Go’et: Ungkapan Hikmat Orang Manggarai
(Sebuah Tinjauan Sastra Budaya Manggarai
yang Bertolak dari Kitab Amsal)
I.
Sentilan
Awal
Dari
sejumlah tulisan-tulisan sastra hikmat dalam Kitab Suci, bagi saya yang paling
menarik dan mudah dipahami adalah Kitab Amsal. Tetapi hal ini bukan berarti
bahwa tulisan-tulisan sastra hikmat yang lain tidak menarik. Semuanya menarik,
tetapi terdapat porsi rasa ketertarikan yang lebih untuk kitab ini. Kitab Amsal
adalah tulisan yang berisi nasihat, seruan kenabian, peringatan atau petunjuk,
teka-teki, dan sejumlah metafora dan cerita teladan lainnya.[1] Nama
indonesia Kitab Amsal menggunakan kata Arab amsal
yang seasal dengan kata Ibrani masyal.
Nah, kata Ibrani masyal ini
memiliki arti yang sama dengan Kitab Amsal yaitu pepatah, petuah, perumpamaan,
teka-teki, perkataan hikmat, dan ejekan-ejekan.[2] Kitab
Amsal berpijak pada pengalaman dan ditulis untuk tujuan praktis dalam kehidupan
sehari-hari. Dan yang membuat saya merasa tertarik juga adalah bahwa tulisan
ini selalu memiliki unsur kebaruan karena sangat kontekstual dengan pengalaman hidup
setiap orang dari masa ke masa. Dengan demikian tulisan ini bisa dilihat
sebagai ajaran-ajaran praktis dari nenek moyang kita orang Israel yang kemudian
diturunkan kepada kita—unsur tradisi.
Kitab
Amsal secara khusus menekankan pengertian dan ketaatan. Dan hal ini terbungkus
dalam satu kata, yaitu pendidikan. Banyak Amsal berasal dari lingkungan
keluarga dan pendidikan anak muda dalam lingkungan suku—kemungkinan sebelum
Israel menjadi suatu bangsa.[3]
Dengan melihat ciri, asal dan tujuan dari kitab Amsal ini, saya akhirnya meberanikan diri untuk mencoba melihat ajaran
atau tradisi yang terdapat dalam sebuah suku. Dan karena saya adalah orang
Manggarai, maka saya akan mencoba melihat ajaran-ajaran yang diturunkan oleh
nenek moyang saya—orang Manggarai—yang termuat dalam ungkapan-ungkapan hikmat
berupa petuah atau peribahasa. Ungkapan-ungkapan hikmat ini terkenal dengan
sebutan “GO’ET.
Go’et adalah
ungkapan tradisional orang Manggarai yang berciri petuah atau peribahasa yang
banyak mengandung makna dan ajaran untuk membina kedamainan dan kerukunan hidup
bersama dalam keluarga dan masyarakat—suku. Untuk itu, saya akan mencoba
mendalami ungkapan-ungkapan itu dari pengetahuan yang pernah saya dapatkan
melalui orangtua dan orang-orang terdekat saya, melalui wawancara, dan juga
dari sumber pustaka.
II.
Ungkapan
Kebijaksanaan Orang Manggarai (Go’et)
dan Sastra Hikmat
Go’et
bagi orang Manggarai merupakan petuah leluhur yang memiliki makna dan fungsinya
bagi kehidupan sosial masyarakat manggarai. Sesuai teori Hutomo Via Suarjana
(1995: 25), dalam bahasa Mangarai ditemukan tujuh jenis ungkapan tradisional
atau go’et yang meliputi ungkapan
yang berkaitan denga kepercayaan dan kegiatan hidup, ungkapan untuk mengenakkan
atau memperindah pembicaraan, ungkapan berkaitan dengan status sosial
seseorang, berkaitan dengan bahasa rahasia, berkaitan dengan ejekan, dan juga
ungkapan yang berkaitan dengan tali persaudaraan.[4]
Dan bagi orang yang bijaksana pun terdapat go’et-nya
sendiri. Berikut saya akan mencoba menelaah satu persatu dari ungkapan-ungkapan
go’et yang berkaitan dengan
pengalaman hidup masyarakat yang sedapat mungkin akan saya sesuaikan dengan
yang terdapat di dalam Kitab Amsal. Dengan demikian tidak semua dari jenis go’et di atas akan saya dalami di sini.
