Technology

Fashion/feat-big

Senin, 27 Februari 2017

Go’et: Ungkapan Hikmat Orang Manggarai (Sebuah Tinjauan Sastra Budaya Manggarai yang Bertolak dari Kitab Amsal)

Go’et: Ungkapan Hikmat Orang Manggarai
(Sebuah Tinjauan Sastra Budaya Manggarai yang Bertolak dari Kitab Amsal)
I.          Sentilan Awal
Dari sejumlah tulisan-tulisan sastra hikmat dalam Kitab Suci, bagi saya yang paling menarik dan mudah dipahami adalah Kitab Amsal. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa tulisan-tulisan sastra hikmat yang lain tidak menarik. Semuanya menarik, tetapi terdapat porsi rasa ketertarikan yang lebih untuk kitab ini. Kitab Amsal adalah tulisan yang berisi nasihat, seruan kenabian, peringatan atau petunjuk, teka-teki, dan sejumlah metafora dan cerita teladan lainnya.[1] Nama indonesia Kitab Amsal menggunakan kata Arab amsal yang seasal dengan kata Ibrani masyal. Nah, kata Ibrani masyal ini memiliki arti yang sama dengan Kitab Amsal yaitu pepatah, petuah, perumpamaan, teka-teki, perkataan hikmat, dan ejekan-ejekan.[2] Kitab Amsal berpijak pada pengalaman dan ditulis untuk tujuan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dan yang membuat saya merasa tertarik juga adalah bahwa tulisan ini selalu memiliki unsur kebaruan karena sangat kontekstual dengan pengalaman hidup setiap orang dari masa ke masa. Dengan demikian tulisan ini bisa dilihat sebagai ajaran-ajaran praktis dari nenek moyang kita orang Israel yang kemudian diturunkan kepada kita—unsur tradisi.
Kitab Amsal secara khusus menekankan pengertian dan ketaatan. Dan hal ini terbungkus dalam satu kata, yaitu pendidikan. Banyak Amsal berasal dari lingkungan keluarga dan pendidikan anak muda dalam lingkungan suku—kemungkinan sebelum Israel menjadi suatu bangsa.[3] Dengan melihat ciri, asal dan tujuan dari kitab Amsal ini, saya akhirnya  meberanikan diri untuk mencoba melihat ajaran atau tradisi yang terdapat dalam sebuah suku. Dan karena saya adalah orang Manggarai, maka saya akan mencoba melihat ajaran-ajaran yang diturunkan oleh nenek moyang saya—orang Manggarai—yang termuat dalam ungkapan-ungkapan hikmat berupa petuah atau peribahasa. Ungkapan-ungkapan hikmat ini terkenal dengan sebutan “GO’ET.
Go’et adalah ungkapan tradisional orang Manggarai yang berciri petuah atau peribahasa yang banyak mengandung makna dan ajaran untuk membina kedamainan dan kerukunan hidup bersama dalam keluarga dan masyarakat—suku. Untuk itu, saya akan mencoba mendalami ungkapan-ungkapan itu dari pengetahuan yang pernah saya dapatkan melalui orangtua dan orang-orang terdekat saya, melalui wawancara, dan juga dari sumber pustaka.
II.        Ungkapan Kebijaksanaan Orang Manggarai (Go’et) dan Sastra Hikmat  
Go’et bagi orang Manggarai merupakan petuah leluhur yang memiliki makna dan fungsinya bagi kehidupan sosial masyarakat manggarai. Sesuai teori Hutomo Via Suarjana (1995: 25), dalam bahasa Mangarai ditemukan tujuh jenis ungkapan tradisional atau go’et yang meliputi ungkapan yang berkaitan denga kepercayaan dan kegiatan hidup, ungkapan untuk mengenakkan atau memperindah pembicaraan, ungkapan berkaitan dengan status sosial seseorang, berkaitan dengan bahasa rahasia, berkaitan dengan ejekan, dan juga ungkapan yang berkaitan dengan tali persaudaraan.[4] Dan bagi orang yang bijaksana pun terdapat go’et-nya sendiri. Berikut saya akan mencoba menelaah satu persatu dari ungkapan-ungkapan go’et yang berkaitan dengan pengalaman hidup masyarakat yang sedapat mungkin akan saya sesuaikan dengan yang terdapat di dalam Kitab Amsal. Dengan demikian tidak semua dari jenis go’et di atas akan saya dalami di sini.
II. I. Macam-macam Go’et
1.     Go’et Pengetahuan atau Ajaran dalam Hidup Bersama
