Technology

Fashion/feat-big

Senin, 27 Februari 2017

MENEMUKAN KEDAMAIAN BATIN MELALUI MEDITASI



Menemukan Kedamaian Batin Melalui Meditasi
(Studi atas Ajaran Ajahn Chah)

Siapakah Ajahn Chah?[1]
Ajahn Chah (juga dikenal dengan gelar Chao Khun Bodhinyana Thera) dilahirkan dalam keluarga petani yang sederhana, di daerah pinggiran di Provinsi Ubon Rachathani, Thailand pada tanggal 17 Juni 1918. Ia hidup dalam lingkungan masyarakat yang taat pada adat istiadat. Bersama dengan rekan sebayanya, ia masuk biara sebagai novis, di mana ia belajar membaca dan menulis, dan mempelajari dasar-dasar ajaran agama Budha. Beberapa tahun kemudian ia keluar karena adanya desakan dari orangtuanya untuk membantu mereka. Namun, panggilan untuk menghayati hidup monastik mendorong dia untuk masuk lagi ketika dia berumur dua puluh tahun. Ia kemudian ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhu.
Dalam pencariannya kemudian, ia memutuskan untuk meninggalkan studinya dan mulai melakukan perjalanan ziarah sejauh 400 kilometer. Ia tidur di hutan dan makan dari belaskasihan orang-orang di perkampungan. Suatu saat ia singgah di satu vihara yang kemudian memperkenalkan dia dengan Ajahn Mun Bhuridatto, seorang guru meditasi. Ajahn Chah menemui persoalan karena ia telah mempelajari bagaimana mengajarkan moral, meditasi dan kebijaksanaan. Namun bagaimana itu semua diterapkan dalam tindakan. Ajahn Mun menerangkan bahwa dengan keseimbangan pikiran dan hati, di sinilah langkah penerapan itu terlaksana. Tujuh tahun berikutnya, Ajahn Chah menjalankan praktek asketis sebagai seorang biarawan yang tinggal di hutan, menghabiskan waktunya di hutan, di gua, di tempat-tempat yang nyaman untuk bermeditasi. Ia tinggal di hutan untuk merenungkan tentang makna hidup yang sesungguhnya. Ia pernah bermeditasi di tempat pembakaran mayat untuk menantang ketakutannya akan kematian. Ia duduk di tempat yang sangat dingin, menghadapi keterasingan, kesepian sebagai seorang biarawan yang tidak memiliki rumah.
Ajahn Chah, menekankan penerapan dan keseimbangan sikap seperti yang dihidupinya sendiri. Ia berhasil menarik begitu banyak orang untuk mendengarkan ajarannya dan melakukan apa yang dipraktekkannya. Ia juga menekankan sikap kesabaran dan resolusi bagi para simpatisannya.