II.
I. Macam-macam Go’et
1.
Go’et Pengetahuan atau Ajaran dalam Hidup
Bersama
Pada
go’et ini akan ditampilkan ungkapan-ungkapan
yang berkaitan dengan ajaran dari para orang tua terhadap anak-anaknya dan juga
berkaitan dengan etika dan moral dalam hidup bersama. Dalam kitab Amsal 29:17 dikatakan
bahwa Didiklah anakmu, maka ia akan
memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu. Jika
sejak kecil seseorang sudah dididik menjadi orang baik dan bijak maka hal itu
akan sangat berdampak positif ketika ia dewasa nantinya. Ia tidak akan menjadi
orang yang fasik tetapi akan menjadi orang yang membanggakan keluarga dan
masyarakat—suku.
a. Neka Ngonde holes, neka méjeng hése
– arti
harafiahnya: jangan malas membalik badan dan jangan malas untuk berdiri. Biasanya
ungkapan ini digunakan orangtua untuk membina anaknya sejak kecil, agar anaknya
tidak menjadi seorang pemalas yang akhirnya dapat menghancurkan masa depannya
sendiri dan masa depan keluarga. Karena orang yang rajin bagi orang mengarai
akan memperoleh kesuksesan dalam hidup. Sebagai contoh sukses dalam belajar dan
memperoleh ilmu yang cukup, paling tidak untuk membenahi hidupnya. Dan di sisi
lain, boleh dikatakan kesuksesannya itu akan membuat ia menjadi seorang yang
pintar dan pandai berbicara. Orang yang terpandang di kampungnya karena
terkenal akan kesalehan dan kebijakannya yang terlihat dari tindakan-tindakan
dan tutur katanya.
Di dalam teks Amsal juga terdapat beberapa
ayat yang berbicara soal pemalas, salah satunya adalah Ams. 6:6 Hai pemalas, pergilah
kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak. Dari teks ini sangat
jelas poin yang dapat kita petik. Orang yang malas diperintahkan untuk belajar
dari semut yang rajin mengumpulkan makanan. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa go’et dan Amsal hampir senada, bahwa
ketika orang rajin maka besar kemungkinan ia menjadi bijaksana. Karena Amsal
18:9 juga mengatakan bahwa Orang yang
bermalas-malas dalam pekerjaannya sudah menjadi saudara dari si perusak.
Ketika orang sudah dikenal sebagai perusak maka ia tidak akan menjadi orang
yang bijak lagi dan tidak bisa menjaga ketentraman dalam hidup bersama.
b. Duat gula-we’e mane agu dempul
wuku-téla toni, artinya: berangkat kerja pagi-pulang
sore hari dan bekerja sampai kuku tumpul-punggungpun terluka/pecah-pecah karena
tersengat cahaya sinar matahari. Ungkapan ini mau mengajarkan kepada masyarakat
Manggarai bahwa kerja keras itu sangat penting. Dahulu mayoritas orang
Manggarai adalah petani, sehingga konteks ungkapan ini adalah untuk
membicarakan soal perjuangan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup agar
bisa bertahan hidup dengan bertani. Sesungguhnya ungkapan ini sama dengan
ungkapan sebelumnya tentang orang harus rajin bekerja.
c. Reje lele-bantang cama—nai ca
anggit-tuka ca lele, artinya: berkumpul-merancang bersama/satukan
tekad—selalu bersatu dan bersama. Ungkapan ini memiliki makna kebersaman dan musyawarah
dalam hidup bersama. Konteks dari ungkapan ini dahulu adalah bahwa setiap orang
Manggarai harus selalu kompak dan bersatu. Kekompakan dan kebersatuan itu terungkap
dalam perjumpaan dan musyawarah jika ingin memutuskan sesuatu atau sebuah
persoalan. Setiap orang memiliki hak untuk berpendapat, dan pendapatnya itu
diharapkan dapat membangun kesejahteraan hidup bersama. Dan kesejahteraan itu
terlihat dari hasil kesepakatan yang adil dalam musyawarah tersebut. Dengan
memperoleh kesepatan besama yang adil maka tidak akan ada konflik atau
perbantahan. Go’et ini dapat dibandingkan
dengan beberapa ayat dalam Kitab Amsal berikut yang hampir sama tujuannya,
yaitu menghindari konflik dan perbantahan. Misalnya: Amsal 3:29 Janganlah merencanakan kejahatan terhadap sesamamu, sedangkan
tanpa curiga ia tinggal bersama-sama dengan engkau. Amsal 3:30 Janganlah
bertengkar tidak semena-mena dengan seseorang, jikalau ia tidak berbuat jahat
kepadamu. Amsal 22:10 Usirlah si pencemooh, maka lenyaplah pertengkaran, dan
akan berhentilah perbantahan dan cemooh.
