PERKRMBANGAN
PEMIKIRAN TEOLOGI DI TENGAH PEMIKIRAN FILSAFAT Situasi perkembangan pemikiran filosofis pada
awal abad pertengahanAbad
pertengahan melingkupi sejarah panjang periode dari jatuhnya Imperium Romanum
(476) hingga awal masa modern. Abad pertengahan juga ditandai dengan kemenangan
iman kristiani. Masa ini adalah masa di mana Gereja mampu memengarui seluruh
Eropa pada iman akan Kristus. Dalam nama Kristus, Gereja mendirikan suatu
spiritualitas yang besar, budaya, dan kesatuan politik bagi orang-orang yang
tinggal di dalam dan di luar batas Romawi kuno. Karena alasan tersebut,
orang-orang abad pertengahan dipanggil respublica
christiana. Pada masa ini lahir pemikir-pemikir besar yang mengembangkan
cara berpikir mereka berdasarkan kitab suci. Mereka adalah Agustinus, Anselmus,
Origenes, Bonaventura, Thomas Aquinas, Albertus Agung, dsb. Oleh karena itu,
filsafat pada masa itu dapat disebut juga sebagai filsafat kristiani. Pemikiran
filosofis abad pertengahan ditandai oleh tiga hal penting: a) perjumpaan filsafat dengan kekristenan; b) meluasnya gelombang
pemikiran filosofis; dan c) kuatnya kecenderungan berpikir dualistik. Tidak
heran jika para pemikira zaman itu menghadapi situasi yang tidak mudah. Sebab
mereka ditantang untuk merumuskan ajaran dengan bahasa yang dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan kultur filsafat pada zaman itu dan juga
merumuskan iman berhadapan dengan orang-orang yang atheis, bahkan orang-orang
yang menyerang ajaran kristen. Oleh karena itu, para tokoh penulis abad pertengahan
yang sebagian besar adalah para pemikir kristen mencoba merumuskan pemikiran
mereka di tengah budaya hellenis-romawi
yang sedang berkembang saat itu. Ciri-ciri pemikiran mereka adalah apologetis (pembelaan iman), inkulturatif (pembahasaan iman dalam
budaya setempat atau mengakarkan atau mendarahdagingkan iman dalam budaya
setempat), kateketis-edukatif (pengajaran
dan pembinaan iman umat) dan pastoral
(memuat kepentingan untuk menggembalakan umat). OrigenesSalah
satu tokoh besar yang berpengaruh dalam perkembangan filsafat abad pertengahan
adalah Origenes. Ia merupakan salah satu tokoh yang hidup pada zaman patristik.
Origenes merupakan murid dari Klement dari Alexandria. Ia dikenal sebagai murid
yang briliant. Ia dilahirkan dalam keluarga Kristen yang taat (sekitar tahun
185) di daerah Alexandria. Sejak kecil ia sudah akrab dengan Kitab Suci. Ia
mendedikasikan masa remajanya untuk belajar pada sekolah (katekese) Klement
dari Alexandria. Origenes merupakan penulis yang unggul. Menurut Eusebius, Origenes
menulis 2000 buku. Dalam daftar Hieronimus (terkait dengan Kitab Suci) tercatat
800 buku Origenes. Tulisan-tulisannya lebih bersifat penjelasan Kitab Suci
(eksegetis) daripada apologetis (pembelaan iman). Dia merupakan orang pertama
dalam sejarah filsafat (teologi) yang memberikan uraian sistematis tentang
teologi. Salah satu karya terbesarnya adalah Peri Archon atau De Prinsipii.
Di dalam karyanya ini terungkap prinsip-prinsip dasar Kristiani (dalam
perspektif teologi). Dalam
karya-karyanya, Origenes mengungkapkan prinsip-prinsip dasar Kristiani. Ia
menjelaska kategori kebenaran, yakni:a)
Kebenaran
yang secara jelas ada dalam iman Gereja, yaitu Allah, Yesus Kristus, dan Roh
Kudus. Jiwa dan kebangkitan dari antara orang mati.
b)
Kebenaran-kebenaran
yang masih terbuka untuk didiskusikan, yakni menyangkut pemahaman manusia tentang
berbagi macam hal.