Pada go’et ini akan ditampilkan ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan ajaran dari para orang tua terhadap anak-anaknya dan juga berkaitan dengan etika dan moral dalam hidup bersama. Dalam kitab Amsal 29:17 dikatakan bahwa Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu. Jika sejak kecil seseorang sudah dididik menjadi orang baik dan bijak maka hal itu akan sangat berdampak positif ketika ia dewasa nantinya. Ia tidak akan menjadi orang yang fasik tetapi akan menjadi orang yang membanggakan keluarga dan masyarakat—suku.
a.      Neka Ngonde holes, neka méjeng hése – arti harafiahnya: jangan malas membalik badan dan jangan malas untuk berdiri. Biasanya ungkapan ini digunakan orangtua untuk membina anaknya sejak kecil, agar anaknya tidak menjadi seorang pemalas yang akhirnya dapat menghancurkan masa depannya sendiri dan masa depan keluarga. Karena orang yang rajin bagi orang mengarai akan memperoleh kesuksesan dalam hidup. Sebagai contoh sukses dalam belajar dan memperoleh ilmu yang cukup, paling tidak untuk membenahi hidupnya. Dan di sisi lain, boleh dikatakan kesuksesannya itu akan membuat ia menjadi seorang yang pintar dan pandai berbicara. Orang yang terpandang di kampungnya karena terkenal akan kesalehan dan kebijakannya yang terlihat dari tindakan-tindakan dan tutur katanya.
 Di dalam teks Amsal juga terdapat beberapa ayat yang berbicara soal pemalas, salah satunya adalah Ams. 6:6 Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak. Dari teks ini sangat jelas poin yang dapat kita petik. Orang yang malas diperintahkan untuk belajar dari semut yang rajin mengumpulkan makanan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa go’et dan Amsal hampir senada, bahwa ketika orang rajin maka besar kemungkinan ia menjadi bijaksana. Karena Amsal 18:9 juga mengatakan bahwa Orang yang bermalas-malas dalam pekerjaannya sudah menjadi saudara dari si perusak. Ketika orang sudah dikenal sebagai perusak maka ia tidak akan menjadi orang yang bijak lagi dan tidak bisa menjaga ketentraman dalam hidup bersama.
b.     Duat gula-we’e mane agu dempul wuku-téla toni, artinya: berangkat kerja pagi-pulang sore hari dan bekerja sampai kuku tumpul-punggungpun terluka/pecah-pecah karena tersengat cahaya sinar matahari. Ungkapan ini mau mengajarkan kepada masyarakat Manggarai bahwa kerja keras itu sangat penting. Dahulu mayoritas orang Manggarai adalah petani, sehingga konteks ungkapan ini adalah untuk membicarakan soal perjuangan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup agar bisa bertahan hidup dengan bertani. Sesungguhnya ungkapan ini sama dengan ungkapan sebelumnya tentang orang harus rajin bekerja.
c.      Reje lele-bantang cama—nai ca anggit-tuka ca lele, artinya: berkumpul-merancang bersama/satukan tekad—selalu bersatu dan bersama. Ungkapan ini memiliki makna kebersaman dan musyawarah dalam hidup bersama. Konteks dari ungkapan ini dahulu adalah bahwa setiap orang Manggarai harus selalu kompak dan bersatu. Kekompakan dan kebersatuan itu terungkap dalam perjumpaan dan musyawarah jika ingin memutuskan sesuatu atau sebuah persoalan. Setiap orang memiliki hak untuk berpendapat, dan pendapatnya itu diharapkan dapat membangun kesejahteraan hidup bersama. Dan kesejahteraan itu terlihat dari hasil kesepakatan yang adil dalam musyawarah tersebut. Dengan memperoleh kesepatan besama yang adil maka tidak akan ada konflik atau perbantahan. Go’et ini dapat dibandingkan dengan beberapa ayat dalam Kitab Amsal berikut yang hampir sama tujuannya, yaitu menghindari konflik dan perbantahan. Misalnya: Amsal 3:29 Janganlah merencanakan kejahatan terhadap sesamamu, sedangkan tanpa curiga ia tinggal bersama-sama dengan engkau. Amsal 3:30 Janganlah bertengkar tidak semena-mena dengan seseorang, jikalau ia tidak berbuat jahat kepadamu. Amsal 22:10 Usirlah si pencemooh, maka lenyaplah pertengkaran, dan akan berhentilah perbantahan dan cemooh.