d. Hiang koe hae etam-nggoe-nggoes koe
wale oe agu inggo-inggos koe wale io, artinya hargailah orang
yang lebih tua—perlahanlah menjawab ‘ya’ ketika dipanggil. Ungkapan ini memilik
makna berupa ajaran mengeneai etika berbicara dan bertindak. Setiap orang
diharapkan untuk berbicara dengan sopan dan berkelakuan baikl dalam hidup
bersama. Dalam keluarga menghargai orangtua dan juga menghargai orang lain
dalam masyarakat, secara khusus terhadap orang yang lebih tua dari kita. Nah
ungkapan ini dapat disandingkan dengan sebuah
go’et yang lain yaitu Neka mbeis agu
hae ata, neka kode ngong woe, agu neka acu ngong wa’u yang berarti jangan meremehkan/meragukan
sesama kita dan juga jangan mengatakan kera kepada besan dan jangan mengatakan
anjing kepada keluarga. Ungkapan ini mau mengatakan bahwa kita jangan
sekali-kali berkata kasar atau mencaci-maki sesama kita dalam hidup bersama.
Hal ini agar tidak terjadi konflik yang merongrong kedamaian hidup bersama.
Senada dengan go’et ini, Amsal 20:20 juga mengatakan bahwa Siapa mengutuki ayah atau ibunya, pelitanya
akan padam pada waktu gelap. Kata mengutuki berarti bahwa ia tidak
mengindahkan keberadaan orangtuanya. Dengan demikian ia tidak mengakui dan
menghargai orangtuanya. Orang seperti ini akan mengalami kesusahan hidup dan
dapat juga dikatakan bahwa umurnya pendek. Atau juga dari Amsal 18:7 yang
berbunyi Orang bebal dibinasakan oleh
mulutnya, bibirnya adalah jerat bagi nyawanya. Orang bebal yang tidak
menjaga mulutnya ini bisa ditafsirkan sebagai orang yang berkata kasar dan
tidak sopan dengan sesamanya, dengan demikian ia akan dibinasakan. Demikian
juga pada frase kedua bibirnya yang akan menjadi jerat baginya untuk masuk ke
ambang maut, berarti kata-katanya sendirilah yang membunuhnya.
e. Curup hae ata neho luju mu’u, cépa
hae reba cama neho emas lema. Eme io ata ite ngong io wéki ru’, memiliki
arti: tegurlah/bicaralah dengan sopan dan bersahabatlah dengan baik. Bila kita
menghormati orang lain maka orang lain pun akan menghormati kita.[5]
Ungkapan ini sebenarnya hampir sama dengan ungkapan hiang koe hae etam-nggoe-nggoes koe wale oe agu inggo-inggos koe wale
io yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Namun pada ungkapan ini terdapat
hubungan kausalitas, di mana jika kita menghormati orang lain maka orang lain
pun akan manaruh hormat pada kita. Demikian sebaliknya, jika kita tidak
menghormati orang lain maka orang lain pun tidak akan menghormati kita. Kita
bisa juga membandingkannya dengan Amsal 13:18 Kemiskinan dan cemooh menimpa orang yang mengabaikan didikan, tetapi
siapa mengindahkan teguran, ia dihormati.
