Karl Rahner dan Pemikirannya
O
L
E
H
Agustinus Veriyanto
3622
Karl Rahner
I. Tentang Buku
Judul: Karl Rahner
Pengarang: Karen Kilby
Penerbit: Kanisius
Kota Terbit: Yogyakarta
Tahun Terbit: 2001
Editor Seri: Peter Vardy
Jumlah Halaman: 96 hlm
II. Tentang Tokoh
1. Garis besar tentang Karl Rahner
Karl Rahner dilahirkan di Freiburg, Breisgau, Jerman Barat pada tahun 1904 dari sebuah keluarga Katolik Bavaria kelas menengah yang sangat taat. Saat usianya genap 18 tahun yakni di tahun 1922 ia menyelesaikan sekolah menengahnya dan kemudian masuk serikat Yesus dan menjadi seorang Yesuit selama hidupnya. Ia dididik dan dibina sebagai seorang Yesuit hingga pada tahun 1932 ia diperkenankan untuk ditahbiskan menjadi seorang imam. Setelah ditahbiskan menjadi Imam, yakni pada tahun 1934—1936 ia menjalankan kuliah tingkat doktoral dalam bidang filsafat, dan dalam jenjang waktu ini, di samping fokus pada kuliah, ia juga rajin mengikuti seminar-seminar tentang Martin Heidegger—ada kemungkinan ini salah satu penyebab pemikirannya dipengaruhi oleh Martin Heidegger. Setelah menyelesaikan kuliah doktoral dalam bidang filsafat di tahun 1936, ia pun melanjutkan kuliah doktoral dalam bidang teologi dan di tahun berikutnya ia juga sudah mulai mengajar tentang teologi. Pada tahun 1939 ia gagal meraih gelar Ph.D filsafat, namun di tahun yang sama juga tesisnya diterbitkan dengan Judul Spirit In The World. Beliau adalah seorang yang gemar menulis. Sehingga di samping mengajar, ia juga banyak menulis buku, bahkan hingga ia pensiun pun ia tetap melanjutkan kegemarannya ini.
Pada tahun 1941 bukunya berjudul Herarer of the World diterbitkan. Namun di tahun 1950, ia mengalami suatu penolakan, di mana bukunya yang berisi tentang Pengangkatan Maria ke surga tidak diizinkan untuk diterbitkan. Pengalaman yang tidak mengenakkan itu tidak meredupkan semangatnya untuk terus menulis, hingga pada tahun 1954 volume pertama dari bukunya yang berjudul Theological Investigations diterbitkan. Pada tahun 1962 terdapat problem lagi mengenai tulisannya, di mana ia mendapat pemberitahuan dari Roma bahwa semua tulisannya harus diadakan pengecekan oleh Roma dan disensor jika ada yang tidak mereka kehendaki, dan kemudian baru tulisan itu bisa diterbitkan. Di tahun yang sama (1962) juga ia menjadi ‘peritus’. Seorang ahli teologi dalam Konsili Vatikan II. Pada tahun 1971, beliau pensiun dari mengajar. Namun ia tetap terus menulis, hingga di tahun 1974, bukunya yang berjudul Foundations of Christian Faith diterbitkan dan akhirnya ia meninggal pada tahun 1984 di Innsbruck, Austria di usiannya yang ke-80
2. Kepribadian Rahner
Rahner adalah seorang tokoh yang tidak ingin mengedepankan dirinya. Ia tidak ingin mementingkan dirinya. Ketika diminta untuk menuliskan autobiografinya, ia menolaknya. Ia juga orang yang tidak suka untuk selalu diwawancarai, dan bahkan ketika diwawancari tentang dirinya, ia malah menggunakan kesempatan itu untuk berbicara dan menjelaskan tentang teologi dan keadaan Gereja. Apabila dipaksa untuk menceritakan tentang dirinya, seringkali ia menjelaskan dengan singkat dan sedapat mungkin agar terkesan tidak menarik.
Rahner tumbuh dalam keluarga Kristen kelas menengah – keluarga Kristen yang sederhana, atau bahkan boleh dikatakan kelas menengah ke bawah. Mereka adalah tujuh bersaudara. Mereka hidup harmonis dan saling mencintai satu sama lain, ‘seperti biasa, kami saling mencintai, kalau kita ingin menggunakan kata ini. Pada masa-masa itu hanya ada sedikit masalah; dan hanya masalah yang dialami orang pada umumnya’ (IR 31). Selama sekolah ia tergolong murid yang biasa-biasa saja bahkan mudah merasa bosan berada di kelas.
