Technology

Fashion/feat-big

Senin, 27 Februari 2017

PERKRMBANGAN PEMIKIRAN TEOLOGI DI TENGAH PEMIKIRAN FILSAFAT

PERKRMBANGAN PEMIKIRAN TEOLOGI DI TENGAH PEMIKIRAN FILSAFAT Situasi perkembangan pemikiran filosofis pada awal abad pertengahanAbad pertengahan melingkupi sejarah panjang periode dari jatuhnya Imperium Romanum (476) hingga awal masa modern. Abad pertengahan juga ditandai dengan kemenangan iman kristiani. Masa ini adalah masa di mana Gereja mampu memengarui seluruh Eropa pada iman akan Kristus. Dalam nama Kristus, Gereja mendirikan suatu spiritualitas yang besar, budaya, dan kesatuan politik bagi orang-orang yang tinggal di dalam dan di luar batas Romawi kuno. Karena alasan tersebut, orang-orang abad pertengahan dipanggil respublica christiana. Pada masa ini lahir pemikir-pemikir besar yang mengembangkan cara berpikir mereka berdasarkan kitab suci. Mereka adalah Agustinus, Anselmus, Origenes, Bonaventura, Thomas Aquinas, Albertus Agung, dsb. Oleh karena itu, filsafat pada masa itu dapat disebut juga sebagai filsafat kristiani.            Pemikiran filosofis abad pertengahan ditandai oleh tiga hal penting: a) perjumpaan filsafat dengan kekristenan; b) meluasnya gelombang pemikiran filosofis; dan c) kuatnya kecenderungan berpikir dualistik. Tidak heran jika para pemikira zaman itu menghadapi situasi yang tidak mudah. Sebab mereka ditantang untuk merumuskan ajaran dengan bahasa yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kultur filsafat pada zaman itu dan juga merumuskan iman berhadapan dengan orang-orang yang atheis, bahkan orang-orang yang menyerang ajaran kristen. Oleh karena itu, para tokoh penulis abad pertengahan yang sebagian besar adalah para pemikir kristen mencoba merumuskan pemikiran mereka di tengah budaya hellenis-romawi yang sedang berkembang saat itu. Ciri-ciri pemikiran mereka adalah apologetis (pembelaan iman), inkulturatif (pembahasaan iman dalam budaya setempat atau mengakarkan atau mendarahdagingkan iman dalam budaya setempat), kateketis-edukatif (pengajaran dan pembinaan iman umat) dan pastoral (memuat kepentingan untuk menggembalakan umat). OrigenesSalah satu tokoh besar yang berpengaruh dalam perkembangan filsafat abad pertengahan adalah Origenes. Ia merupakan salah satu tokoh yang hidup pada zaman patristik. Origenes merupakan murid dari Klement dari Alexandria. Ia dikenal sebagai murid yang briliant. Ia dilahirkan dalam keluarga Kristen yang taat (sekitar tahun 185) di daerah Alexandria. Sejak kecil ia sudah akrab dengan Kitab Suci. Ia mendedikasikan masa remajanya untuk belajar pada sekolah (katekese) Klement dari Alexandria. Origenes merupakan penulis yang unggul. Menurut Eusebius, Origenes menulis 2000 buku. Dalam daftar Hieronimus (terkait dengan Kitab Suci) tercatat 800 buku Origenes. Tulisan-tulisannya lebih bersifat penjelasan Kitab Suci (eksegetis) daripada apologetis (pembelaan iman). Dia merupakan orang pertama dalam sejarah filsafat (teologi) yang memberikan uraian sistematis tentang teologi. Salah satu karya terbesarnya adalah Peri Archon atau De Prinsipii. Di dalam karyanya ini terungkap prinsip-prinsip dasar Kristiani (dalam perspektif teologi).           Dalam karya-karyanya, Origenes mengungkapkan prinsip-prinsip dasar Kristiani. Ia menjelaska kategori kebenaran, yakni:a)     Kebenaran yang secara jelas ada dalam iman Gereja, yaitu Allah, Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Jiwa dan kebangkitan dari antara orang mati.