f. Neka beti nai agu mas mata lelo
di’a data, artinya: jangan sakit hati dan iri hati melihat
keberhasilan orang lain. Tak bisa dipungkiri bahwa setiap orang memiliki nasib
hidup yang bervariasi. Orang Manggarai dahulu pun demikian. Di mana mereka juga
mempercayai bahwa, setiap orang memiliki urat
lime (urat tangan=nasib hidup) berbeda-beda. Ada yang sukses sekali dan ada
yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang kurang beruntung dalam hidupnya. Nah,
perbedaan status sosial inilah yang dapat menimbulkan kesenjangan antara yang
sukses dan yang kurang beruntung. Dan inilah yang menimbulkan rasa cemburu dan
iri melihat kesuksesan orang lain. Untuk itu para tetua atau orang tua
Manggarai menciptakan ungkapan ini agar mengingatkan setiap orang untuk tidak
menanamkan sikap iri dan cemburu terhadap sesama. Hal ini agar kedamaian hidup
bersama tetap terjaga.
Amsal
18:12 Tinggi hati mendahului kehancuran,
tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan. Dapat dijadikan pembanding
untuk ungakapan go’et ini, karena bagi saya orang yang memiliki
kerendahan hati dalam dirinya sulit untuk merasa cemburu dengan keberhasilan
orang lain. Ia mungkin malah bersyukur atas keberhasilan orang lain dan
berharap kepada Tuhan agar ia juga diberi keberhasilan yang sama.
g. Neka pocu hae wa’u, neka jogot hae
golo, artinya: jangan membusukkan anggota suku/sesama suku
dan menjelek-jelekkan sesama kampung. Pocu
adalah sikap dan tindakan yang bertujuan merusak harkat dan martabat orang
lain. Sikap dan tindakan seperti ini tentu melanggar hak-hak asasi orang lain
yang seharusnya dihormati. Ungkapan ini merupakan nasihat yang diberikan kepada
setiap orang agar bisa menghargai orang lain dalam hidup bersama. Nah, jika ada
yang tetap bertindak seperti ini maka ia akan dilaporkan ke tua adat. Ia
kemudian akan mendapat nasihat dari tua adat. Dan ia juga akan mendapat denda
dan harus mengikuti upacara hambor (perdamaian).
Denda biasanya tuak, ayam atau babi. Tujuan dari upacara ini adalah ropo lema atau letak lema (potong lidah). Namun ropo lema yang dimaksudkan di sini adalah pemotongan lidah secara
simbolis agar si pelaku tidak lagi melakukan tindakannya itu. Upacara ini
termaktub dalam ungkapan: Hambor keta ata
nau one lonto cama ho’o. Neka po’ongs jogot, béte nggéte. Paka oke keta taungs
béti nai, mose molor one lino. Mber koe taungs nengong-nangong du lesos saled
agu one waes laud. Artinya: berdamailah yang indah dalam hidup bersama.
Jangan rasa dengki dipelihara, pupuskan sakit hati. Haruslah sakit hati
dibuang, hidup benar di bumi. Jauhkanlah semua pertengkaran, biarlah pergi bersama
benamnya matahari dan terhanyut oleh air yang mengalir ke hilir.[6]
Dengan demikian konflik itu dapat diatasi dan ketentraman serta kedamaian hidup
bersama pun kembali dipulihkan.
Untuk go’et ini kita bisa melihat ungkapan
yang hampir sama dalam Amsal 21:24
yang berbunyi: Orang yang kurang ajar dan
sombong pencemooh namanya, ia berlaku dengan keangkuhan yang tak terhingga.
Orang yang sombong sering merendahkan orang lain. Ia tidak ingin orang lain
lebih berhasil melampauinya. Dan juga orang yang suka pocu dapat dikatakan sebagai orang yang kurang ajar.
2.