Ketika ditanya mengenai kemampuannya dalam menulis dan juga jumlah buku yang ditulisnya, ia mengatakan bahwa tidak ada yang menarik dan istimewa. Baginya menulis adalah suatu kegiatan yang terjadi dengan sendirinya. Ia hanya memiliki beberapa hobi dan juga ia orangnya inverior sehingga tidak terlalu banyak terlibat dalam berbagai kehidupan sosial.
Rahner memang memiliki karakter pendiam—guru agama di sekolahnya menyarankan kepada dia untuk jangan masuk ke serikat Yesuit karena ia terlalu menarik diri dan juga mudah marah—atau mungkin itu disebabkan oleh keinginannya untuk tidak diwawancarai sebagai seorang ‘tokoh besar’. Namun demikian, banyak mahasiswa dan rekan dosennya sangat bersemangat untuk menulis tentangnya. Ia dikenal sebagai seorang dosen yang kharismatis dan mampu membangkitkan kesetiaan dan kehangatan di antara mereka yang mengenalnya.
3. Bagaimana dengan Karya-karyanya?
Seperti yang telah kita ketahui bahwa, Rahner adalah seorang penulis ulung. Sebagian besar koleksi tulisannya termuat dalam dua puluh tiga jilid Theological Investigation. Buku tersebut memuat berbagai macam topik yang menarik untuk kita nikmati dan jadikan kajian ilmu. Dari malaikat sampai senjata nuklir, dari pengalaman akan Allah sampai sejarah sakramen pengampunan. Dalam beberapa jilid terakhir tulisannya, kita bisa melihat bahwa ia cenderung menulisnya dengan lebih singkat dan sederhana tetapi mudah untuk dipahami. Sementara tulisannya dalam jilid-jilid awal cukup sulit, tetapi sangat kaya untuk kajian pengetahuan.
The Practice of Faith, yang diterbitkan oleh Karl Rahner dan Albert Raffelt, kita bisa menemukan tulisan-tulisan tunggal Rahner yang sangat bermanfaat. Di dalam buku tersebut kita bisa menemukan tulisan-tulisan karya spiritual dan pastoral Rahner yang dipaparkan secara singkat tapi cukup padat. Oleh karena teologi akademis Rahner dan tulisan-tulisan spiritualnya saling terkait, maka banyak pokok pikirannya yang dibahas di buku ini.
Karya Rahner yang juga tidak kalah menariknya dan juga menjadi satu prasyarat untuk membaca tulisan-tulisannya adalah tulisannya tentang doa, misalnya Encounters with Silence atau On Prayer. Pilihan lain juga, kita bisa membaca transkrip dari para pewawancaranya. Koleksi yang paling bermaanfaat dari transkrip-transkrip tersebut adalah Karl Rahner in Dialogue. Selain itu, Faith in a Wintry Season, yang memuat hasil wawancara yang telah dilakukan selama dua tahun terakhir sebelum kematiannya, juga cukup menarik, seperti hanya wawancara autobiografis I Remember.
Dari semua karyanya, Rahner memiliki karya yang paling sistematis adalah Fondations of Christians Faith: An Introduction to the Idea of Christianity. Namun, tulisan ini tergolong tulisan yang cukup sulit dan sepertinya kurang sesuai jika kita ingin memakainya sebagai pengenalan akan pemikiran Rahner, dan sebaiknya dihindari untuk dibaca lebih dulu dari karya-karyanya yang lain. Ini berarti bahwa sebelum membaca buku ini kita diharapkan untuk membaca tulisan-tulisannya yang lain terlebih dahulu. Akan lebih mudah, untuk mendapatkan gambaran tentang pemikiran Rahner dengan membaca berbagai tulisannya yang lain yang bisa kita temukan dalam Theological Investigation dibandingkan dengan mencoba memahami sepenuhnya melalui Fondations of Christian Faith.
Bagi setiap orang yang secara khusus merasa tertarik dengan pemikiran filosofis dari Karl Rahner, alangkah baiknya perlu melihat Hearer Of The Word, yang aslinya merupakan sekumpulan kuliah tentang filsafat agama, atau Spirit in the World, yang aslinya merupakan tesis doktoral Rahner (namun gagal) dalam bidang filsafat. Kedua karya tersebut tidaklah mudah, dan boleh digolongkan sebagai karyanya yang cukup sulit. Jika dibuat perbandingan antara keduanya, rupanya Hearer of the Word sedikit lebih mudah daripada Spirit in the World, khususnya dalam bentuk terjemahan yang diterbitkan oleh Joseph Donceel.