d.     Hiang koe hae etam-nggoe-nggoes koe wale oe agu inggo-inggos koe wale io, artinya hargailah orang yang lebih tua—perlahanlah menjawab ‘ya’ ketika dipanggil. Ungkapan ini memilik makna berupa ajaran mengeneai etika berbicara dan bertindak. Setiap orang diharapkan untuk berbicara dengan sopan dan berkelakuan baikl dalam hidup bersama. Dalam keluarga menghargai orangtua dan juga menghargai orang lain dalam masyarakat, secara khusus terhadap orang yang lebih tua dari kita. Nah ungkapan ini dapat disandingkan dengan sebuah go’et yang lain yaitu Neka mbeis agu hae ata, neka kode ngong woe, agu neka acu ngong wa’u yang berarti jangan meremehkan/meragukan sesama kita dan juga jangan mengatakan kera kepada besan dan jangan mengatakan anjing kepada keluarga. Ungkapan ini mau mengatakan bahwa kita jangan sekali-kali berkata kasar atau mencaci-maki sesama kita dalam hidup bersama. Hal ini agar tidak terjadi konflik yang merongrong kedamaian hidup bersama. Senada dengan go’et ini, Amsal 20:20 juga mengatakan bahwa Siapa mengutuki ayah atau ibunya, pelitanya akan padam pada waktu gelap. Kata mengutuki berarti bahwa ia tidak mengindahkan keberadaan orangtuanya. Dengan demikian ia tidak mengakui dan menghargai orangtuanya. Orang seperti ini akan mengalami kesusahan hidup dan dapat juga dikatakan bahwa umurnya pendek. Atau juga dari Amsal 18:7 yang berbunyi Orang bebal dibinasakan oleh mulutnya, bibirnya adalah jerat bagi nyawanya. Orang bebal yang tidak menjaga mulutnya ini bisa ditafsirkan sebagai orang yang berkata kasar dan tidak sopan dengan sesamanya, dengan demikian ia akan dibinasakan. Demikian juga pada frase kedua bibirnya yang akan menjadi jerat baginya untuk masuk ke ambang maut, berarti kata-katanya sendirilah yang membunuhnya.
e.      Curup hae ata neho luju mu’u, cépa hae reba cama neho emas lema. Eme io ata ite ngong io wéki ru’, memiliki arti: tegurlah/bicaralah dengan sopan dan bersahabatlah dengan baik. Bila kita menghormati orang lain maka orang lain pun akan menghormati kita.[5] Ungkapan ini sebenarnya hampir sama dengan ungkapan hiang koe hae etam-nggoe-nggoes koe wale oe agu inggo-inggos koe wale io yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Namun pada ungkapan ini terdapat hubungan kausalitas, di mana jika kita menghormati orang lain maka orang lain pun akan manaruh hormat pada kita. Demikian sebaliknya, jika kita tidak menghormati orang lain maka orang lain pun tidak akan menghormati kita. Kita bisa juga membandingkannya dengan Amsal 13:18 Kemiskinan dan cemooh menimpa orang yang mengabaikan didikan, tetapi siapa mengindahkan teguran, ia dihormati.  
f.      Neka beti nai agu mas mata lelo di’a data, artinya: jangan sakit hati dan iri hati melihat keberhasilan orang lain. Tak bisa dipungkiri bahwa setiap orang memiliki nasib hidup yang bervariasi. Orang Manggarai dahulu pun demikian. Di mana mereka juga mempercayai bahwa, setiap orang memiliki urat lime (urat tangan=nasib hidup) berbeda-beda. Ada yang sukses sekali dan ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang kurang beruntung dalam hidupnya. Nah, perbedaan status sosial inilah yang dapat menimbulkan kesenjangan antara yang sukses dan yang kurang beruntung. Dan inilah yang menimbulkan rasa cemburu dan iri melihat kesuksesan orang lain. Untuk itu para tetua atau orang tua Manggarai menciptakan ungkapan ini agar mengingatkan setiap orang untuk tidak menanamkan sikap iri dan cemburu terhadap sesama. Hal ini agar kedamaian hidup bersama tetap terjaga.