Go’et yang Berkaitan dengan
Larangan-larangan
a. Neka inung toe nipu agu hang toe
tanda, neka lage loce toko data, artinya jangan minum
sembarangan dan jangan makan sembarangan, jangan melangkahi tikar tempat tidur
orang. Ungkapan lain yang senada, neka
ngoeng ata, neka jurak, neka lage loce toko data, artinya jangan mengingini
orang lain, jangan melangkahi tikar tempat tidur orang lain. Kata inung
(minum) dan hang (makan)
dalam ungkapan ini bukan untuk diartikan secara harafiah, tetapi sebuah ungkapan
metaforis untuk hubungan seks. Inung toe
nipu agu hang toe tanda berarti orang yang melakukan hubungan seks
sembarangan dan melakukan hubungan seks dengan wanita yang tidak diperkenankan
menurut adat. Sementara lage loce toko
data berarti bahwa orang yang ingin melakukan hubungan seks dengan istri
orang lain. Kedua go’et larangan ini memilik makna bahwa setiap orang dilarang untuk
berhubungan seks sembarangan atau yang terlarang. Orang Manggarai menyebut
orang yang berkelakuan seperti ini sebagai
jurak. Contohnya adalah
berhubungan seks dengan saudari atau keluarga sendiri (incest) dan juga berzinah dengan istri orang, baik atas persetujuan
kedua belah pihak, maupun karena paksaan pria (pemerkosaan).[7]
Dan untuk mempertegas ungkapan ini terdapat ungkapan lain yang tidak hanya
melarang tetapi mengancam orang dengan kutukan. Ungkapan itu dapat kita lihat
pada poin berikutnya.
b. Eme inung
toe nipu agu hang toe tanda agu anggom le anggom lau-ro’e ngoel rekok lebo
cemol mosem, artinya bila minum dan makan sembarangan,
juga merangkul orang sembarangan maka hidupmu akan layu sebelum berkembang.
Ungkapan ini memiliki makna bahwa bila orang melakukan hubungan seks terlarang
dan sembarangan maka ia akan mati muda atau usia hidupnya pendek karena
mendapat kutukan dari korban yang haknya diambil secara paksa.[8]
c.
Neka
tuku-takan neho léma dé nggalang, artinya: jangan
berasak-asakan seperti lidah ular. Ungkap ini merupakan idiom untuk menyatakan
makna jangan suka membual atau berbohong. Secara leksikal, kata nggalang dalam bahasa Manggarai berarti
ular berbisa yang kecil atau ular tambang (ular lidi). Dalam bahasa Latin
disebut ahaetulla picta. Dalam
ungkapan neka tuku-takak neho lema
nggalang adalah kiasan bagi orang yang suka membual atau memutarbalikkan
fakta. Ungkapan ini bermakna sama dengan ungkapan ‘lidah tak bertulang’ dalam
Bahasa Indonesia.[9]
Beberapa Amsal berikut kiranya dapat kita lihat untuk membuat perbandingan
dengan go’et ini. Antara lain Amsal 21:23
Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara
diri dari pada kesukaran; Ams 6:12 Tak
bergunalah dan jahatlah orang yang hidup dengan mulut serong; Ams 4:24 Buanglah mulut serong dari padamu dan
jauhkanlah bibir yang dolak-dalik dari padamu; Ams 8:13 Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan;
aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut
penuh tipu muslihat. Dan juga Ams 13:3 Siapa
menjaga mulutnya, memelihara nyawanya, siapa yang lebar bibir, akan ditimpa
kebinasaan.
3.
Go’et Tentang Kaum Perempuan
Dalam
Kitab Amsal muncul 32 kali kata perempuan. Hal ini berarti tema tentang
perempuan itu sangat penting. Kitab Amsal banyak menceritakan kebrorokan kaum
perempuan. Perempuan dilihat sebagai pembawa masalah dalam hidup bersama.
Tetapi juga tak bisa dipungkiri bahwa Amsal juga berbicara soal perempuan yang
baik dan terhormat. Misalnya dapat kita temukan pada Amsal 11:16 Perempuan yang baik hati beroleh hormat;
sedangkan seorang penindas beroleh kekayaan.(Lihat juga Ams 11:22 dan
14:1). Dengan demikian, saya juga
akan melihat ungkapan-ungkapan orang Manggarai yang berkaitan dengan perempuan
dan juga bagaimana mereka—perempuan—dipandang.