b)     Kebenaran-kebenaran yang masih terbuka untuk didiskusikan, yakni menyangkut pemahaman manusia tentang berbagi macam hal.
Origenes menaruh perhatian besar pada Kitab Suci. Alasannya, untuk menjelaskan iman kepada orang-orang Yahudi dibutuhkan pemahaman Kitab Suci yang mendalam. Ia mengusahakan Hexapla (suatu sinopsis dan penjelasan Kitab Suci dengan menggunakan teks Kitab Suci berbahasa Ibrani).  Ia juga mengembangkan tafsif Kitab Suci yang disebut Alegori (penafsiaran Kitab Suci menggunakan bahasa sehari-hari). Menurut Origenes, ada tiga tingkat dalam memahami Kitab Suci:a)     Tingkat pemahaman orang kristen akan Kitab Suci secara biasa, yakni pemahaman terbatas pada kenyataan historis-dramatis.
b)     Pemahaman Kitab Suci bersifat moralis-psikologis
c)     Pemahaman yang selaras denga Roh (pneuma). Pemahaman ini bersifat pneumatis-mistis dan pemahaman ini berciri utuh-sempurna dan hanya dimiliki oleh orang-orang terpilih.
 Bonaventura            Fokus pemikiran Bonaventura adalah mengenai hubungan jiwa dan Allah yang memuncak pada pengalaman mistik. Bonaventura berusaha memberikan penjelasan tentang Allah yang ia imani dengan bukti-bukti. Tujuannya adalah demi menumbuhkan keyakinan seseorang akan Allah itu sendiri. Bonaventura dalam hal ini lebih menekankan bukti-bukti dari dalam diri manusia. Menurutnya, titik tolak pengenalan manusia akan Allah adalah melalui dua jalan, yakni mengenal Allah via alam semesta dan via kerinduan jiwa. Bonaventura juga memperkenalkan teologi mistik atau pengalaman mistik, yakni pengalaman keterarahan atau kesatuan manusia dan Allah. Ada tiga jalan menuju pengalaman mistik, diantaranya dengan cara memandang keteraturan alam semesta, menyadari diri dan kontemplasi ekstase. Analogi Allah-manusia juga ada dalam pemikirannya. Manusia dan Allah adalah sama tetapi berbeda dalam kualitas penciptaan, di mana manusia mencipta dengan bahan-bahan yang sudah ada (ssemacam discovery) sedangkan Allah dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Menurutnya, Logos adalah yang paling sempurna karena menyatu dengan Allah yang sempurna. Sedangkan ciptaan adalah vistigium Dei (tapak-tapak Allah). Manusia adalah imago Dei (gambar Allah). Bonaventura juga memperkenalkan teori exemplarisme (teori contoh/model). Menurutnya, trinitas adalah contoh kesatuan yang imortal. Semua ciptaan mengandung kesempurnaan dari trinitas.
Yohanes Duns ScotusDalam pemikiran Yohanes Duns Scotus, pengetahuan dimulai dari proses indrawi. Dikatakan bahwa manusia tidak membawa ide-ide bawaan. Maka, pengetahuan bergantung pada pengalaman indrawi. Dari pengalaman ini muncul kesan di dalam akal budi dan kesan-kesan itu menghasilkan panthasma (gambaran atau bayangan).
            Menurut Scotus filsafat dan teologi merupakan ilmu yang berdampingan. Masing-masing mempunyai sarana dan metodenya. Filsafat berkaitan dengan akal budi, sedangkan teologi berkaitan dengan kebenaran wahyu.