Karl Rahner masih memiliki banyak tulisan lain yang belum saya jelaskan di sini. Untuk mengetahui tulisan-tulisannya yang lain, kita bisa melihat suatu bibliografi yang dituliskan dalam bahasa Inggris dan yang dapat kita temukan dalam volume ke-25 dari The Heythrop Journal.
III. Sumbangan Pemikiran
I. Kristen Anonim
Kristen anonim adalah pemikiran yang dikemukakan oleh Karl Rahner yang cukup terkenal dan mendapat perhatian besar tetapi juga mendapat banyak kritikan. Teori ini tercipta dari pandangan Rahner yang melihat agama-agama lain juga menerima rahmat dari Allah. Menurutnya, Allah juga memberikan rahmat melalui Kristus kepda agama-agama lain, dalam kepercayaan dan ritual mereka masing-masing.
Teori tersebut membuat seseorang harus memilih dan menghindari salah satu dari dua ajaran yang ada, yakni menerima dan mengakui ajaran tradisional tentang paham bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan ataukah kita harus meninggalkan ajaran tradisional Kristen yang berkaitan dengan sentralitas dan keunikan Kristus, serta melihat semua agama sebagai jalan yang sama-sama baik menuju Allah dan keselamatan. Nah, di sini semacam tercipta dua golongan, golongan yang pro dan yang kontra dengan Rahner.
Teori tentang Kristianitas anonim sering dituduh sebagai salah satu bentuk egoisme dan keangkuhan. Orang Kristen yang pro Rahner menganggap dia lebih memahami apa yang benar-benar dipercayai dan dialaminya dibandingkan dengan orang lain. Ia tidak mempertimbangkan perbedaan dari setiap agama, tetapi secara langsung menyatakan bahwa semuanya merupakan bentuk-bentuk ‘anonim’. Sedangkan mereka yang kontra dengan Rahner dan mengajukan kritikan kepadanya, cenderung melihat pengertian tentang kristen anonim dalam konteks yang lebih luas, dan menganggapnya sebagai suatu jawaban atas suatu pertanyaan yang berbeda dari pertanyaan yang diajukan Rahner. Mereka lebih memikirkan yang tepat bagi dialog antaragama sedangkan Rahner berusaha mengatasi permasalahan intelektual, atau bahkan dapat dikatakan sebagai masalah pastoral, yang muncul dari dan bagi komunitas Kristen.
Rahner menegaskan bahwa, Kristen anonim dalam suatu artian tertentu memiliki keinginan penuh untuk menjadi Kristianitas eksplisit. Namun, mungkin terdapat hal-hal tertentu yang membuat mereka tidak bisa melakukannya. Mungkin mereka dihalangi oleh berbagai kendala eksternal. Orang Kristen anonim mungkin saja belum pernah mendengar ajaran Kristen atau mungkin belum mendengarnya dengan tepat. Namun, keimanan eksplisit merupakan arah yang ditujui oleh keimanan anonim. Kristianitas yang kelihatan, yang terartikulasikan, adalah bentuk pemenuhan dari Kristianitas anonim, tingkat tertinggi yang menjadi tujuan pergerakannya. Dan bila Kristianitas eksplisit merupakan pilihan yang bisa dipilih, maka pilihan tersebut harus diterima. Seseorang tidak dapat terus menjadi seorang Kristen anonim sementara secara eksplisit ia menolak Kristianitas; artinya Kristianitas yang sebenarnya dan seutuhnya, dan bukan Kristianitas yang dipahami secara keliru. Jadi, Kristianitas anonim memang sungguh-sungguh ada, namun itu tidak pernah bisa dijadikan alasan bagi orang Kristen untuk tidak perlu lagi menjadi orang Kristen yang eksplisit, yang kelihatan. Intinya bahwa, hal tersebut hanya bisa memberi suatu cara berpikir tentang orang lain, dan tidak pernah bisa menjadi cara berpikir tentang diri sendiri.