a. Ine wai roto tong-beka lenga, artinya:
wanita bagaikan keranjang penadah terbuka. Ungkapan ini mau menggambarkan wanita
tuna susila. Secara leksikal, kata roto dalam
bahasa Manggarai berarti keranjang yang terbuat dari ruas-ruas bambu yang
berukuran kecil yang dianyam menjadi sebuah keranjang. Roto biasa dibawa oleh para ibu atau para gadis ketika berangkat ke
ladang. Roto digunakan untuk berbagai
keperluan, misalnya untuk membawa bekal dari rumah ke kebun dan juga membawa
pulang hasil panen dari kebun ke rumah. Orang manggarai menggunakan roto sebagai kiasan bagi wanita tuna
susila. Hal tersebut disebabkan karena bentuk roto yang bulat dan terbuka untuk memudahkan para ibu menyimpan
hasil panen tanpa harus menurunkan roto yang sudah ada di pundak ke tanah.[10] Beberapa teks Amsal berikut yang saya pilih untuk
dibandingkan dengan go’et ini. Amsal 5:3
Karena bibir perempuan jalang menitikkan
tetesan madu dan langit-langit mulutnya lebih licin dari pada minyak dan Amsal
23:27 Karena perempuan jalang adalah
lobang yang dalam, dan perempuan asing adalah sumur yang sempit. Perlu
digarisbawahi bahwa kedua teks Amsal ini memandang perempuan sangat negatif.
Untuk itu setiap kaum pria harus berhati-hati dengan tipe perempuan seperti ini
agar tidak jatuh dalam rayuannya. Sementara go’et
di atas ditujukan atau sebagai peringatan bagi kaum perempuan agar tidak
hidup dan menjadi seperti gambaran perempuan yang ada dalam go’et itu.
b. Anak péncang wa, énde lomes kole, artinya:
anak dibiarkan tak terurus dan ibu bersolek lagi. Ungkapan ini ingin menyindir
seorang ibu atau lebih tepatnya seorang janda yang tidak bertanggung jawab
terhadap anaknya. Ia meninggalkan anaknya begitu saja dan tidak mengurusnya.
Sementara ia sendiri sibuk bersolek dan berdandan kembali agar terlihat muda
dan cantik kembali, dengan tujuan agar lelaki menyukainya dan ingin menikahinya
lagi. Tipe perempuan seperti ini tidak betah di rumah, agar ia tidak diganggu
oleh anak-anaknya. Dapat dikatakan bahwa perempuan ini suka jalan ke sana dan
kemari untuk memamerkan kecantikannya, agar dapat dilihat kaum lelaki. Beberapa
teks Amsal berikut kiranya menjadi sebuah perbandingan yang cocok. Maknanya
senada dengan yang terdapat dalam go’et ini,
seperti Ams 7:11 cerewet dan liat
perempuan ini, kakinya tak dapat tenang di rumah, dan Ams 7:12 sebentar ia di jalan dan sebentar di
lapangan, dekat setiap tikungan ia menghadang. (Lih. Ams 6:13;30:16)
c. Méjok déko, ngguing wuli, lé’lak
médak, momang nggotak, artinya: wanita yang senang
diraba-raba badannya, tidak menolak bila dibelai dan dipegang, melayani pria
dengan senang hati. Singkatnya wanita tuna susila/murahan. Arti harafiah dari
setiap kata adalah sebagai berikut: méjok
déko=jinak bila ditangkap, ngguing
wuli=meliuk-liuk kegirangan bila diraba-raba. Sesungguhnya ungkapan ini
hanya pantes digunakan untuk hewan, yakni kuda. Namun oleh orang Manggarai
dijadikan sebagai metaforis untuk menggambarkan wanita yang tidak melawan dan
malahan senang bila diraba-raba atau dielus-elus oleh pria. Demikian juga dengan
frase lélak médak=gerak penuh gairah,
mengambarkan wanita yang penuh gairah dan nafsu. Momang nggotak=dicintai karena gairahnya yang kemudian perlahan-lahan
tenang karena dielus-elus. Ungkapan ini juga untuk kuda yang sangat bergairah
dan bersemangat namun ketika dielus-elus ia menjadi tenang dalam dekapan
pemilikinya. Orang Manggarai akhirnya mengangkat ungkapan untuk kuda ini
menjadi analogi bagi perempuan susila yang selalu siap melayani pria. Apa pun
yang pria ingini ia siap lakukan. Meskipun demikian ungkapan ini bukan
semata-mata untuk menjelekkan kaum perempuan tetapi ingin mengingatkan kaum
perempuan untuk tetap menjaga harkat dan martabat dirinya agar tidak
dimanfaatkan oleh kaum pria. Dapat kita bandingkan dengan teks Ams 22:14 Mulut perempuan jalang adalah lobang yang
dalam; orang yang dimurkai TUHAN akan terperosok ke dalamnya dan Ams 9:13 Perempuan bebal cerewet, sangat tidak
berpengalaman ia, dan tidak tahu malu. (lihat juga Ams 7:5;25)
4.