v  Manusia memiliki jiwa rasioanal yang mengantar kepada pemahaman-pemahaman yang benar. Pemahaman yang benar yang dimaksudkan adalah pengetahuan yang mampu mengatasi pengetahuan indrawi. Maka, pengetahuan yang dihasilkan mengatasi pengetahuan indrawi. Akal budi dapat menjangkau pengetahuan tentang ada.
v   Manusia merupakan tuan atas tindakannya sendiri karena manusia mempunyai kehendak bebas. Kehendak bebas merupakan kegiatan jiwa rasional untuk memperjuangkan dorongan-dorongan positif yang yang ditawarkan oleh pengetahuan tentang yang benar. Kebebasan tidak sama persis dengan akal budi. Kehendak bebas lebih unggul dari akal budi.
v  Budi merupakan kemampuan kodrati  (potensial natural), sedangkan kehendak bebas merupakan kemampuan bebas atau rasional (potential liberal) yang berciri aktif dan positif. Secara kodrati kadang manusia menghendaki yang kurang baik (yang bertentangan dengan kehendak bebas). Penyalahgunaan kehendank bebas atau mengingkari dorongan akal budi membuat manusia jatuh dalam dosa. Budi manusia memberi pertimbangan terhadap dorongan kehendak bebas sehingga hidup manusia mengarah  kepada yang baik.
Thomas Aquinas            Pada dasarnya pemikiran Thomas Aquinas berciri rasional dan teologis.  Di sini dia membedakan teologi rasional dan teologi Kitab Suci atau teologi yang berdasarkan pada penafsiran Kitab Suci dan sumber utama yang dipakai adalah Kitab Suci. Dikatakan bahwa pemikiran Thomas Aquinas digolongkan sebagai pemikiran filosofis (teologi rasional) Kristen  karena memenuhi  tiga kriteria, yakni a) Berkembang sesudah lahirnya kekeristenan (pada zaman Kristen), b)  diinspirasikan oleh ajaran-ajaran Kristen, dan c) menyampaikan ajaran-ajaran Kristen yang berkaitan dengan visi kehidupan dan alam semesta.
Beberapa Pemikiran Penting Thomas Aquinasa)       Antropologi
v  Di sini  ciri refleksi yang digunakan oleh Thomas Aquinas adalah theo-antrosentris yaitu manusia dalam relasi dengan Allah.
v  Di dalam diri manusia ada arah internal kesetaraan (transendensi) ke kesempurnaan (eternitas).
v  Konsenkuensinya mengingkari relasi dengan Allah merupakan tanda jelas kemerosotan martabat manusia (mengarah ke kematian).
v  Antropologis berciri rasionalitas diinspirasikan oleh pemikiran Aristoteles, di mana ia menekankan kesatuan jiwa dan badan.
v  Rasionalitas-materialis merupakan kesatuan yang mendasari mengenai keberadaan manusia di dunia.
v  Teori tentang hukum kordat dan hukum ilahi menjadi dasar tentang penjelasan manusia.
b)      Kebenaran
v  Dalam pemikiran Agustinus, persoalan ini dipecahkan dengan menjelaskan hubungan antara kordat dan rahmat. Tetapi menurut Thomas Aquinas menjelaskan aspek baru mengenai hubungan kebenaran natural (alami-kordati) dengan kebenaran supnatural (kebenaran iman).
v  Akal budi merupakan potensi yang memungkinkan manusia untuk mempresepsikan pengalaman indrawi dan membentuk ide-ide (konsep-konsep). Budi manusia tidak bisa mempunyai ide tentang sesuatu yang imaterial tanpa melalui media. Tetapi budi manusiawi bisa melewati indra, membentuk konsep-kosep dan ide-ide serta menemukan makna dan nilai.
v  Akal budi dan iman adalah berbeda. Masing-masing  otonom, namun akal budi dan iman mempunyai hubungan yang mendasar. Hal ini berbeda dengan pandangan dari Avveroes yang mengatakan akal budi dan iman adalah terpisah.
c)       Etika
