Catholic Modernism
Sejarah Modernisme
Secara historis istilah modernisme pertama kali muncul dalam konteks Kristiani Barat, sekitar akhir abad ke-19, yakni dipakai untuk menamai gerakan teolog Katolik yang menggulirkan pemikiran kritis dan skeptis terhadap dogma tradisional Kristen. Terpengaruhi oleh semangat pembaruan pemikiran yang bergulir sejak masa Renaissans dan Aufklarung, kelompok ini berusaha menawarkan suatu kritisisme biblis yang radikal serta lebih menekankan aspek etis dari iman ketimbang aspek teologisnya.[1] Kaum Modernist Katolik menghilangkan keyakinan Kristen yaitu pesan penebusan dosa yang dibawakan Kristus. Bagi mereka, pesan Kristus semata-mata untuk melayani di sini dan sekarang.[2] Mereka menghargai wahyu, tetapi hanya menerima hal-hal yang dapat dibenarkan secara rasional.[3]Abad ini ditandai sebagai abad pencerahan. Kesempatan ini menjadi kesempatan emas bagi para modernist untuk berekspresi secara bebas dan berkembang dengan subur.
Gereja bereaksi dengan gusar. Kaum Modernis dituduh sebagai anggota-anggota Freemason. Banyak dari mereka yang ditahan atau bahkan diasingkan, dan buku-buku mereka disimpan dalam indeks. Pada tahun 1903, Paus Leo XIII mendirikan Pontifical Biblical Cammision (Komisi Biblical Kepausan) untuk memantau pekerjaan para sarjana Bibel. Pada tahun 1907, Paus Pius X mengeluarkan kutukan resmi bagi kaum modernis, dan pada 1 September 1910, Gereja menuntut para pendetanya untuk bersumpah melawan kecendrungan kaum Modernis.[4]
Penulis modernist yang paling terkenal pada masa itu adalah Alfred Loisy. Loisy menulis dalam banyak topik. Buku pertamanya berjudul “ Perjanjian Lama” muncul pada tahun 1890. Dalam tulisan-tulisan Loisy secara tajam menentang pemikiran-pemikirn Protestanisme dan juga Gereja Katolik. Loisy bersama George Tymrell dan rekan-rekannya menerima kesimpulan paling skeptis dari Alkitab. Mereka menolak setiap gagasan bahwa doktrin atau dogma tidak mungkin salah—entah dia berasal dari Alkitab, gereja, atau paus[5]
Awalnya Gereja tidak mengakui modernisme bahkan berusaha menentangnya. Hal ini tertuang dalam Dokumen Pascendi Dominici Gregis[6]. Ensiklik ini menunjukkan beberapa kesalahan nyata dalam Modernisme, meskipun para ilmuwan dewasa ini tidak sepakat tentang sejauh mana kesalahan-kesalahan itu ada pada pemikiran para ilmuwan yang dituju oleh ensiklik. Loisy dan Tyrell diekskomunikasi; sedang Von Hugel lepas dari hukuman[7].