Kisah Kasih Studi dan Karya-karyanya
Pada usianya yang ke-20 tepat pada tanggal 26 April, 1939 ia kembali ke biara—sebelumnya ia sudah masuk biara tetapi keluar karena ingin membantu orang tuanya—dan menyerahkan dirinya untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Dia menghabiskan beberapa tahun pertama kehidupannya sebagai seorang bhikkhu untuk mempelajari beberapa dasar tentang Dhamma, kedisiplinan, dan juga Bahasa Pali dan Kitab Suci. Namun ketika ayahnya meninggal ia pun sadar dan merasa harus menemukan tujuan hidup yang sesungguhnya. Rasa kecewa karena ditinggal pergi oleh sang ayah tercinta mendorongnya untuk menemukan esensi dari ajaran Buddha yang sesungguhnya. Ia pun meninggalkan segala aktifitas studi dan juga profesi yang sudah diperolehnya.[2] Pada tahun 1954 ia diundang untuk menetap di sebuah hutan yang sangat lebat di dekat tanah kelahirannya, Bahn Gor. Hutan ini merupakan hutan yang berpenghuni, karena dikenal sebagai tempat yang penuh dengan Ular Cobra, Singa dan juga makhluk halus atau hantu.[3]
Ajaran-ajaran Ajahn Chah telah termuat dalam buku-buku yang berukuran kecil, di antaranya: Bodhinyana (1982), A Taste of Freedom (fifth impression – 2002), Living Dhamma (1992), Food for the Heart (1992), The Path to Peace (1996), Clarity of Insight (2000), Unshakeable Peace (2003), Everything is Teaching Us (2004).[4] Ajaran-ajarannya ini sebenarnya terangkum dalam satu buku yang berjudul The Teachings of Ajahn Chah (A Colecction of Ajahn Chah’s Dhamma Talks). Saya (penulis) sendiri tidak tahu pasti apa alasan sehingga The Sangha menerbitkannya dalam buku yang lebih kecil sesuai dengan judulnya masing-masing. Buku-buku ini disediakan dalam bentuk pdf, sehingga bisa diakses dengan mudah dan secara gratis, bahkan kita bisa mencetaknya untuk keperluan pribadi. Namun sekarang buku-buku Ajahn Chah ini bisa kita temukan dalam bentuk cetak, dan juga dalam berbagai versi cover. Sebagai contoh, buku A Taste of Freedom yang diterbitkan oleh The Sangha sudah diterbitkan ulang oleh The Wheel, Buddhist Publication Of Society, penerbit yang berasal dari Srilangka.
Menemukan Kedamaian Batin Melalui Meditasi
Menenangkan pikiran berarti menemukan keseimbangan yang tepat. Jika kita terlalu memaksakan pikiran kita untuk mencapai pikiran yang tenang maka kita  akan kehilangan keseimbangan.[5] Hal itu karena kita sudah melampaui batas dari kemampuan pikiran kita untuk berkonsentrasi. Keseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah keseimbangan antara pikiran dan dan perasaan (hati) kita. Di mana pikiran dan perasaan harus sejalan. Kemampuan untuk menyeimbangkan hati dan pikiran inilah yang membawa kita pada suatu perasaan tenang, lega, dan bahagia. Inilah yang disebut dengan istilah kedamaian batin.
Banyak jalan untuk mencapai kedamaian batin. Salah satunya adalah melalui meditasi. Namun sebelum melakukan meditasi kita harus menenangkan pikiran dulu. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa untuk menenangkan pikiran tidak perlu terlalu memaksakan pikiran kita untuk berkonsentrasi. Tindakan yang terlalu memaksakan pikiran untuk berkonsentrasi secara penuh adalah bukan untuk menenangkan pikiran tetapi untuk memperoleh sebuah energi batin dari samadhi[6]. Maka dari itu hal yang paling mendasar yang harus kita lakukan adalah mengatur pola pernafasan. Kita diharapkan hanya mengikuti irama pernafasan dan tidak perlu memikirakan sesuatu yang lain,  juga tidak perlu melakukan apa-apa kecuali merasakan keluar dan masuknya udara melalui hidung kita. Jangan menciptakan penderitaan dengan membuat nafas lebih panjang atau pendek, amati dan rasakan saja tanpa mengaturnya dengan cara apa pun, dengan lain kata, kita jangan sampai melekat.[7] Selanjutnya, pernafasan kita semakin halus dan ringan seperti tidak sedang bernafas sampai akhirnya kita pun merasa tenang.
Jika pikiran terganggu, tingkatkan kesadaran dan tarik nafas dalam-dalam sampai tidak ada rongga yang tersisa, kemudian hembuskan. Lakukanlah ini dua sampai tiga kali, dan kemudian atur kembali konsentrasi. Pikiran akan kembali tenang. Jika ada gangguan lagi ulangi proses itu kembali.[8] Intinya bahwa jika kita terbawa oleh khayalan maka cepatlah untuk sadar kembali dan bagaimana untuk sadar kembali inilah perlu melakukan metode seperti yang dijelaskan di atas. Namun tidak cukup sampai di situ, kita juga harus memiliki sati (kesadaran). Sati inilah yang akan mengontrol dan mengawasi terus menerus pikiran kita. jika pikiran kita sudah mulai melayang jauh entah ke mana, sati inilah yang memberi kesadaran bahwa kita telah keluar dari pikiran akan tindakan atau aktifitas apa yang sedang kita lakukan.
Kita tidak bisa hanya bermeditasi dengan satu sikap badan saja. Ada empat sikap badan yang ditawarkan yakni: berdiri, berjalan, duduk dan berbaring.[9] Dengan begini juga mau dimaksudkan bahwa setiap kita bisa menemukan cara yang cocok untuk kita. maksudnya bahwa kita bisa menemukan sikap tubuh mana yang bisa membuat meditasi kita berhasil. Keberhasilan dalam bermeditasi bukan dilihat dari lamanya waktu kita bermeditasi tetapi sejauh mana kita bisa menenangkan pikiran kita dan bisa mencapai kedamaian batin.
Beberapa orang mengalami kesulitan dalam bermeditasi, karena mereka tidak memiliki kecendrungan yang benar. Mereka melakukan meditasi tetapi tidak mendalam. Saya berpikir mungkin salah satu permasalahannya adalah karena mereka belum menemukan cara yang tepat dalam bermeditasi, khususnya berkaitan dengan sikap tubuh (posture). Meskipun demikian ada cukup banyak dari orang seperti ini tidak perlu memerlukan waktu yang lama untuk duduk bermeditasi, mereka hanya membutuhkan kebijaksanaan yang mereka miliki untuk menemukan suatu kebenaran dari permasalahan yang dihadapi. Orang-orang seperti ini tidak perlu mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam bermeditasi, cukup dengan mengasa kebijaksanaan yang sudah dimiliki agar menjadi semakin bijaksana.