v  Etika eudaimonia (kebahagiaan) sekaligus teologis (yang mengarah pada tujuan) - semua ciptaan mengarah pada tujuan. Begitupun dengan manusia yang mempunyai tujuan. Setelah mencapai tujuan muncul tujuan lain. Maka, ada tujuan di antara tujaun  akhir. Dan tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan.
v  Intelektualitas tindakan manusia adalah tindakan bebas sebagai makhluk yang berakal budi. Objek dari tindakan itu adalah hal yang baik. Kebaikan yang menjadi tujuan itu tidak dapat menjadi sarana. Kebaikan itu menyangkut keutuhan manusia. Manusia mengalami kebaikan dalam keutuhan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan hanya ditemukan di dalam kesempurnaan, yaitu Allah sendiri. Di sini hanya makhluk yang berakal budi yang mampu memahami dan mencapai kebaikan sempurna melalui pengetahuan dan cinta. Budi merupakan pengatur tindakan manusia untuk mencapai kebaikan. Sedangkan keutamaan merupakan pendorong yang mempermudah manusia untuk bertindak demi kebaikan.
d)      Penciptaan
v  Penciptaan: Allah (yang sempurna dan abadi ) mencipta dari ketiadaan. Semua ciptaan diciptakan oleh Allah dan dengan demikian semua ciptaan mempunyai relasi dengan Allah.v  Manusia sebagai makhluk rasional-spiritual mempunyai relasi yang intim dengan Allah. Semua ciptaan mempunyai ketergantungan dengan Allah dan bukan sebaliknya.
v  Tujuan ciptaan adalah pemberian kepada yang mencipta, yaitu membagikan kebaikan dan kesempurnaan cinta Allah. Cinta dan kebaikan adalah kehendak dan tindakan untuk selalu memberikan dan mencurahkan  diri secara bebas.
AgustinusPemikiran Agustinus mengenai kebenaran yang adalah suatu kepastian, ternyata dilawankan dengan aliran Skeptisme yang mengajarkan bahwa kebenaran bersifat relatif. Beberapa kepastian yang tak dapat disangkal adalah prinsip kontradiktif, kesan subyektif pribadi, keraguan, kebenaran matematis. Suatu kebenaran akan dapat dicapai melalui pengalaman batin, selain pengalaman inderawi yang memang kurang bisa dipercaya. Dengan pengalaman batin seseorang dapat mendapatkan pengetahuan kontemplatif mengenai hal-hal yang indah, baik dan abadi. Manusia akan mencapai pengetahuan yang abadi jika ada penerangan Ilahi (iluminasi cahaya Ilahi dalam budi manusia).Menurut Agustinus dunia ini dijadikan dari ketiadaan (creation ex nihilo), yakni dari kebebasan Allah sendiri. Pandangan Agustinus ini menentang teori Neoplatonis yang mengatakan bahwa alam dunia ini telah ada dan menyatu dengan Yang Abadi. Posisi manusia bagi proses penciptaan ini menurut Agustinus adalah sebagai colaborator Dei (teman sekerja Allah). Artinya manusia yang telah diserahi akal budi dan menjadi makhluk tertinggi di antara makhluk yang lain mempunyai tugas untuk ”menyempurnakan” dunia. Bagi Agustinus suatu kehidupan masyarakat perlu memiliki suatu norma atau aturan yang akan  membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang ada di dalamnya. Norma atau aturan itu melekat pada hati nurani seseorang. Oleh karena itu, untuk mencapai kebahagiaan sejati adalah tugas dan tanggung jawab setiap pribadi manusia. Salah satu ciri terciptanya kebahagiaan sejati dalam suatu masyarakat adalah dengan tumbuhnya cinta altruis (cinta penuh pengorbanan). Refleksi Agustinus akan kerinduan, baik pribadi maupun masyarakat akan suatu kebahagiaan sejati di tulisnya dalam De Civitas Dei.De Civitas Dei