Amsal 18:12 Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan. Dapat dijadikan pembanding untuk ungakapan go’et ini, karena bagi saya orang yang memiliki kerendahan hati dalam dirinya sulit untuk merasa cemburu dengan keberhasilan orang lain. Ia mungkin malah bersyukur atas keberhasilan orang lain dan berharap kepada Tuhan agar ia juga diberi keberhasilan yang sama.
g.     Neka pocu hae wa’u, neka jogot hae golo, artinya: jangan membusukkan anggota suku/sesama suku dan menjelek-jelekkan sesama kampung. Pocu adalah sikap dan tindakan yang bertujuan merusak harkat dan martabat orang lain. Sikap dan tindakan seperti ini tentu melanggar hak-hak asasi orang lain yang seharusnya dihormati. Ungkapan ini merupakan nasihat yang diberikan kepada setiap orang agar bisa menghargai orang lain dalam hidup bersama. Nah, jika ada yang tetap bertindak seperti ini maka ia akan dilaporkan ke tua adat. Ia kemudian akan mendapat nasihat dari tua adat. Dan ia juga akan mendapat denda dan harus mengikuti upacara hambor (perdamaian). Denda biasanya tuak, ayam atau babi. Tujuan dari upacara ini adalah ropo lema atau letak lema (potong lidah). Namun ropo lema yang dimaksudkan di sini adalah pemotongan lidah secara simbolis agar si pelaku tidak lagi melakukan tindakannya itu. Upacara ini termaktub dalam ungkapan: Hambor keta ata nau one lonto cama ho’o. Neka po’ongs jogot, béte nggéte. Paka oke keta taungs béti nai, mose molor one lino. Mber koe taungs nengong-nangong du lesos saled agu one waes laud. Artinya: berdamailah yang indah dalam hidup bersama. Jangan rasa dengki dipelihara, pupuskan sakit hati. Haruslah sakit hati dibuang, hidup benar di bumi. Jauhkanlah semua pertengkaran, biarlah pergi bersama benamnya matahari dan terhanyut oleh air yang mengalir ke hilir.[6] Dengan demikian konflik itu dapat diatasi dan ketentraman serta kedamaian hidup bersama pun kembali dipulihkan.
Untuk go’et ini kita bisa melihat ungkapan yang hampir sama dalam Amsal 21:24 yang berbunyi: Orang yang kurang ajar dan sombong pencemooh namanya, ia berlaku dengan keangkuhan yang tak terhingga. Orang yang sombong sering merendahkan orang lain. Ia tidak ingin orang lain lebih berhasil melampauinya. Dan juga orang yang suka pocu dapat dikatakan sebagai orang yang kurang ajar.
2.     Go’et yang Berkaitan dengan Larangan-larangan
a.    Neka inung toe nipu agu hang toe tanda, neka lage loce toko data, artinya jangan minum sembarangan dan jangan makan sembarangan, jangan melangkahi tikar tempat tidur orang. Ungkapan lain yang senada, neka ngoeng ata, neka jurak, neka lage loce toko data, artinya jangan mengingini orang lain, jangan melangkahi tikar tempat tidur orang lain. Kata inung  (minum) dan hang (makan) dalam ungkapan ini bukan untuk diartikan secara harafiah, tetapi sebuah ungkapan metaforis untuk hubungan seks. Inung toe nipu agu hang toe tanda berarti orang yang melakukan hubungan seks sembarangan dan melakukan hubungan seks dengan wanita yang tidak diperkenankan menurut adat. Sementara lage loce toko data berarti bahwa orang yang ingin melakukan hubungan seks dengan istri orang lain.  Kedua go’et larangan ini memilik makna bahwa setiap orang dilarang untuk berhubungan seks sembarangan atau yang terlarang. Orang Manggarai menyebut orang yang berkelakuan seperti ini sebagai  jurak. Contohnya adalah berhubungan seks dengan saudari atau keluarga sendiri (incest) dan juga berzinah dengan istri orang, baik atas persetujuan kedua belah pihak, maupun karena paksaan pria (pemerkosaan).[7] Dan untuk mempertegas ungkapan ini terdapat ungkapan lain yang tidak hanya melarang tetapi mengancam orang dengan kutukan. Ungkapan itu dapat kita lihat pada poin berikutnya.
b.   Eme inung toe nipu agu hang toe tanda agu anggom le anggom lau-ro’e ngoel rekok lebo cemol mosem, artinya bila minum dan makan sembarangan, juga merangkul orang sembarangan maka hidupmu akan layu sebelum berkembang. Ungkapan ini memiliki makna bahwa bila orang melakukan hubungan seks terlarang dan sembarangan maka ia akan mati muda atau usia hidupnya pendek karena mendapat kutukan dari korban yang haknya diambil secara paksa.[8]