II. Kristus dan Rahmat
Menyatakan kekhasan mutlak dari Yesus Kristus adalah salah satu ciri Kristianitas, dan ciri khas masyarakat modern adalah tidak sependapat dengan pernyataan itu. Alasan mereka tidak sependapat karena realitas bahwa “seorang tukang kayu dari Timur Tengah ini” adalah satu-satunya inkarnasi Allah dan juga bahwa Dia adalah sumber keselamatan karena Dialah yang membawa keselamatan bagi seluruh dunia, dan hal inilah yang menjadi suatu masalah yang cukup rumit di kalangan masyarakat modern. Dunia menunjukkan adanya suatu keteraturan, dan kita cenderung melihat semua pernyataan yang bertentangan dengan keteraturan tersebut dengan penuh kecurigaan.
Untuk memahami tulisan-tulisan Rahner tentang Kristus kita perlu melihatnya sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh Rahner untuk menangani persoalan ini—penilaian sisi kemanusiawian Yesus oleh masyarakat modern. Untuk menghadapi itu, Rahner memiliki satu pola khusus yang bisa kita temukan dalam tulisan-tulisannya untuk menanggapi dua komitmen tersebut: bila Kristus dianggap sebagai individu yang unik secara mutlak, maka ia harus ditunjukkan sebagai bagian dari suatu rangkaian kenyataan. Kristus adalah unik, namun tidak terlepas dari yang lain, unik tapi tersatukan dalam satu gambaran yang lebih luas.
Tentang bagaimana kita melihat Kristus dalam konteks suatu gambaran yang lebih luas tentang arti menjadi manusia, kita dapat melihat dari pemecahan yang dilakukan oleh Rahner dalam menghadapi masalah klasik tentang kodrat Yesus (sebagai Tuhan dan manusia). Dalam menginterpretasikan sifat kemanusiaan dan ketuhanan Yesus, Rahner mengusulkan satu cara yakni kita tidak hanya bisa mengatakan bahwa ‘ia sama sekali berbeda dari kita’, tetapi kita juga harus mengatakan bahwa ‘ia sama dengan kita, hanya lebih’. Ia mengatakan bahwa kita dapat berpikir tentang Kristus dalam suatu cara tertentu sehingga pemahaman kita mengenai siapa Kristus sebenarnya dapat dipadukan ke dalam pemahaman kita tentang siapa kita sebenarnya.
Kekhasan Rahner dalam menulis tentang Kristus adalah bahwa ia tidak pernah berusaha untuk membuktikan Kristus atau membuktikan bahwa kemungkinan besar Kristus adalah Tuhan. Ia selalu memahami Kristus sebagai Allah dan manusia, sebagaimana yang telah diterima oleh umat Kristen sejak Konsili Chalcedon tahun 431. Dua sifat tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pembagian, dan tanpa pemisahan. Namun Rahner akhirnya bertanya juga, ‘Apakah ini benar? Dan ‘Apakah artinya?’
Pertanyaan yang kedua adalah cukup sulit untuk memperoleh jawabannya. Seperti yang diketahui oleh Rahner, sebagian besar orang Kristen mempunyai gambaran tertentu tentang bagaimana sifat kemanusiaan dan ketuhanan bisa bertemu dalam diri Kristus. Dan bahkan beberapa dari gambaran ini bersifat bidaah. Oleh karena itu, Rahner menyimpulkan bahwa sebagian besar orang Kristen saat ini sangat mirip dengan orang doketis (docetist). Doketisme adalah suatu pemikiran atau paham yang dengan sangat tegas ditolak oleh Gereja purba; paham tersebut menyangkal sifat kemanusiaan Yesus yang sejati, dan melihat kemanusiaan Yesus hanya dalam penampilannya saja.
Rahner menjelaskan bahwa Kristus dapat dilihat sebagai radikalisasi, sebagai contoh utama, dari apa yang merupakan kebenaran tentang diri kita semua. Bila berorientasi pada Allah adalah yang membuat kita menjadi manusia, maka seseorang yang sangat berorientasi pada Allah sehingga ia menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah, dan dikuasai sepenuhnya oleh Allah, ia itu benar-benar seseorang yang memiliki sifat manusia sepenuhnya. Dengan demikian, ketuhanan Kristus dapat dipahami tidak sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kemanusiaan Kristus, namun pemenuhan utamanya. Menjadi manusia berarti melampaui semua hal, ‘melampaui’ semua hal yang menuju Allah: bila transendensi ini kemampuan melampaui, dilaksanakan sampai pada tingkat yang paling tinggi dang paling radikal, maka berarti menjadi manusia adalah sama dengan menjadi Allah: ‘Inkarnasi adalah contoh yang unik dan mulia dari perwujudan kenyataan manusia seutuhnya.