Origenes menaruh perhatian besar pada Kitab
Suci. Alasannya, untuk menjelaskan iman kepada orang-orang Yahudi dibutuhkan
pemahaman Kitab Suci yang mendalam. Ia mengusahakan Hexapla (suatu sinopsis dan penjelasan Kitab Suci dengan menggunakan
teks Kitab Suci berbahasa Ibrani). Ia juga
mengembangkan tafsif Kitab Suci yang disebut Alegori (penafsiaran
Kitab Suci menggunakan bahasa sehari-hari). Menurut Origenes, ada tiga tingkat
dalam memahami Kitab Suci:a)
Tingkat
pemahaman orang kristen akan Kitab Suci secara biasa, yakni pemahaman terbatas
pada kenyataan historis-dramatis.
b)
Pemahaman
Kitab Suci bersifat moralis-psikologis
c)
Pemahaman
yang selaras denga Roh (pneuma).
Pemahaman ini bersifat pneumatis-mistis dan
pemahaman ini berciri utuh-sempurna dan hanya dimiliki oleh orang-orang
terpilih.
Bonaventura Fokus
pemikiran Bonaventura adalah mengenai hubungan jiwa dan Allah yang memuncak
pada pengalaman mistik. Bonaventura berusaha memberikan penjelasan tentang
Allah yang ia imani dengan bukti-bukti. Tujuannya adalah demi menumbuhkan
keyakinan seseorang akan Allah itu sendiri. Bonaventura dalam hal ini lebih menekankan bukti-bukti
dari dalam diri manusia. Menurutnya, titik tolak pengenalan manusia
akan Allah adalah melalui dua jalan, yakni mengenal Allah via alam semesta dan
via kerinduan jiwa. Bonaventura juga memperkenalkan teologi mistik atau
pengalaman mistik, yakni pengalaman keterarahan atau kesatuan manusia dan
Allah.
Ada tiga jalan menuju pengalaman
mistik, diantaranya dengan cara memandang keteraturan alam semesta, menyadari
diri dan kontemplasi ekstase. Analogi Allah-manusia juga ada dalam
pemikirannya. Manusia dan Allah adalah sama tetapi berbeda dalam kualitas
penciptaan, di mana manusia mencipta dengan bahan-bahan yang sudah ada
(ssemacam discovery) sedangkan Allah dari ketiadaan (creatio ex nihilo).
Menurutnya, Logos adalah
yang paling sempurna karena menyatu dengan Allah yang sempurna. Sedangkan
ciptaan adalah vistigium Dei (tapak-tapak Allah). Manusia adalah imago Dei (gambar Allah). Bonaventura juga memperkenalkan teori exemplarisme
(teori contoh/model). Menurutnya, trinitas adalah contoh kesatuan yang imortal.
Semua ciptaan mengandung kesempurnaan dari trinitas.
Yohanes
Duns ScotusDalam
pemikiran Yohanes Duns Scotus, pengetahuan dimulai dari proses indrawi.
Dikatakan bahwa manusia tidak membawa ide-ide bawaan. Maka, pengetahuan bergantung pada
pengalaman indrawi. Dari pengalaman ini muncul kesan di dalam akal budi dan kesan-kesan itu
menghasilkan panthasma (gambaran atau
bayangan).
Menurut Scotus filsafat
dan teologi merupakan ilmu yang berdampingan. Masing-masing mempunyai sarana dan
metodenya. Filsafat berkaitan dengan akal budi, sedangkan teologi berkaitan dengan
kebenaran wahyu.
v Manusia
memiliki jiwa rasioanal yang mengantar kepada pemahaman-pemahaman yang benar.