c.    Neka tuku-takan neho léma dé nggalang, artinya: jangan berasak-asakan seperti lidah ular. Ungkap ini merupakan idiom untuk menyatakan makna jangan suka membual atau berbohong. Secara leksikal, kata nggalang dalam bahasa Manggarai berarti ular berbisa yang kecil atau ular tambang (ular lidi). Dalam bahasa Latin disebut ahaetulla picta. Dalam ungkapan neka tuku-takak neho lema nggalang adalah kiasan bagi orang yang suka membual atau memutarbalikkan fakta. Ungkapan ini bermakna sama dengan ungkapan ‘lidah tak bertulang’ dalam Bahasa Indonesia.[9] Beberapa Amsal berikut kiranya dapat kita lihat untuk membuat perbandingan dengan go’et ini. Antara lain Amsal 21:23 Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran; Ams 6:12 Tak bergunalah dan jahatlah orang yang hidup dengan mulut serong; Ams 4:24 Buanglah mulut serong dari padamu dan jauhkanlah bibir yang dolak-dalik dari padamu; Ams 8:13 Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat. Dan juga Ams 13:3 Siapa menjaga mulutnya, memelihara nyawanya, siapa yang lebar bibir, akan ditimpa kebinasaan.
3.     Go’et  Tentang Kaum Perempuan
Dalam Kitab Amsal muncul 32 kali kata perempuan. Hal ini berarti tema tentang perempuan itu sangat penting. Kitab Amsal banyak menceritakan kebrorokan kaum perempuan. Perempuan dilihat sebagai pembawa masalah dalam hidup bersama. Tetapi juga tak bisa dipungkiri bahwa Amsal juga berbicara soal perempuan yang baik dan terhormat. Misalnya dapat kita temukan pada Amsal 11:16 Perempuan yang baik hati beroleh hormat; sedangkan seorang penindas beroleh kekayaan.(Lihat juga Ams 11:22 dan 14:1). Dengan demikian, saya juga akan melihat ungkapan-ungkapan orang Manggarai yang berkaitan dengan perempuan dan juga bagaimana mereka—perempuan—dipandang.
a.      Ine wai roto tong-beka lenga, artinya: wanita bagaikan keranjang penadah terbuka. Ungkapan ini mau menggambarkan wanita tuna susila. Secara leksikal, kata roto dalam bahasa Manggarai berarti keranjang yang terbuat dari ruas-ruas bambu yang berukuran kecil yang dianyam menjadi sebuah keranjang. Roto biasa dibawa oleh para ibu atau para gadis ketika berangkat ke ladang. Roto digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk membawa bekal dari rumah ke kebun dan juga membawa pulang hasil panen dari kebun ke rumah. Orang manggarai menggunakan roto sebagai kiasan bagi wanita tuna susila. Hal tersebut disebabkan karena bentuk roto yang bulat dan terbuka untuk memudahkan para ibu menyimpan hasil panen tanpa harus menurunkan roto yang sudah ada di pundak ke tanah.[10] Beberapa teks Amsal berikut yang saya pilih untuk dibandingkan dengan go’et ini. Amsal 5:3 Karena bibir perempuan jalang menitikkan tetesan madu dan langit-langit mulutnya lebih licin dari pada minyak dan Amsal 23:27 Karena perempuan jalang adalah lobang yang dalam, dan perempuan asing adalah sumur yang sempit. Perlu digarisbawahi bahwa kedua teks Amsal ini memandang perempuan sangat negatif. Untuk itu setiap kaum pria harus berhati-hati dengan tipe perempuan seperti ini agar tidak jatuh dalam rayuannya. Sementara go’et di atas ditujukan atau sebagai peringatan bagi kaum perempuan agar tidak hidup dan menjadi seperti gambaran perempuan yang ada dalam go’et itu.