Ada orang  yang memiliki pemahaman dan kuat dalam kebijasanaan tetapi lemah dalam samadhi. Ketika mereka duduk untuk bermeditasi, mereka sangat merasa tidak damai. Mereka cenderung untuk berpikir banyak, mengkontemplasikan ini dan itu hingga akhirnya mereka mengkontemplasikan kebahagiaan dan penderitaan dan melihat kebenarannya. Beberapa orang lebih condong pada cara ini daripda samadhi. Baik berdiri, berjalan, duduk atau berbaring, pencerahan dari Dhamma dapat mengambil alih. Melalui penglihatan, dan pengendalian diri mereka mencapai kedamaian. Mereka mencapai kedamaian melalui pengetahuan akan kebenaran, berjalan melampaui keraguan karena mereka dapat melihat itu untuk diri mereka.[10]
Ada dua jenis kedamaian—kasar dan lembut—kedamaian kasar datang dari samadhi. Ketika pikiran diliputi kedamaian di situ ada kebahagiaan. Pikiran kemudian membawa kebahagiaan menjadi kedamaian. Tetapi kebahagiaan dan ketidakbahagiaan adalah ‘menjadi’ dan ‘terlahir’. Tidak ada yang dapat melarikan diri atau terlepas dari samasara[11], karena kita sudah menyatu atau menjadi bagian dari mereka. Jadi kebahagiaan bukanlah kedamaian dan kedamaian bukanlah kebahagiaan.[12]
Samadhi mampu membawa banyak kerugian atau pun keuntungan bagi sang meditator atau orang yang melakukan meditasi. Kita tidak bisa katakan bahwa itu hanya membawa suatu kerugian atau keuntungan. Keduanya mempunyai kemungkinan untuk dialami oleh sang meditator. Nah, pertanyannya adalah bagaimanakah caranya agar kita bisa memperoleh keuntungan dari bersamadhi dengan mengurangi dampak negatif yang akan terjadi? Untuk persoalan ini, Venerable Ajahn Chah mengatakan bahwa hal itu tergantung dari pribadi sang meditator. Bagi orang yang tidak memiliki kebijaksanaan, itu akan membahayakan dirinya tetapi  bagi orang yang memiliki kebijaksanaan, samadhi akan memberikan keuntungan yang nyata bagi dirinya, yang bisa mengantarnya pada suatu pencerahan.
            Tipe kedamaian yang datang dari kebijaksanaan inilah yang perlu kita usahakan untuk dicapai. Kedamaian yang lahir dari kebijaksanaan adalah bukan kebahagian tetapi merupakan kebenaran dari kebahagiaan dan kitidakbahagiaan.[13] Dengan kata lain, kedamaian ini bukan sekedar merasakan suatu kebahagiaan semata tetapi lebih daripada itu orang tetap merasa bahagia meskipun dalam situasi tidak bahagia. Inilah kebahagian sejati dan ini juga merupakan keunggulan dari suatu kedamaian yang berasal dari kebijaksanaan. Dan saya merasa bahwa ini adalah kedamaian yang sebagian besar dimiliki oleh saudara-saudara kita yang berada di vihara Buddha. Atas dasar inilah Ajahn Chah menegaskan bahwa  happiness is not peace and peace is not happines, agar kita bisa membedakan antara keduanya.
Dari manakah datangnya kebijaksanaan? Ketika saya berusaha memahami tulisan Ajahn Chah tentang meditasi ini saya kadang merasa bingung. Di mana, di sisi lain ia membedakan antara kedamaian yang berasal dari samadhi dan yang ada karena kebijaksanaan, tetapi di sisi lain ia tetap mengakui bahwa kebijaksanaan tidak terlepas dari samadhi. Artinya bahwa kebijaksanaan itu datang dari ketekunan bermeditasi. 
Tanggapan Kritis Penulis penulis
Dari pemikiran Ajahn Chah tentang meditasi yang saya pelajari melalui tulisannya, saya akhirnya merasa bahwa sepertinya beliau sangat sederhana dalam memaparkannya sehingga mudah dipahami. Kesederhanaan itu tidak mengurangi isinya yang sangat bermakna. Ajarannya ini sangat praktis, kaya dan sangat dalam. Saya sendiri dalam mengerjakan tugas ini, saya merasa banyak mendapat pelajaran dari ajarannya ini. Tetapi meskipun demikian saya menemukan bahwa kadang-kadang beliau tidak konsisten dan menentang idenya sendiri yang sudah ia jelaskan sebelumnya. Berikut saya akan mengambil salah satu contohnya:
Dalam tulisannya tentang meditasi, beliau menjelaskan sebelumnya bahwa orang yang memiliki kebijaksanaan tidak perlu memerlukan atau melakukan samadhi karena ia bisa mengatasi masalahnya dan menenangkan pikirannya sehingga ia mencapai kedamaian. Bahkan lebih ekstrim lagi ia katakan bahwa orang yang memiliki kebijaksanaan akan merasa tidak nyaman dan tidak menemukan kedamaian dalam meditasi. Mereka cenderung untuk melihat kebenaran dari apa yang sedang mereka hadapi. Nah, pertanyaannya untuk kita adalah apakah samadhi (maksudnya kebijaksanaan) memberi sumbangsih terhadap jalannya meditasi atau malah sebaliknya kebijaksanaan membuat orang tidak membutuhkan meditasi untuk mencapai suatu kedamaian?
Situasi bangsa Indonesia yang diterjang oleh beragam masalah dapat menyebabkan masyarakat Indonesia kehilangan arah dan semangat hidup. Tawaran cemerlang dari ajaran Ajhan Chah bisa menjadi petunjuk bagi mereka untuk menemukan mutiara indah kedamaian dan kebahagiaan yang sesungguhnya, tanpa harus tergantung pada apa dan siapapun. Kedamaian yang benar itu tidak ditimbulkan dari apa yang dimiliki. Inilah juga yang menjadi langkah dasar untuk meredam gejolak konsumerisme dan hedonisme yang kian merajalela mencekik manusia termasuk manusia indonesia. Oleh karena itu, kehadiran ajaran Ajhan Chah mampu menjawab kerinduan mendasar manusia untuk menemukan kedamaian sesungguhnya. Namun demikian seorang tokoh psikologi yang bernama Albert Allis (dalam buku Flotation: A Guide for Sensory Deprivation, Relaxation, & Isolation Tanks) mengeritik praktek meditasi sebagai terapi untuk mengatasi suatu masalah. Baginya meditasi sebagai terapi dapat menimbulkan akibat positif dan negatif, di mana di satu sisi, dengan meditasi seseorang bisa menjadi tenang, namun di sisi lain orang akan menjadi semacam lari dari persoalan, dan tidak berorientasi pada hasil karya dari keyakinannya.
Daftar Pustaka
Chah, Ajahn., 2007, A Taste Of Freedom, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong.
------------------ 2002, Bhikkhus Dhammajoti and Gavesako (ed), The Teachings of Ajahn Chah (A Colecction of Ajahn Chah’s Dhamma Talks),Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong.
----------------- 2002, Everything is teaching Us, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong. Diteruskan oleh Jack Kornifield,  “Food For Heart” The Collected Teaching Of Ajahn Chah, California, Spirit Rock Meditation Center Woodacre.
------------------ 2007, Everything Is Teaching Us, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong.
------------------ 2007, The Living Dhamma, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong,