Dalam badai krisis modernis, Pius X mengeluarkan surat apostoliknya 1907, Lamentabili Sane, mengklarifikasi ajaran Katolik sebagai inspirasi Ilahi terhadap upaya modernis untuk membatasi inspirasi akal.[8] Hal ini pertanda bahwa ternyata akhirnya Gereja pun terbuka untuk mengakuinya. Di dalam Lamentabili Sane kita bisa menemukan banyak tulisan yang mengutip pikiran para modernist. Sementara itu, ajaran Modernis yang tersebar di Inggris disambut dengan hangat oleh Gereja Anglikan. Di antara pengikut gereja Anglikan adalah William Temple, yang menjadi uskup agung Canterbury; ia mendeklarasikan ajaran Modernis sebgai apa yang telah dipercaya oleh orang terpelajar.[9]
Filsafat
Neo-Skolastik menjadi aliran yang banyak berpengaruh dalam modernisme Gereja. Skolastisisme adalah nama sebuah periode di Abad pertengahan yang dimulai sejak abad ke-9 hingga abad ke-15. Masa ini ditandai dengan munculnya banyak sekolah (dalam bahasa Latin schola) dan banyak pengajar ulung. Selain itu, skolastik juga menunjuk pada metode tertentu, yakni metode yang mempertanyakan dan menguji berbagai hal yang rasional secara kritis, untuk diperdebatkan dan diambil jalan keluarnya. Ciri yang dihadirkan disini berkaitan dengan ke rasionalan dari apa yang dihasilkan. Aliran ini menekankan peran akal budi dan ilmu pengetahuan dalam menjelaskah kitab suci dan iman. Sementara Gereja Katolik sendiri mempertahankan peran sejarah dalam memahami iman dan kitab suci. Gereja mengklaim bahwa iman-lah yang seharusnya menampakkan realitas, dan bukan realitas yang menampakkan iman. Namun, aliran ini menjadi sangat berpengaruh dalam membela ajaran iman katolik terutama ketika berhadapan dengan kelompok yang menuntut penjelasan logis atas iman. Modernisme sebenarnya tidak secara langsung bersinggungan dengan filsafat. Pada dasarnya modernisme menganggap dirinya sebagai ilmu estetika yang banyak menekankan elemen naratif dalam mengungkapkan realitas.[10]
Mistisisme
Beberapa tokoh modernis pada sisi tertentu dianggap sebagai mistikus, misalnya Friedrich von Hugel, Henri Bremond, Maurice Blondel, Albert Houtin, dan Alfred Loisy.[11] Mereka semua menyumbangkan pemahaman tentang mistis dan bagaimana hubungannya dengan para mistikus. Modernisme bisa menjadi “berkat” bagi sebagian orang dan menjadi harapan bagi yang lainnya. Gereja Katolik berusaha melindungi ajaran-ajarannya agar tidak diracuni oleh pengaruh-pengaruh modernisme.
Secara sederhana mistisisme dimengerti sebagai keyakinan bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan tidak dapat diperoleh melalui pengalaman biasa, dan tidak melalui pengalaman intelek (akal budi), namun melalui pengalaman mistik atau intuisi mistik yang non rasional.
Mistisisme Kristen adalah filsafat dan praktik tentang pengalaman langsung bersama Tuhan Allah. Meskipun harus diingat bahwa 'pengalaman' adalah suatu istilah yang hangat diperdebatkan dalam pembicaraan mengenai mistisisme, dan bahwa pengalaman yang dipahami semata-mata sebagai keadaan atau kejadian psikologis dapat dipertikaikan. Dalam konteks Kristen Katolik mistisisme biasanya dipraktikkan melalui tiga disiplin, yaitu doa (termasuk meditasi Kristen Katolik dan kontemplasi), berpuasa (termasuk bentuk-bentuk pantang dan penyangkalan diri yang lainnya), dan pemberian sedekah.
Pengaruhnya Terhadap Gereja
Modernisme di dalam Gereja yang biasanya meliputi sebuah pendekatan Rasionalisme terhadap Kitab Suci, sekularisme dan sistem-sistem filosofi modern, meskipun di salah satu sisi dianggap sebagai suatu ajaran sesat oleh Gereja Katolik, namun di sisi lain juga menyumbangkan pengaruh yang signifikan untuk keberadaan Gereja Katolik. Dengannya Gereja Katolik dapat merefleksikan penetapan ajarannya, serta kritis dalam menanggapi berbagai kemungkinan sesat yang merongrong kebenaran ajaran Gereja. Tawaran untuk menggunakan rasio juga menjadi ‘modal’ bagi Gereja untuk bisa mempertanggungjawabkan iman dan ajarannya. Gereja juga digugah untuk merefleksikan kehadirannya di tengah dunia yang cenderung berubah dan sarat dengan munculnya berbagai gerakan dan gagasan baru. Di tengah tantangan zaman, Gereja dituntut agar menempatkan posisinya yang bisa menjawab berbagai tuntutan zaman tersebut. Oleh karena itu, tawaran untuk memposisikan rasio pada tempat yang khusus adalah sesuatu yang mau tidak mau harus dilakukan demi menginterpretasikan berbagai situasi dan menyediakan jawaban bagi situasi tersebut. Gereja pada akhirnya dikenal terbuka terhadap kritikan dan kemudian menengok ke luar untuk membiarkan ‘udara segar’ masuk ke dalam Gereja. Gereja dalam ‘ketenangannya’ tetap menampilkan wajah baru yang bersahabat.