b.     Anak péncang wa, énde lomes kole, artinya: anak dibiarkan tak terurus dan ibu bersolek lagi. Ungkapan ini ingin menyindir seorang ibu atau lebih tepatnya seorang janda yang tidak bertanggung jawab terhadap anaknya. Ia meninggalkan anaknya begitu saja dan tidak mengurusnya. Sementara ia sendiri sibuk bersolek dan berdandan kembali agar terlihat muda dan cantik kembali, dengan tujuan agar lelaki menyukainya dan ingin menikahinya lagi. Tipe perempuan seperti ini tidak betah di rumah, agar ia tidak diganggu oleh anak-anaknya. Dapat dikatakan bahwa perempuan ini suka jalan ke sana dan kemari untuk memamerkan kecantikannya, agar dapat dilihat kaum lelaki. Beberapa teks Amsal berikut kiranya menjadi sebuah perbandingan yang cocok. Maknanya senada dengan yang terdapat dalam go’et ini, seperti Ams 7:11 cerewet dan liat perempuan ini, kakinya tak dapat tenang di rumah, dan Ams 7:12 sebentar ia di jalan dan sebentar di lapangan, dekat setiap tikungan ia menghadang. (Lih. Ams 6:13;30:16)
c.      Méjok déko, ngguing wuli, lé’lak médak, momang nggotak, artinya: wanita yang senang diraba-raba badannya, tidak menolak bila dibelai dan dipegang, melayani pria dengan senang hati. Singkatnya wanita tuna susila/murahan. Arti harafiah dari setiap kata adalah sebagai berikut: méjok déko=jinak bila ditangkap, ngguing wuli=meliuk-liuk kegirangan bila diraba-raba. Sesungguhnya ungkapan ini hanya pantes digunakan untuk hewan, yakni kuda. Namun oleh orang Manggarai dijadikan sebagai metaforis untuk menggambarkan wanita yang tidak melawan dan malahan senang bila diraba-raba atau dielus-elus oleh pria. Demikian juga dengan frase lélak médak=gerak penuh gairah, mengambarkan wanita yang penuh gairah dan nafsu. Momang nggotak=dicintai karena gairahnya yang kemudian perlahan-lahan tenang karena dielus-elus. Ungkapan ini juga untuk kuda yang sangat bergairah dan bersemangat namun ketika dielus-elus ia menjadi tenang dalam dekapan pemilikinya. Orang Manggarai akhirnya mengangkat ungkapan untuk kuda ini menjadi analogi bagi perempuan susila yang selalu siap melayani pria. Apa pun yang pria ingini ia siap lakukan. Meskipun demikian ungkapan ini bukan semata-mata untuk menjelekkan kaum perempuan tetapi ingin mengingatkan kaum perempuan untuk tetap menjaga harkat dan martabat dirinya agar tidak dimanfaatkan oleh kaum pria. Dapat kita bandingkan dengan teks Ams 22:14 Mulut perempuan jalang adalah lobang yang dalam; orang yang dimurkai TUHAN akan terperosok ke dalamnya dan Ams 9:13 Perempuan bebal cerewet, sangat tidak berpengalaman ia, dan tidak tahu malu. (lihat juga Ams 7:5;25)
4.     Go’et Untuk Orang yang Bijaksana
a.      Nai Ngalis dan Tuka Ngengga[11]
Demi pemahaman yang dalam akan ungkapan ini, pertama-tama kita perlu memahami masing-masing kata yang ada dalam ungkapan di atas. Ungkapan itu terdiri dari dua bagian yang masing-masingnya mengandung dua kata. Bagian pertama nai ngalis dan yang kedua tuka ngengga. Secara leksikal kata-kata itu memiliki artinya masing-masing, yang mungkin sangat bertolak belakang dengan tema pembicaraan kita ini. kata nai mempunyai beberapa arti: jiwa, roh, nyawa. Tetapi bisa juga berarti hati, pikiran atau mens dalam bahasa Latin. Ngalis berarti luas. Mempunyai space yang luas sehingga bisa menampung banyak hal. Walaupun space yang ngalis itu sudah menampung banyak hal, tetapi ruang itu tidak pernah penuh dan menjadi sempit. Ada makna elastisitas dalam kata ngalis itu. Semakin banyak diisi ia tidak pernah menjadi penuh melainkan menjadi semakin kaya, mendalam dan berbobot. Ini adalah dimensi kepenuhan yang tidak terbatas secara fisik.
Kata tuka secara leksikal berarti perut. Namun tuka yang dimaksudkan di sini bukan sekedar arti fisiknya tetapi dapat diartikan sebagai lambang hati, lambang pemikiran, dan lambang keluasan budi. Sementara kata ngengga berarti luas, besar, lapang, tidak sempit, tidak sesak. Kata ngengga ini sebenarnya sinonim dengan kata ngalis di atas tadi. Dengan demikian tuka ngengga dapat diartikan sebagai hati atau pemikiran yang luas. Dengan demikian arti dari kedua ungkapan ini adalah sifat dari orang yang hati, budi dan pikirannya luas, yang ketika menimbang dan menilai sesuatu tidak tergesa-gesa, melainkan memikirkannya dengan panjang-lebar. Singkatnya, orang Manggarai menilai orang yang memiliki nai ngalis tuka ngengga sebagai orang yang berhikmat dan bijaksana.