Go’et Untuk Orang yang Bijaksana
Demi
pemahaman yang dalam akan ungkapan ini, pertama-tama kita perlu memahami masing-masing
kata yang ada dalam ungkapan di atas. Ungkapan itu terdiri dari dua bagian yang
masing-masingnya mengandung dua kata. Bagian pertama nai ngalis dan yang kedua tuka
ngengga. Secara leksikal kata-kata itu memiliki artinya masing-masing, yang
mungkin sangat bertolak belakang dengan tema pembicaraan kita ini. kata nai mempunyai beberapa arti: jiwa, roh,
nyawa. Tetapi bisa juga berarti hati, pikiran atau mens dalam bahasa Latin. Ngalis
berarti luas. Mempunyai space yang
luas sehingga bisa menampung banyak hal. Walaupun space yang ngalis itu
sudah menampung banyak hal, tetapi ruang itu tidak pernah penuh dan menjadi
sempit. Ada makna elastisitas dalam kata ngalis
itu. Semakin banyak diisi ia tidak pernah menjadi penuh melainkan menjadi
semakin kaya, mendalam dan berbobot. Ini adalah dimensi kepenuhan yang tidak
terbatas secara fisik.
Kata
tuka secara leksikal berarti perut.
Namun tuka yang dimaksudkan di sini
bukan sekedar arti fisiknya tetapi dapat diartikan sebagai lambang hati,
lambang pemikiran, dan lambang keluasan budi. Sementara kata ngengga berarti luas, besar, lapang,
tidak sempit, tidak sesak. Kata ngengga ini
sebenarnya sinonim dengan kata ngalis di
atas tadi. Dengan demikian tuka ngengga dapat
diartikan sebagai hati atau pemikiran yang luas. Dengan demikian arti dari
kedua ungkapan ini adalah sifat dari orang yang hati, budi dan pikirannya luas,
yang ketika menimbang dan menilai sesuatu tidak tergesa-gesa, melainkan memikirkannya
dengan panjang-lebar. Singkatnya, orang Manggarai menilai orang yang memiliki nai ngalis tuka ngengga sebagai orang
yang berhikmat dan bijaksana.
b. Mori Kraeng ata Nai Nggalis
dan Tuka Ngengga
Mori Keraéng adalah
sebutan untuk Tuhan Allah oleh orang Manggarai. Kata mori berarti tuan, sedangkan kata keraéng berasal dari kata karaéng
dalam bahasa Makasar yang merujuk pada jabatan para pemuka pribumi.[12] Yang
kemudian oleh orang Manggarai menggabungkan keduanya. Dengan demikian Mori Kraeng bagi orang Manggarai adalah
gambaran orang terhormat yang memiliki segalanya. Penuh kuasa atas segala yang
ada di bumi. Termasuk memiliki hati yang bijak. Oleh karena itu Dia harus
dihormati.
Ungkapan
nai ngalis tuka ngengga awalnya hanya
untuk mengapreasiasi sesama manusia yang memiliki hati yang bijak. Namun
akhirnya manusia sadar bahwa nai ngalis
tuka ngengga yang mereka miliki tidak ada saingannya dengan yang dimiliki
oleh Mori Keraéng, dengan demikian
ungkapan ini pun akhirnya juga diperuntukkan untuk Tuhan yang Maha Tinggi.