Di sini rahner ingin mengatakan bahwa kita bisa berpikir tentang Kristus, bukan sebagai suatu keanehan yang tak dapat dipahami, bukan sebagai Allah dalam wujud manusia, dan bukan sekedar sebuah paradoks, namun sebagai suatu contoh khusus dari arti menjadi manusia, sama seperti kita—hanya lebih, sama seperti kita, bila kita berpikir terus sampai pada batasnya. Ketuhanan Kristus menurut Rahner merupakan sesuatu yang di satu sisi hanya menjadi milik Kristus—sesuatu yang unik dan absolut—namun di sisi lain ketuhanan tersebut dapat ditempatkan dalam suatu fenomena yang lebih luas dari kemanusiaan kita semua.
III. Sakramen dan Simbol
Karl Rahner juga banyak menulis tentang sakramen, dan dia menjelaskannya dengan cukup menarik. Hal itu karena berbagai alasan, salah satunya adalah bahwa seringkali sulit untuk dipahami bahwa seorang Rahner yang menulis tentang sakramen adalah juga seorang yang mengembangkan pemahaman tentang rahmat secara universal. Sifat ‘tidak sistematis’ dari pendekatannya muncul di sini. Hal itu menjadi menarik ketika ia bisa menyesuaikan pemikirannya itu dan membuatnya bersesuaian satu sama lain. Hal itu juga butuh kejelian dari kita dalam melihat bagian-bagian dari pemikirannya.
Alasan lain yang membuat tulisannya tentang sakramen menjadi penting adalah bahwa pemikiran tersebut menggambarkan suatu cara yang memungkinkannya untuk menjadi seorang pemikir konservatif sekaligus radikal. Sejauh ia berpegang pada teologi katolik, ia adalah seorang pemikir konservatif. Sebagai contohnya, Rahner menerima bahwa pembaptisan, penguatan, ekaristi, pentahbisan, perkawinan, pengakuan, dan pengurapan orang sakit merupakan sakramen. Ia melihat sakramen mempunyai khasiat tersendiri.
Karl Rahner juga menjawab berbagai permasalahan yang mempertanyakan eksistensi dari sakramen. Apakah sakramen dianggap memberi sesuatu yang baru ataukah sakramen tersebut hanya mengingatkan orang beriman akan apa yang telah terjadi sebelumnya? Apakah sakramen harus dipahami sebagai sesuatu yang menyebabkan rahmat ataukah itu hanya saja sebuah simbol belaka? Menjawab pertanyaan ini Rahner mengatakan bahwa antara rahmat dan simbol tak boleh dilepaspisahkan dalam memahami sakramen karena sakramen tidak hanya menyimbolkan dan menyebabkan rahmat, tetapi menyebabkan dan menyimbolkannya secara tepat.
Kebanyakan orang kurang memahami arti kata simbol yang sesungguhnya yang dimaksudkan di sini. Rahner menegaskan bahwa simbol harus dipikirkan sebagai sesuatu yang membuat nyata apa yang disimbolkannya. Simbol yang bukan sekedar menunjukkan kepada dunia bahwa suatu objek ada tetapi lebih daripada itu ia juga menghadirkannya kepada dunia. Berkaitan dengan ini, akhirnya ia menegaskan bahwa inkarnasi juga bisa dan seharusnya dipahami dalam arti simbolis juga. Dalam inkarnasi Allah menyatakan atau ‘mewujudkan’ diri-Nya dalam bentuk manusia. Rahner menduga bahwa akan ada kecendrungan untuk berpikir bahwa sifat kemanusiaan Yesus hanya sebagai sarana Allah, sarana yang digunakan oleh pribadi kedua dari Trinitas untuk menyampaikan kabar gembira kepada dunia. Oleh karena itu menurut Rahner Putra benar-benar merupakan simbol dari Bapa. Seperti halnya sebuah simbol, yang tidak identik namun juga tidak hanya berbeda dari apa yang disimbolkannya, demikian juga Putra bebeda namun sekaligus merupakan kesatuan dari Bapa. Seperti halnya sebuah simbol yang mengekspresikan apa yang disimbolkannya, demikian pula Putra, yang juga disebut ‘Sabda’ (Logos), dapat disebut ekspresi diri dari Bapa. Sebagaimana sesuatu baru bisa menjadi dirinya dengan diekspresikan dalam simbolnya, demikian pula Bapa tidak akan menjadi Bapa tanpa Putra.
0 komentar:
Posting Komentar