b.     Mori Kraeng ata Nai Nggalis dan Tuka Ngengga
Mori Keraéng adalah sebutan untuk Tuhan Allah oleh orang Manggarai. Kata mori berarti tuan, sedangkan kata keraéng berasal dari kata karaéng dalam bahasa Makasar yang merujuk pada jabatan para pemuka pribumi.[12] Yang kemudian oleh orang Manggarai menggabungkan keduanya. Dengan demikian Mori Kraeng bagi orang Manggarai adalah gambaran orang terhormat yang memiliki segalanya. Penuh kuasa atas segala yang ada di bumi. Termasuk memiliki hati yang bijak. Oleh karena itu Dia harus dihormati.
Ungkapan nai ngalis tuka ngengga awalnya hanya untuk mengapreasiasi sesama manusia yang memiliki hati yang bijak. Namun akhirnya manusia sadar bahwa nai ngalis tuka ngengga yang mereka miliki tidak ada saingannya dengan yang dimiliki oleh Mori Keraéng, dengan demikian ungkapan ini pun akhirnya juga diperuntukkan untuk Tuhan yang Maha Tinggi.
Manusia bisa menghadap Tuhan Allah (Mori Kraeng) untuk meminta nai ngalis tuka ngengga dari Tuhan sendiri, karena akhirnya hanya Tuhan sajalah yang memiliki nai ngalis tuka ngengga yang sangat absolut dan tanpa batas. Manusia hanya bisa memiliki hal ini dalam takaran dan batas-batas tertentu saja. Ungkapan ini kira-kira sama dengan ungkapan yang banyak kita baca dalam Kitab Suci Perjanjian Lama: “Tuhan itu baik, kekal abadi kasih setia-Nya (Mzm 136).[13] Kitab Amsal juga mengakui bahwa hikmat atau kebijaksanaan yang sejati itu hanya berasal dari Allah. Hal ini dapat kita lihat dalam Amsal 2:6 yang berbunyi: Karena TUHANlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.
III.             Sentilan Akhir:
Setelah melihat jenis-jenis go’et ini akhirnya, saya menyimpulkan bahwa go’et juga merupakan jenis ungkapan atau petuah untuk prkatek hidup masyarakat sehari-hari layaknya sastra hikmat Kitab Suci. Tujuan dan ciri khas go’et pun sama dan senada dengan ungkapan-ungkapan dalam tulisan-tulisan sastra hikmat yang terdapat dalam Kitab Suci. Secara khusus Kitab Amsal. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa go’et adalah jenis lain dari Kitab Amsal. Jika Kitab Amsal adalah ajaran tradisi yang diturunkan dari nenek moyang kita orang Israel, demikian juga go’et adalah ajaran yang diturunkan oleh nenek moyang orang Manggarai untuk para penerus sukunya.
Namun saya menyadari bahwa ungkapan-ungkapan tradisional orang Manggarai ini sekarang kurang dilestarikan. Hal ini karena ungkapan ini hanya diketahui oleh orang tua yang sudah kakek-kakek, sementara banyak dari generasi baru kurang mengetahuinya. Ketakutan saya adalah lambat laun ungkapan ini akan punah jika tidak dikembangkan kepada generasi penerus. Seandainya ungkapan-ungkapan ini dibukukan layaknya Kitab Amsal, pasti akan sangat berguna bagi para penerus suku Manggarai. Karena, hemat saya, ungkapan-ungkapan dalam go’et ini memiliki pengetahuan yang sangat berarti. Dengan demikian, saya berharap semoga kaum muda berani untuk belajar dana melihat kembali nila-nilai yang terkandung dalam go’et-go’et ini.
Bibliografi
Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta, Kanisius, 2002
Wim Van Der Weiden, Seni Hidup “Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama”, Yogyakarta, Kanisius, 1995
Maria Sulastri, Go’et (ungkapan tradisional) Manggarai Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), Universitas Sanata Dharma, 2010,
A. J. Verheijen, Manggarai dan Wujud Tertinggi, Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),1991





[1]Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta, Kanisius, 2002, hlm.463.
[2]Wim Van Der Weiden, Seni Hidup “Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama”, Yogyakarta, Kanisius, 1995, hlm. 47.
[3]Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, hlm. 465.
[4]Maria Sulastri, Go’et (ungkapan tradisional) Manggarai Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), Universitas Sanata Dharma, 2010, hlm. 27.
[5]Armada Riyanto, dkk. (ed), Kearifan Lokal Pancasila, “Butir-butir Filsafat Keindonesiaan”, hlm 231
[6] Armada Riyanto, dkk. (ed), Kearifan Lokal Pancasila, “Butir-butir Filsafat Keindonesiaan”, hlm 231
[7]Bdk. Maria Sulastri, Go’et (ungkapan tradisional) Manggarai Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), hlm. 47
[8] Bdk. Maria Sulastri, Go’et (ungkapan tradisional) Manggarai Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), hlm. 48.
[9] Maria Sulastri, Go’et (ungkapan tradisional) Manggarai Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), hlm. 48.
[10]Maria Sulastri, Go’et (ungkapan tradisional) Manggarai Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), hlm. 57.
[11]Disari dari Armada Riyanto, dkk. (ed), Kearifan Lokal Pancasila, “Butir-butir Filsafat Keindonesiaan”, hlm. 402-411.
[12]A. J. Verheijen, Manggarai dan Wujud Tertinggi, Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),1991, hlm. 37.
[13]Armada Riyanto, dkk. (ed), Kearifan Lokal Pancasila, “Butir-butir Filsafat Keindonesiaan”, hlm. 403.
Share:

1 komentar:

FILOSOFIA mengatakan...

Mantap kae.... Terbantu skali e....

Arsip Blog

Definition List

3/recent/ticker-posts

Unordered List

5/Technology/col-left

Support

5/Nature/col-left