adalah buah  permenungan Agustinus yang saat itu sebagai uskup di Hippo atas tanggung jawabnya terhadap moral umat Kristen. Pada saat itu ketika Theodorus Agung menetapkan agama Kristen sebagai agama resmi negara, maka banyak umat Kristen mengalami krisis iman dan moral. Umat Kristen mengalami pergulatan dengan iman mereka. Maka, De Civtas Dei sebagai jawaban atas keprihatinan yang terjadi pada saat itu. De Civitas Dei mau memberikan ajaran dan inspirasi hidup beriman di tengah masyarakat yang mangalami pergulatan iman.
Ada dua kelompok yang muncul karena situasi yang terjadi pada saat itu, yakni Civitas Dei (komunitas Alllah) dan Civitas Terrena (komunitas dunia). Civitas Dei adalah kelompok yang pribadinya digerakkan oleh tatanan cinta kepada Allah, Pencipta dan penggerak kehidupan. Kelompok ini ditandai dengan hidup persaudaraan dan saling menghormati martabat yang sama sebagai anak-anak Allah. Sedangkan Civitas Terrena adalah kelompok yang pribadinya digerakkan oleh sifat egoisme (cinta diri) dan mengabaikan Allah.Boethius            Pemikiran utama Boethius ada dalam de Consolatione Philoshopiae. Dalam karyanya ini, ia berusaha berdialog dengan filsafat untuk mencari tahu mengapa jiwa merasa terasing dari dirinya sendiri. Upaya pencarian di atas merupakan buah dari permenungan Boethius sendiri ketika ia berada di penjara. De Consolatione Philoshopiae, memiliki dua gagasan pokok, yakni 1) mengenai kebahagiaan sejati dan kejahatan dan 2) Penyelenggaraan Ilahi dan kebebasan manusia.
 §  Kebahagiaan Sejati dan Kejahatan
Kebahagiaan tidak terletak pada hal material (harta milik), tetapi di dalam batin. Kebahagiaan yang benar bukan ditentukan dari fortuna (keberuntungan). Kebahagiaan sejati adalah keadaan terintegrasinya segala sesuatu dengan sempurna (status bonorum omnium congregatione perfecta). Kebahagiaan terletak di dalam Tuhan (pengilahian). Boethius juga mempertanyakan tentang kejahatan. Menurutnya, orang jahat tidaklah berkuasa, karena mereka tidak mampu mengatur dirinya sendiri, tidak menguasai diri sendiri melainkan dikuasai oleh hawa nafsu. Kebahagiaan diperoleh orang jahat setelah mengalami hukuman yang adil dan penyesalan.
§  Penyelenggaran Ilahi dan Kebebasan Manusia
Boethius bergulat dengan masalah nasib. Ia melihat konsekuensi dari keyakinan bahwa Tuhan secara mutlak mengatur segala-galanya – kebebasan tidak dimungkinkan lagi. Kebahagiaan sejati ternyata bersumber pada kebaikan absolut (summum bonum). Inilah hakikat dan cara pengenalan yang benar bahwa kebaikan sempurna berada dalam persatuan dengan Tuhan. Dalam de Consolatione Philosophiae, Tuhan didefinisikan sebagai Yang Baik di mana semua manusia mengakui bahwa dalam diri-Nya terdapat kebaikan sempurna. Tuhan itu abadi (eternity), artinya “Ia memiliki kehidupan tak berhingga dengan cara menyeluruh, sempurna dan serentak” (interminabilis vitae tota simul et perfecta possesio). Lantas, apa maksudnya berada dalam persatuan dengan Tuhan (communion with God)? Menurut Boethius, persatuan dengan Tuhan menekankan pada upaya manusia untuk meraih keutamaan yang terinternalisasi. Implementasinya dalam hidup berarti mengenyampingkan hal-hal duniawi seperti uang dan kekuasaan. Akar kejahatan tersebut memiliki tujuan, untuk membantu manusia agar berubah menuju kebaikan. Sedangkan menderita kejahatan dipandang sebagai berbudi luhur. Menjadi bahagia dalam persatuan dengan Tuhan merupakan visi luhur di mana setiap manusia diundang pada cara hidup secara rasional, manusiawi, berkeutamaan dan saleh. Mengapa? Karena dengan begitu seseorang berpartisipasi pada Yang Baik, yaitu Tuhan.