[1] Ajahn Chah, A Taste Of Freedom, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong, hal. 3-4. Tetapi perlu diketahui bahwa dalam setiap bukunya terdapat profil tentang dirinya.
[2]Ajahn Chah,  Everything is teaching Us, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong, 2007, hal. 5.
[3]Diteruskan oleh Jack Kornifield,  “Food For Heart” The Collected Teaching Of jahn Chah, California, Spirit Rock Meditation Center Woodacre, 2002, hal Xviii.
[4] Ajahn Chah, Bhikkhus Dhammajoti and Gavesako (ed), The Teachings of Ajahn Chah (A Colecction of Ajahn Chah’s Dhamma Talks),Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong, 2007, hal. ii
[5] Ajahn Chah, A Taste Of Freedom, hal. 13.
[6] Samadhi adalah istilah Pali yang dalam Bahasa Indonesia berarti meditasi.
[7] Ajahn Chah, The Living Dhamma, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong, hal. 51-52.
[8] Ajahn Chah, The Living Dhamma, hal. 52.
[9] Ajahn Chah, Everything Is Teaching Us, Thailand, The Sangha, Wat Nong Pah Pong, hal. 125
[10] Ajahn Chah, A Taste of Freedom, hal. 17.
[11] Samsara, sumur kelahiran dan kematian, adalah dunia dari semua  kondisi, fenomena, mental dan material, yg memiliki tiga ciri dari ketidaktetapan, penderitaan, bukan prbadi.
[12] Ajahn Chah, A Taste of Freedom, hal. 24.
[13] Ajahn Chah, A Taste of Freedom, hal. 24
Share:

0 komentar:

Arsip Blog

Definition List

3/recent/ticker-posts

Unordered List

5/Technology/col-left

Support

5/Nature/col-left