Bibliografi
Wora Emanuel.,
2006, Perenialisme “Kritik atas Modernisme dan Post-Modernisme”, Kanisius, Yogyakarta.
Cillins Michael dan A. Price Matthew.,
2006, Millennium—The Story Of Christianity “Menelusuri Jejak Kristianitas”, Kanisius, Yogyakarta.
Snijders Adelbert.,
2006, Manusia dan Kebenaran “Sebuah Filsafat Pengetahuan”, Kanisius, Yogyakarta.
Baigent Michael, dkk.,
2006, Holy Blood, Holy Grail, , Ufuk Press, Jakarta.
Lane Tony.,
2007, RUNTUT PIJAR Sejarah Pemikiran kristiani, Gunung Mulia, Jakarta.
Wellem F. D.,
2006, Kamus Sejarah Gereja, Gunung Mulia, Jakarta.
Rausch Thomas P.,
2001, Katolisisme Teologi bagi Kaum Awam, Kanisius, Yogyakarta.
Hahn Scott dan Scott David.,
2011, Letter and Spirit (To the Sake of Our Salvation, The Truth adn Humility of God’s Word), Emaus Road, St. Paul Center For Biblical Theology.
Arriaga Manuel P..,
2006,The Modernist-Postmodernist quarrel on Philosophy and Justice, Rowman & Littlefield Publisher, INC., New York.
Tallar, C.J.T.,
2009, Modernists and Mystics, Catholic University of America, New York.
[1] Emanuel Wora, Perenialisme “Kritik atas Modernisme dan Post-Modernisme”, Kanisius, Yogyakarta, 2006, 38
[2] Michael Cillins dan Matthew A. Price, Millennium—The Story Of Christianity “Menelusuri Jejak Kristianitas”, Kanisius, Yogyakarta,2006, 200
[3] Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran “Sebuah Filsafat Pengetahuan”, Kanisius, Yogyakarta, 2006, 55
[4] Michael Baigent, dkk, Holy Blood, Holy Grail, Jakarta, Ufuk Press, 2006, 233
[5] Tony Lane, RUNTUT PIJAR Sejarah Pemikiran kristiani, Gunung Mulia, Jakarta, 2007, 263
[6] Dibaca: Pascendi Dominisi Gregis. Ensiklik yang dikeluarkan pada 8 September 1907 oleh Paus Pius X yang mengutuk ajaran Modernisme. Di dalamnya disebutkan bahwa yang termasuk Modernisme adalah Agnostisme, immanentisme, dan Teori Evolusi. Dinyatakan pula bahwa Modernisme merupakan penggabungan dari segala bidah.” Dikutip dari: F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, Gunung Mulia, Jakarta, 2006, 327
[7] Thomas P. Rausch, Katolisisme Teologi bagi Kaum Awam, Kanisius, Yogyakarta, 2001, 24
[8] Scott Hahn dan David Scott, Letter and Spirit (To the Sake of Our Salvation, The Truth adn Humlity of God’s Word), Emaus Road, 2011, 277
[9] Michael Baigent, dkk, Holy Blood, Holy Grail, 234
[10] Manuel P. Arriaga, The Modernist-Postmodernist quarrel on Philosophy and Justice, Rowman & Littlefield Publisher, INC., Ney York, 2006, 20
[11] C.J.T. Tallar, Modernists and Mystics, Catholic University of America, New York, 2009, 15
0 komentar:
Posting Komentar