Pemahaman yang benar yang dimaksudkan adalah pengetahuan yang mampu mengatasi
pengetahuan indrawi. Maka,
pengetahuan yang dihasilkan mengatasi pengetahuan indrawi. Akal budi dapat
menjangkau pengetahuan tentang ada.
v Manusia
merupakan tuan
atas tindakannya sendiri karena manusia
mempunyai
kehendak bebas. Kehendak bebas merupakan kegiatan jiwa rasional untuk memperjuangkan
dorongan-dorongan positif yang yang ditawarkan oleh pengetahuan tentang yang benar. Kebebasan tidak
sama persis dengan akal budi. Kehendak bebas lebih unggul dari akal budi.
v Budi
merupakan kemampuan kodrati (potensial natural),
sedangkan kehendak bebas merupakan kemampuan bebas atau rasional (potential liberal) yang berciri aktif
dan positif. Secara kodrati kadang manusia menghendaki yang kurang baik (yang
bertentangan dengan kehendak bebas). Penyalahgunaan kehendank bebas atau mengingkari dorongan akal budi membuat
manusia jatuh
dalam dosa. Budi manusia memberi pertimbangan terhadap dorongan kehendak bebas
sehingga hidup manusia mengarah kepada
yang baik.
Thomas Aquinas Pada
dasarnya pemikiran Thomas
Aquinas berciri rasional dan teologis.
Di sini dia membedakan teologi rasional dan teologi Kitab Suci atau teologi yang berdasarkan
pada penafsiran Kitab Suci dan sumber utama yang dipakai adalah Kitab Suci.
Dikatakan bahwa pemikiran Thomas Aquinas digolongkan sebagai pemikiran
filosofis (teologi rasional)
Kristen karena memenuhi tiga kriteria, yakni a) Berkembang sesudah
lahirnya kekeristenan (pada zaman Kristen), b)
diinspirasikan oleh ajaran-ajaran Kristen, dan c) menyampaikan ajaran-ajaran Kristen yang berkaitan dengan visi
kehidupan dan alam semesta.
Beberapa Pemikiran
Penting Thomas Aquinasa) Antropologi
v Di
sini ciri refleksi yang digunakan oleh Thomas Aquinas adalah theo-antrosentris yaitu manusia
dalam relasi dengan Allah.
v Di
dalam diri manusia ada arah internal kesetaraan (transendensi) ke kesempurnaan (eternitas).
v Konsenkuensinya
mengingkari relasi dengan Allah merupakan tanda jelas kemerosotan martabat
manusia (mengarah ke kematian).
v Antropologis berciri rasionalitas
diinspirasikan oleh pemikiran Aristoteles, di mana ia menekankan kesatuan jiwa dan
badan.
v Rasionalitas-materialis merupakan kesatuan yang mendasari mengenai
keberadaan manusia di dunia.
v Teori
tentang hukum kordat dan hukum ilahi menjadi dasar tentang penjelasan manusia.
b) Kebenaran
v Dalam
pemikiran Agustinus, persoalan ini dipecahkan dengan menjelaskan hubungan
antara kordat dan rahmat. Tetapi menurut Thomas Aquinas menjelaskan aspek baru
mengenai hubungan kebenaran natural (alami-kordati) dengan kebenaran supnatural
(kebenaran iman).
v Akal
budi merupakan potensi yang memungkinkan manusia untuk mempresepsikan
pengalaman indrawi dan membentuk ide-ide (konsep-konsep). Budi manusia tidak
bisa mempunyai ide tentang sesuatu yang imaterial tanpa melalui media. Tetapi
budi manusiawi bisa melewati indra, membentuk konsep-kosep dan ide-ide serta
menemukan makna dan nilai.
v Akal
budi dan iman adalah berbeda. Masing-masing
otonom, namun akal budi dan iman mempunyai hubungan yang mendasar. Hal ini berbeda dengan pandangan
dari Avveroes yang mengatakan akal budi
dan iman adalah terpisah.
c) Etika
v Etika
eudaimonia (kebahagiaan) sekaligus
teologis (yang mengarah pada tujuan) - semua ciptaan mengarah pada tujuan.