 Anselmus dari Canterbury            Anselmus mengembangkan teologi monastik ke teologi publik. Pemikirannya merupakan embrio teologi monastik. Ia menerbitkan pemikiran filsafat dan teologis seperti monologian (dialog dengan diri sendiri), proslogian (peziarahan Anselmus untuk menemukan pemahaman akan iman yang mencari pemahaman – fides quarens intellectum) dan cur Deus homo. Anselmus berusaha menyelidiki misteri iman. Menurutnya, kebenaran itu bertolak dari iman – imanlah yang membuat seseorang semakin mengerti. Slogan utamanya adalah credo ut intellegam (saya percaya untuk dapat mengerti). Dalam hal ini ia mengikuti pemikiran Agustinus (yang menekankan kontemplasi dalam doa), sedangkan Agustinus menekankan metode rasional. Beberapa pemikiran penting:§  Kebenaran merupakan rectitudo. Menurut Anselmus,  semua yang disebut kebenaran (baik logis, etis dan ontologis) merupakan rectitudo (keadilan dan kebenaran). Semua kebenaran mendapat dasar dan sumbernya dari kebenaran tertinggi. Kebenaran tertinggi disebut summa veritas.
§  Prologian dan monologian berisi pemikiran tentang eksistensi Allah. Monologian menjelaskan adanya Allah berdasarkan kajian aposteriori (dari pengalaman). Ia juga menambahkan tentang pemahaman akan kebaikan mutlak. Adanya kebaikan yang berciri relatif, mengandaikan adanya kebaikan mutlak, yakni Allah. Allah juga disebut sebagai hakekat tertinggi yang mana tidak ada sesuatu pun yang mampu melampaui-Nya. Penjelasan tentang sebab utama dari segala sebab juga dijelaskan Anselmus. Menurutnya, harus ada pengada sebagai penyebab terakhir dari semua pengada, yakni Allah. Dalam proslogian dia menjelaskan bahwa Allah adalah sesuatu yang lebih besar daripadanya yang tidak dapat dipikirkan lagi – tidak mungkin hal yang lebih besar dari apa yang bisa dipikirkan manusia hanya ada dalam pikiran manusia. Jadi di sini, sesuatu yang lebih besar yang tidak dapat dipikirkan oleh manusia adalah Allah.
§  Anselmus juga menjelaskan tentang realitas iman yang objektif dan dinamis. Kita menggunakan istilah beriman (fides) dan percaya (credo). Credo menggambarkan gerakan hidup beriman dalam diri manusia. Dalam gerak tersebut termuat pokok iman (fides quae) dan tindakan iman (fides qua). Isi atau pokok iman berciri objektif, sedangkan tindakan iman berciri subjektif atau dinamis.
§  Dua istilah penting mengenai kejahatan, yakni kebebasan (kebaikan absolut yang tidak tercampuri dosa) dan kehendak bebas (potensi manusia).  
    DAFTAR PUSTAKAMulyatno, CB., Diktat Mata Kuliah “Alam Pikir Medieval”, Fakultas Filsafat, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.Mondin, Batista, 1991,  A Hisstory of Mediaeval Philosophy, Theological Publications, India. Russell, Bertrand, 2007, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Belajar, Yogyakarta..  
Share:

0 komentar:

Arsip Blog

Definition List

3/recent/ticker-posts

Unordered List

5/Technology/col-left

Support

5/Nature/col-left