAM, hlm. 334.
[13] M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk., Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, hlm. 289.
[14] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Depdikbud, 1982, hlm. 154.
[15] H Hatamar Rasyid, Esensi HAM dalam Islam dan Relevansinya dengan Demokrasi, Makalah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bangka Belitung, hlm. 1.
[16] Ihsan Ali Fauzi, "Hak Asasi Manusia", dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Dinamika Masa Kini, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992, hal. 161.
[17] Mahmudi, Rethinking Islam and Modernity Kajian Pemikiran Fathi Osman Tentang Pluralisme dan HAM, Jurnal Lisan Al-hal Volume 4, No. 2, Desember 2012, Fakultas Tarbiyah IAI Ibrahimy Situbondo, hlm. 334.
[19] Mahmudi, Rethinking Islam and Modernity Kajian Pemikiran Fathi Osman Tentang Pluralisme dan HAM, hlm. 337.
[20] Ach. Mus’if, Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Fathi Osman, hlm. 309.
[21] Mahmudi, Rethinking Islam and Modernity Kajian Pemikiran Fathi Osman Tentang Pluralisme dan HAM, hlm. 337.
[22] Evy Muafiah, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Konsepsi Fathi Osman, hlm. 317-318.
[23] Evy Muafiah, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Konsepsi Fathi Osman, hlm. 318.
[24] Evy Muafiah, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Konsepsi Fathi Osman, hlm. 319.
[25] “Fathi Osman, Islam and Human Rights, hlm. 47” dalam buku: M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk., Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, hlm. 307.
[26] Evy Muafiah, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Konsepsi Fathi Osman, hlm. 320.
[27] “Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda Islam Kita” dalam Nur Kholis, Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Toleransi Umat Beragama dan Implikasinya dalam Pendidikan Agama Islam, (Tesis Magister Program Pascasarjana, Program Studi Agama Islam), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014, hlm. 2.
[28] Baca juga berita ter-update dari konflik ini, “Ketua MUI ” kita harus BERJIHAD gantikan AHOK !!! Allahhuakbar !!!”, Kyai Cholil, sapaan akrab dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Bidang Seni dan Budaya ini, mengutip ayat Al-Qur’an yang melarang kaum Muslimin memilih orang-orang kafir sebagai pemimpin. Kutipan Al-Qur’an yang dikutipnya berbunyi: ““Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28). Baca selengkapnya dalam http://www.berita5.com/2016/05/30/ketua-mui-kita-harus-berjihad-gantikan-ahok-allahhuakbar/, diunduh pada Minggu, 05 Juni 2016, pukul 14.16 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar