Menemukan Kedamaian Batin Melalui Meditasi
(Studi atas Ajaran Ajahn Chah)
Siapakah Ajahn Chah?[1]
Ajahn Chah (juga dikenal dengan gelar Chao Khun Bodhinyana Thera)
dilahirkan dalam keluarga petani yang sederhana, di daerah pinggiran di Provinsi
Ubon Rachathani, Thailand pada tanggal 17 Juni 1918. Ia hidup dalam lingkungan
masyarakat yang taat pada adat istiadat. Bersama dengan rekan sebayanya, ia
masuk biara sebagai novis, di mana ia belajar membaca dan menulis, dan
mempelajari dasar-dasar ajaran agama Budha. Beberapa tahun kemudian ia keluar
karena adanya desakan dari orangtuanya untuk membantu mereka. Namun, panggilan
untuk menghayati hidup monastik mendorong dia untuk masuk lagi ketika dia
berumur dua puluh tahun. Ia kemudian ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhu.
Dalam pencariannya kemudian, ia memutuskan untuk meninggalkan studinya
dan mulai melakukan perjalanan ziarah sejauh 400 kilometer. Ia tidur di hutan
dan makan dari belaskasihan orang-orang di perkampungan. Suatu saat ia singgah
di satu vihara yang kemudian memperkenalkan dia dengan Ajahn Mun Bhuridatto,
seorang guru meditasi. Ajahn Chah menemui persoalan karena ia telah mempelajari
bagaimana mengajarkan moral, meditasi dan kebijaksanaan. Namun bagaimana itu
semua diterapkan dalam tindakan. Ajahn Mun menerangkan bahwa dengan
keseimbangan pikiran dan hati, di sinilah langkah penerapan itu terlaksana.
Tujuh tahun berikutnya, Ajahn Chah menjalankan praktek asketis sebagai seorang
biarawan yang tinggal di hutan, menghabiskan waktunya di hutan, di gua, di
tempat-tempat yang nyaman untuk bermeditasi. Ia tinggal di hutan untuk merenungkan
tentang makna hidup yang sesungguhnya. Ia pernah bermeditasi di tempat
pembakaran mayat untuk menantang ketakutannya akan kematian. Ia duduk di tempat
yang sangat dingin, menghadapi keterasingan, kesepian sebagai seorang biarawan
yang tidak memiliki rumah.
Ajahn Chah, menekankan penerapan dan keseimbangan sikap seperti yang
dihidupinya sendiri. Ia berhasil menarik begitu banyak orang untuk mendengarkan
ajarannya dan melakukan apa yang dipraktekkannya. Ia juga menekankan sikap
kesabaran dan resolusi bagi para simpatisannya.
Kisah Kasih Studi dan Karya-karyanya
Pada usianya yang ke-20 tepat pada tanggal 26 April, 1939 ia kembali
ke biara—sebelumnya ia sudah masuk biara tetapi keluar karena ingin membantu
orang tuanya—dan menyerahkan dirinya untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Dia menghabiskan beberapa tahun
pertama kehidupannya sebagai seorang bhikkhu
untuk mempelajari beberapa dasar tentang Dhamma,
kedisiplinan, dan juga Bahasa Pali dan Kitab Suci. Namun ketika ayahnya
meninggal ia pun sadar dan merasa harus menemukan tujuan hidup yang
sesungguhnya. Rasa kecewa karena ditinggal pergi oleh sang ayah tercinta
mendorongnya untuk menemukan esensi dari ajaran Buddha yang sesungguhnya. Ia
pun meninggalkan segala aktifitas studi dan juga profesi yang sudah
diperolehnya.[2] Pada tahun 1954
ia diundang untuk menetap di sebuah hutan yang sangat lebat di dekat tanah
kelahirannya, Bahn Gor. Hutan ini merupakan hutan yang berpenghuni,
karena dikenal sebagai tempat yang penuh dengan Ular Cobra, Singa dan juga
makhluk halus atau hantu.[3]
Ajaran-ajaran Ajahn Chah telah termuat dalam buku-buku yang
berukuran kecil, di antaranya: Bodhinyana
(1982), A Taste of Freedom (fifth
impression – 2002), Living Dhamma
(1992), Food for the Heart (1992),
The Path to Peace (1996), Clarity of Insight (2000), Unshakeable Peace (2003), Everything is Teaching Us (2004).[4]
Ajaran-ajarannya ini sebenarnya terangkum dalam satu buku yang berjudul The Teachings of Ajahn Chah (A Colecction of
Ajahn Chah’s Dhamma Talks). Saya (penulis) sendiri tidak tahu pasti apa
alasan sehingga The Sangha menerbitkannya dalam buku yang lebih kecil sesuai
dengan judulnya masing-masing. Buku-buku
ini disediakan dalam bentuk pdf, sehingga bisa diakses dengan mudah dan secara
gratis, bahkan kita bisa mencetaknya untuk keperluan pribadi. Namun sekarang
buku-buku Ajahn Chah ini bisa kita temukan dalam bentuk cetak, dan juga dalam
berbagai versi cover. Sebagai contoh,
buku A Taste of Freedom yang
diterbitkan oleh The Sangha sudah
diterbitkan ulang oleh The Wheel,
Buddhist Publication Of Society, penerbit yang berasal dari Srilangka.
Menemukan Kedamaian Batin Melalui Meditasi
Menenangkan pikiran
berarti menemukan keseimbangan yang tepat. Jika kita terlalu memaksakan pikiran
kita untuk mencapai pikiran yang tenang maka kita akan kehilangan keseimbangan.[5]
Hal itu karena kita sudah melampaui batas dari kemampuan pikiran kita untuk
berkonsentrasi. Keseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah keseimbangan
antara pikiran dan dan perasaan (hati) kita. Di mana pikiran dan perasaan harus
sejalan. Kemampuan untuk menyeimbangkan hati dan pikiran inilah yang membawa
kita pada suatu perasaan tenang, lega, dan bahagia. Inilah yang disebut dengan
istilah kedamaian batin.
Banyak jalan untuk
mencapai kedamaian batin. Salah satunya adalah melalui meditasi. Namun sebelum
melakukan meditasi kita harus menenangkan pikiran dulu. Seperti yang sudah saya
katakan sebelumnya bahwa untuk menenangkan pikiran tidak perlu terlalu
memaksakan pikiran kita untuk berkonsentrasi. Tindakan yang terlalu memaksakan
pikiran untuk berkonsentrasi secara penuh adalah bukan untuk menenangkan
pikiran tetapi untuk memperoleh sebuah energi batin dari samadhi[6].
Maka dari itu hal yang paling mendasar yang harus kita lakukan adalah
mengatur pola pernafasan. Kita diharapkan hanya mengikuti irama pernafasan dan
tidak perlu memikirakan sesuatu yang lain,
juga tidak perlu melakukan apa-apa kecuali merasakan keluar dan masuknya
udara melalui hidung kita. Jangan menciptakan penderitaan dengan membuat nafas
lebih panjang atau pendek, amati dan rasakan saja tanpa mengaturnya dengan cara
apa pun, dengan lain kata, kita jangan sampai melekat.[7]
Selanjutnya, pernafasan kita semakin halus dan ringan seperti tidak sedang
bernafas sampai akhirnya kita pun merasa tenang.
Jika pikiran terganggu,
tingkatkan kesadaran dan tarik nafas dalam-dalam sampai tidak ada rongga yang
tersisa, kemudian hembuskan. Lakukanlah ini dua sampai tiga kali, dan kemudian
atur kembali konsentrasi. Pikiran akan kembali tenang. Jika ada gangguan lagi
ulangi proses itu kembali.[8]
Intinya bahwa jika kita terbawa oleh khayalan maka cepatlah untuk sadar kembali
dan bagaimana untuk sadar kembali inilah perlu melakukan metode seperti yang
dijelaskan di atas. Namun tidak cukup sampai di situ, kita juga harus memiliki sati (kesadaran). Sati inilah yang akan mengontrol dan mengawasi terus menerus
pikiran kita. jika pikiran kita sudah mulai melayang jauh entah ke mana, sati inilah yang memberi kesadaran bahwa
kita telah keluar dari pikiran akan tindakan atau aktifitas apa yang sedang
kita lakukan.
Kita tidak bisa hanya
bermeditasi dengan satu sikap badan saja. Ada empat sikap badan yang ditawarkan
yakni: berdiri, berjalan, duduk dan berbaring.[9]
Dengan begini juga mau dimaksudkan bahwa setiap kita bisa menemukan cara yang
cocok untuk kita. maksudnya bahwa kita bisa menemukan sikap tubuh mana yang
bisa membuat meditasi kita berhasil. Keberhasilan dalam bermeditasi bukan
dilihat dari lamanya waktu kita bermeditasi tetapi sejauh mana kita bisa
menenangkan pikiran kita dan bisa mencapai kedamaian batin.
Beberapa orang mengalami
kesulitan dalam bermeditasi, karena mereka tidak memiliki kecendrungan yang
benar. Mereka melakukan meditasi tetapi tidak mendalam. Saya berpikir mungkin
salah satu permasalahannya adalah karena mereka belum menemukan cara yang tepat
dalam bermeditasi, khususnya berkaitan dengan sikap tubuh (posture). Meskipun demikian ada cukup banyak dari orang seperti ini
tidak perlu memerlukan waktu yang lama untuk duduk bermeditasi, mereka hanya
membutuhkan kebijaksanaan yang mereka miliki untuk menemukan suatu kebenaran
dari permasalahan yang dihadapi. Orang-orang seperti ini tidak perlu mencapai
tingkat yang lebih tinggi dalam bermeditasi, cukup dengan mengasa kebijaksanaan
yang sudah dimiliki agar menjadi semakin bijaksana.
Ada orang yang memiliki
pemahaman dan kuat dalam kebijasanaan tetapi lemah dalam samadhi. Ketika mereka duduk untuk bermeditasi, mereka sangat
merasa tidak damai. Mereka cenderung untuk berpikir banyak, mengkontemplasikan
ini dan itu hingga akhirnya mereka mengkontemplasikan kebahagiaan dan penderitaan
dan melihat kebenarannya. Beberapa orang lebih condong pada cara ini daripda samadhi. Baik berdiri, berjalan, duduk
atau berbaring, pencerahan dari Dhamma
dapat mengambil alih. Melalui penglihatan, dan pengendalian diri mereka
mencapai kedamaian. Mereka mencapai kedamaian melalui pengetahuan akan
kebenaran, berjalan melampaui keraguan karena mereka dapat melihat itu untuk
diri mereka.[10]
Ada dua jenis kedamaian—kasar
dan lembut—kedamaian kasar datang dari samadhi. Ketika pikiran diliputi
kedamaian di situ ada kebahagiaan. Pikiran kemudian membawa kebahagiaan menjadi
kedamaian. Tetapi kebahagiaan dan ketidakbahagiaan adalah ‘menjadi’ dan
‘terlahir’. Tidak ada yang dapat melarikan diri atau terlepas dari samasara[11], karena
kita sudah menyatu atau menjadi bagian dari mereka. Jadi kebahagiaan bukanlah
kedamaian dan kedamaian bukanlah kebahagiaan.[12]
Samadhi mampu membawa banyak kerugian atau pun keuntungan bagi sang
meditator atau orang yang melakukan meditasi. Kita tidak bisa katakan bahwa itu
hanya membawa suatu kerugian atau keuntungan. Keduanya mempunyai kemungkinan
untuk dialami oleh sang meditator. Nah, pertanyannya adalah bagaimanakah
caranya agar kita bisa memperoleh keuntungan dari bersamadhi dengan mengurangi
dampak negatif yang akan terjadi? Untuk persoalan ini, Venerable Ajahn Chah
mengatakan bahwa hal itu tergantung dari pribadi sang meditator. Bagi orang
yang tidak memiliki kebijaksanaan, itu akan membahayakan dirinya tetapi bagi orang yang memiliki kebijaksanaan,
samadhi akan memberikan keuntungan yang nyata bagi dirinya, yang bisa
mengantarnya pada suatu pencerahan.
Tipe kedamaian yang datang dari kebijaksanaan inilah yang
perlu kita usahakan untuk dicapai. Kedamaian yang lahir dari kebijaksanaan
adalah bukan kebahagian tetapi merupakan kebenaran dari kebahagiaan dan
kitidakbahagiaan.[13]
Dengan kata lain, kedamaian ini bukan sekedar merasakan suatu kebahagiaan
semata tetapi lebih daripada itu orang tetap merasa bahagia meskipun dalam
situasi tidak bahagia. Inilah kebahagian sejati dan ini juga merupakan
keunggulan dari suatu kedamaian yang berasal dari kebijaksanaan. Dan saya
merasa bahwa ini adalah kedamaian yang sebagian besar dimiliki oleh
saudara-saudara kita yang berada di vihara Buddha. Atas dasar inilah Ajahn Chah
menegaskan bahwa happiness is not peace and peace is not happines, agar kita bisa
membedakan antara keduanya.
Dari manakah datangnya
kebijaksanaan? Ketika saya berusaha memahami tulisan Ajahn Chah tentang
meditasi ini saya kadang merasa bingung. Di mana, di sisi lain ia membedakan
antara kedamaian yang berasal dari samadhi dan yang ada karena kebijaksanaan,
tetapi di sisi lain ia tetap mengakui bahwa kebijaksanaan tidak terlepas dari
samadhi. Artinya bahwa kebijaksanaan itu datang dari ketekunan bermeditasi.
Tanggapan Kritis Penulis penulis
Dari pemikiran Ajahn Chah tentang meditasi yang saya pelajari
melalui tulisannya, saya akhirnya merasa bahwa sepertinya beliau sangat
sederhana dalam memaparkannya sehingga mudah dipahami. Kesederhanaan itu tidak
mengurangi isinya yang sangat bermakna. Ajarannya ini sangat praktis, kaya dan
sangat dalam. Saya sendiri dalam mengerjakan tugas ini, saya merasa banyak
mendapat pelajaran dari ajarannya ini. Tetapi meskipun demikian saya menemukan
bahwa kadang-kadang beliau tidak konsisten dan menentang idenya sendiri
yang sudah ia jelaskan sebelumnya. Berikut saya akan mengambil salah satu
contohnya:
Dalam tulisannya tentang meditasi, beliau menjelaskan sebelumnya
bahwa orang yang memiliki kebijaksanaan tidak perlu memerlukan atau melakukan
samadhi karena ia bisa mengatasi masalahnya dan menenangkan pikirannya sehingga
ia mencapai kedamaian. Bahkan lebih ekstrim lagi ia katakan bahwa orang yang
memiliki kebijaksanaan akan merasa tidak nyaman dan tidak menemukan kedamaian
dalam meditasi. Mereka cenderung untuk melihat kebenaran dari apa yang sedang
mereka hadapi. Nah, pertanyaannya untuk kita adalah apakah samadhi (maksudnya kebijaksanaan) memberi sumbangsih terhadap jalannya meditasi atau malah sebaliknya
kebijaksanaan membuat orang tidak membutuhkan meditasi untuk mencapai suatu
kedamaian?
Situasi bangsa Indonesia yang diterjang oleh beragam masalah dapat
menyebabkan masyarakat Indonesia kehilangan arah dan semangat hidup. Tawaran
cemerlang dari ajaran Ajhan Chah bisa menjadi petunjuk bagi mereka untuk
menemukan mutiara indah kedamaian dan kebahagiaan yang sesungguhnya, tanpa
harus tergantung pada apa dan siapapun. Kedamaian yang benar itu tidak
ditimbulkan dari apa yang dimiliki. Inilah juga yang menjadi langkah dasar
untuk meredam gejolak konsumerisme dan hedonisme yang kian merajalela mencekik
manusia termasuk manusia indonesia. Oleh karena itu, kehadiran ajaran Ajhan
Chah mampu menjawab kerinduan mendasar manusia untuk menemukan kedamaian
sesungguhnya. Namun demikian seorang tokoh psikologi yang bernama Albert Allis
(dalam buku Flotation: A Guide for
Sensory Deprivation, Relaxation, & Isolation Tanks) mengeritik praktek
meditasi sebagai terapi untuk mengatasi suatu masalah. Baginya meditasi sebagai
terapi dapat menimbulkan akibat positif dan negatif, di mana di satu sisi,
dengan meditasi seseorang bisa menjadi tenang, namun di sisi lain orang akan
menjadi semacam lari dari persoalan, dan tidak berorientasi pada hasil karya
dari keyakinannya.
Daftar
Pustaka
Chah, Ajahn., 2007, A Taste Of Freedom, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong.
------------------ 2002, Bhikkhus Dhammajoti and Gavesako (ed), The Teachings of Ajahn Chah (A
Colecction of Ajahn Chah’s Dhamma Talks),Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah
Pong.
----------------- 2002, Everything is teaching
Us, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong. Diteruskan oleh Jack Kornifield,
“Food For Heart” The Collected
Teaching Of Ajahn Chah, California, Spirit Rock Meditation Center Woodacre.
------------------ 2007, Everything Is Teaching
Us, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong.
------------------ 2007, The Living Dhamma,
Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong,
[1] Ajahn Chah, A Taste Of Freedom, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong, hal.
3-4. Tetapi perlu diketahui bahwa dalam setiap bukunya terdapat profil tentang
dirinya.
[2]Ajahn Chah, Everything
is teaching Us, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong, 2007, hal. 5.
[3]Diteruskan oleh Jack
Kornifield, “Food For Heart” The Collected Teaching Of jahn Chah, California,
Spirit Rock Meditation Center Woodacre, 2002, hal Xviii.
[4] Ajahn Chah, Bhikkhus Dhammajoti
and Gavesako (ed), The Teachings of Ajahn
Chah (A Colecction of Ajahn Chah’s
Dhamma Talks),Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong, 2007, hal. ii
[5] Ajahn Chah, A Taste Of Freedom, hal. 13.
[6] Samadhi adalah
istilah Pali yang dalam Bahasa Indonesia berarti meditasi.
[7] Ajahn Chah, The Living Dhamma, Thailand, The Sangha,
Wat Nong Pah Pong, hal. 51-52.
[8] Ajahn Chah, The Living Dhamma, hal. 52.
[9] Ajahn Chah, Everything Is Teaching Us, Thailand, The
Sangha, Wat Nong Pah Pong, hal. 125
[10] Ajahn Chah, A Taste of Freedom, hal. 17.
[11] Samsara, sumur kelahiran dan kematian, adalah dunia dari semua kondisi, fenomena, mental dan material, yg
memiliki tiga ciri dari ketidaktetapan, penderitaan, bukan prbadi.
[12] Ajahn Chah, A Taste of Freedom, hal. 24.
[13] Ajahn Chah, A Taste of Freedom, hal. 24
0 komentar:
Posting Komentar