Begitupun dengan
manusia yang mempunyai tujuan.
Setelah
mencapai tujuan muncul tujuan lain. Maka, ada tujuan di antara tujaun akhir. Dan tujuan akhir manusia adalah
kebahagiaan.
v Intelektualitas tindakan manusia adalah tindakan
bebas sebagai makhluk
yang berakal budi. Objek dari tindakan itu adalah hal yang baik. Kebaikan yang
menjadi tujuan
itu tidak dapat menjadi sarana. Kebaikan itu menyangkut keutuhan manusia. Manusia
mengalami kebaikan
dalam keutuhan
hidupnya untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan hanya ditemukan di dalam
kesempurnaan, yaitu Allah sendiri. Di sini hanya makhluk yang berakal budi yang mampu
memahami dan mencapai kebaikan sempurna melalui pengetahuan dan cinta. Budi merupakan pengatur tindakan
manusia untuk mencapai kebaikan. Sedangkan keutamaan merupakan pendorong yang
mempermudah
manusia untuk bertindak demi kebaikan.
d) Penciptaan
v Penciptaan:
Allah (yang sempurna dan abadi )
mencipta
dari ketiadaan. Semua ciptaan diciptakan oleh Allah dan dengan demikian semua
ciptaan mempunyai relasi dengan Allah.v Manusia
sebagai makhluk rasional-spiritual mempunyai relasi yang intim dengan Allah.
Semua ciptaan mempunyai ketergantungan dengan Allah dan bukan sebaliknya.
v Tujuan
ciptaan adalah pemberian
kepada yang mencipta, yaitu membagikan kebaikan dan
kesempurnaan cinta Allah.
Cinta dan kebaikan adalah kehendak dan tindakan untuk selalu memberikan dan
mencurahkan diri secara bebas.
AgustinusPemikiran
Agustinus mengenai kebenaran yang
adalah suatu kepastian, ternyata dilawankan dengan aliran Skeptisme yang
mengajarkan bahwa kebenaran bersifat relatif. Beberapa kepastian yang tak dapat
disangkal adalah prinsip kontradiktif, kesan subyektif pribadi, keraguan,
kebenaran matematis. Suatu kebenaran akan dapat dicapai melalui pengalaman
batin, selain pengalaman inderawi yang memang kurang bisa dipercaya. Dengan
pengalaman batin seseorang dapat mendapatkan pengetahuan kontemplatif mengenai
hal-hal yang indah, baik dan abadi. Manusia akan mencapai pengetahuan yang
abadi jika ada penerangan Ilahi (iluminasi cahaya Ilahi dalam budi manusia).Menurut
Agustinus dunia ini dijadikan dari ketiadaan (creation ex nihilo), yakni dari kebebasan Allah sendiri. Pandangan
Agustinus ini menentang teori Neoplatonis yang mengatakan bahwa alam dunia ini
telah ada dan menyatu dengan Yang Abadi. Posisi manusia bagi proses penciptaan
ini menurut Agustinus adalah sebagai colaborator
Dei (teman sekerja Allah). Artinya manusia yang telah diserahi akal budi
dan menjadi makhluk tertinggi di antara makhluk yang lain mempunyai tugas untuk
”menyempurnakan” dunia. Bagi Agustinus suatu kehidupan masyarakat perlu memiliki
suatu norma atau aturan yang akan
membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang ada di dalamnya. Norma
atau aturan itu melekat pada hati nurani seseorang. Oleh karena itu, untuk
mencapai kebahagiaan sejati adalah tugas dan tanggung jawab setiap pribadi
manusia. Salah satu ciri terciptanya kebahagiaan sejati dalam suatu masyarakat
adalah dengan tumbuhnya cinta altruis (cinta penuh pengorbanan). Refleksi
Agustinus akan kerinduan, baik pribadi maupun masyarakat akan suatu kebahagiaan
sejati di tulisnya dalam De Civitas Dei.De Civitas Dei
adalah buah permenungan Agustinus yang
saat itu sebagai uskup di Hippo atas tanggung jawabnya terhadap moral umat
Kristen. Pada saat itu ketika Theodorus Agung menetapkan agama Kristen sebagai
agama resmi negara, maka banyak umat Kristen mengalami krisis iman dan moral.
Umat Kristen mengalami pergulatan dengan iman mereka. Maka, De Civtas Dei sebagai jawaban atas
keprihatinan yang terjadi pada saat itu. De
Civitas Dei mau memberikan ajaran dan inspirasi hidup beriman di tengah
masyarakat yang mangalami pergulatan iman.
Ada
dua kelompok yang muncul karena situasi yang terjadi pada saat itu, yakni Civitas Dei (komunitas Alllah) dan Civitas Terrena (komunitas dunia). Civitas Dei adalah kelompok yang
pribadinya digerakkan oleh tatanan cinta kepada Allah, Pencipta dan penggerak
kehidupan. Kelompok ini ditandai dengan hidup persaudaraan dan saling
menghormati martabat yang sama sebagai anak-anak Allah. Sedangkan Civitas Terrena adalah kelompok yang
pribadinya digerakkan oleh sifat egoisme (cinta diri) dan mengabaikan Allah.Boethius Pemikiran utama
Boethius ada dalam de Consolatione
Philoshopiae. Dalam karyanya ini, ia berusaha berdialog dengan filsafat
untuk mencari tahu mengapa jiwa merasa terasing dari dirinya sendiri. Upaya pencarian
di atas merupakan buah dari permenungan Boethius sendiri ketika ia berada di
penjara. De Consolatione Philoshopiae,
memiliki dua gagasan pokok, yakni 1) mengenai kebahagiaan sejati dan kejahatan
dan 2) Penyelenggaraan Ilahi dan kebebasan manusia.
§ Kebahagiaan
Sejati dan Kejahatan
Kebahagiaan tidak terletak pada hal material (harta milik),
tetapi di dalam batin. Kebahagiaan yang benar
bukan ditentukan dari fortuna (keberuntungan). Kebahagiaan sejati adalah keadaan
terintegrasinya segala sesuatu dengan sempurna (status bonorum omnium congregatione perfecta). Kebahagiaan terletak
di dalam Tuhan (pengilahian). Boethius juga mempertanyakan tentang kejahatan.
Menurutnya, orang jahat tidaklah berkuasa, karena mereka tidak mampu mengatur
dirinya sendiri, tidak menguasai diri sendiri melainkan dikuasai oleh hawa
nafsu. Kebahagiaan diperoleh orang jahat setelah mengalami hukuman yang adil
dan penyesalan.
§ Penyelenggaran Ilahi dan Kebebasan Manusia
Boethius bergulat
dengan masalah nasib. Ia melihat konsekuensi dari keyakinan bahwa Tuhan secara
mutlak mengatur segala-galanya – kebebasan tidak dimungkinkan lagi. Kebahagiaan
sejati ternyata bersumber pada kebaikan absolut (summum bonum). Inilah hakikat dan cara pengenalan yang benar bahwa
kebaikan sempurna berada dalam persatuan dengan Tuhan. Dalam
de Consolatione Philosophiae, Tuhan didefinisikan sebagai Yang
Baik di mana
semua manusia mengakui bahwa dalam diri-Nya terdapat kebaikan sempurna. Tuhan itu abadi
(eternity), artinya “Ia memiliki
kehidupan tak berhingga dengan cara menyeluruh, sempurna dan serentak” (interminabilis vitae tota simul et perfecta
possesio).
Lantas, apa maksudnya berada dalam persatuan dengan Tuhan (communion with God)? Menurut Boethius,
persatuan dengan Tuhan menekankan pada upaya manusia untuk meraih keutamaan
yang terinternalisasi. Implementasinya dalam hidup berarti mengenyampingkan
hal-hal
duniawi seperti uang dan kekuasaan. Akar kejahatan tersebut memiliki
tujuan, untuk membantu manusia agar berubah menuju kebaikan. Sedangkan menderita
kejahatan dipandang sebagai berbudi luhur. Menjadi bahagia dalam persatuan dengan Tuhan merupakan
visi luhur di mana setiap manusia diundang pada cara hidup secara rasional,
manusiawi,
berkeutamaan dan saleh. Mengapa? Karena dengan begitu seseorang berpartisipasi
pada Yang Baik, yaitu Tuhan.
Anselmus
dari Canterbury Anselmus mengembangkan teologi monastik ke teologi
publik. Pemikirannya merupakan embrio teologi monastik. Ia menerbitkan
pemikiran filsafat dan teologis seperti monologian
(dialog dengan diri sendiri), proslogian
(peziarahan Anselmus untuk menemukan pemahaman akan iman yang mencari pemahaman
– fides quarens intellectum) dan cur Deus homo. Anselmus berusaha
menyelidiki misteri iman. Menurutnya, kebenaran itu bertolak dari iman –
imanlah yang membuat seseorang semakin mengerti. Slogan utamanya adalah credo ut intellegam (saya percaya untuk
dapat mengerti). Dalam hal ini ia mengikuti pemikiran Agustinus (yang
menekankan kontemplasi dalam doa), sedangkan Agustinus menekankan metode
rasional. Beberapa pemikiran penting:§ Kebenaran
merupakan rectitudo. Menurut
Anselmus, semua yang disebut kebenaran
(baik logis, etis dan ontologis) merupakan rectitudo (keadilan dan kebenaran).
Semua kebenaran mendapat dasar dan sumbernya dari kebenaran tertinggi. Kebenaran
tertinggi disebut summa veritas.
§ Prologian
dan monologian berisi pemikiran
tentang eksistensi Allah. Monologian menjelaskan adanya Allah berdasarkan
kajian aposteriori (dari pengalaman). Ia juga menambahkan tentang pemahaman
akan kebaikan mutlak. Adanya kebaikan yang berciri relatif, mengandaikan adanya
kebaikan mutlak, yakni Allah. Allah juga disebut sebagai hakekat tertinggi yang
mana tidak ada sesuatu pun yang mampu melampaui-Nya. Penjelasan tentang sebab
utama dari segala sebab juga dijelaskan Anselmus. Menurutnya, harus ada pengada
sebagai penyebab terakhir dari semua pengada, yakni Allah. Dalam proslogian dia menjelaskan bahwa Allah
adalah sesuatu yang lebih besar daripadanya yang tidak dapat dipikirkan lagi –
tidak mungkin hal yang lebih besar dari apa yang bisa dipikirkan manusia hanya
ada dalam pikiran manusia. Jadi di sini, sesuatu yang lebih besar yang tidak
dapat dipikirkan oleh manusia adalah Allah.
§ Anselmus
juga menjelaskan tentang realitas iman yang objektif dan dinamis. Kita
menggunakan istilah beriman (fides)
dan percaya (credo). Credo menggambarkan gerakan hidup
beriman dalam diri manusia. Dalam gerak tersebut termuat pokok iman (fides quae) dan tindakan iman (fides qua). Isi atau pokok iman berciri
objektif, sedangkan tindakan iman berciri subjektif atau dinamis.
§ Dua
istilah penting mengenai kejahatan, yakni kebebasan (kebaikan absolut yang
tidak tercampuri dosa) dan kehendak bebas (potensi manusia).
DAFTAR
PUSTAKAMulyatno, CB., Diktat
Mata Kuliah “Alam Pikir Medieval”, Fakultas Filsafat, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.Mondin, Batista,
1991, A Hisstory of Mediaeval Philosophy, Theological Publications,
India. Russell, Bertrand, 2007, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Belajar, Yogyakarta..
§ Penyelenggaran Ilahi dan Kebebasan Manusia
0 komentar:
Posting Komentar