Manusia
bisa menghadap Tuhan Allah (Mori Kraeng)
untuk meminta nai ngalis tuka ngengga dari
Tuhan sendiri, karena akhirnya hanya Tuhan sajalah yang memiliki nai ngalis tuka ngengga yang sangat
absolut dan tanpa batas. Manusia hanya bisa memiliki hal ini dalam takaran dan
batas-batas tertentu saja. Ungkapan ini kira-kira sama dengan ungkapan yang
banyak kita baca dalam Kitab Suci Perjanjian Lama: “Tuhan itu baik, kekal abadi
kasih setia-Nya (Mzm 136).[13] Kitab
Amsal juga mengakui bahwa hikmat atau kebijaksanaan yang sejati itu hanya
berasal dari Allah. Hal ini dapat kita lihat dalam Amsal 2:6 yang berbunyi: Karena TUHANlah yang memberikan hikmat, dari
mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.
III.
Sentilan Akhir:
Setelah
melihat jenis-jenis go’et ini
akhirnya, saya menyimpulkan bahwa go’et
juga merupakan jenis ungkapan atau petuah untuk prkatek hidup masyarakat
sehari-hari layaknya sastra hikmat Kitab Suci. Tujuan dan ciri khas go’et pun sama dan senada dengan
ungkapan-ungkapan dalam tulisan-tulisan sastra hikmat yang terdapat dalam Kitab
Suci. Secara khusus Kitab Amsal. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa go’et adalah jenis lain dari Kitab
Amsal. Jika Kitab Amsal adalah ajaran tradisi yang diturunkan dari nenek moyang
kita orang Israel, demikian juga go’et adalah
ajaran yang diturunkan oleh nenek moyang orang Manggarai untuk para penerus
sukunya.
Namun
saya menyadari bahwa ungkapan-ungkapan tradisional orang Manggarai ini sekarang
kurang dilestarikan. Hal ini karena ungkapan ini hanya diketahui oleh orang tua
yang sudah kakek-kakek, sementara banyak dari generasi baru kurang
mengetahuinya. Ketakutan saya adalah lambat laun ungkapan ini akan punah jika
tidak dikembangkan kepada generasi penerus. Seandainya ungkapan-ungkapan ini
dibukukan layaknya Kitab Amsal, pasti akan sangat berguna bagi para penerus
suku Manggarai. Karena, hemat saya, ungkapan-ungkapan dalam go’et ini memiliki pengetahuan yang
sangat berarti. Dengan demikian, saya berharap semoga kaum muda berani untuk
belajar dana melihat kembali nila-nilai yang terkandung dalam go’et-go’et ini.
Bibliografi
Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta,
Kanisius, 2002
Wim Van Der Weiden, Seni Hidup “Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama”, Yogyakarta,
Kanisius, 1995
Maria Sulastri, Go’et
(ungkapan tradisional) Manggarai Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), Universitas Sanata Dharma, 2010,
A. J. Verheijen,
Manggarai dan Wujud Tertinggi, Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI),1991
[1]Dianne Bergant, CSA dan Robert J.
Karris, OFM (ed), Tafsir Alkitab
Perjanjian Lama, Yogyakarta, Kanisius, 2002, hlm.463.
[2]Wim Van Der Weiden, Seni Hidup “Sastra Kebijaksanaan Perjanjian
Lama”, Yogyakarta, Kanisius, 1995, hlm. 47.
[3]Dianne Bergant, CSA dan Robert J.
Karris, OFM (ed), Tafsir Alkitab
Perjanjian Lama, hlm. 465.
[4]Maria Sulastri, Go’et (ungkapan tradisional) Manggarai
Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), Universitas Sanata Dharma, 2010, hlm. 27.
[5]Armada Riyanto, dkk. (ed), Kearifan Lokal Pancasila, “Butir-butir
Filsafat Keindonesiaan”, hlm 231
[6] Armada Riyanto, dkk. (ed), Kearifan Lokal Pancasila, “Butir-butir
Filsafat Keindonesiaan”, hlm 231
[7]Bdk.
Maria Sulastri, Go’et (ungkapan tradisional) Manggarai
Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), hlm. 47
[8] Bdk. Maria Sulastri, Go’et (ungkapan
tradisional) Manggarai Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), hlm. 48.
[9] Maria Sulastri, Go’et (ungkapan tradisional) Manggarai
Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), hlm. 48.
[10]Maria Sulastri, Go’et (ungkapan tradisional) Manggarai
Ditinjau dari Segi Makna dan Fungsi (skripsi), hlm. 57.
[11]Disari dari Armada Riyanto, dkk.
(ed), Kearifan Lokal Pancasila,
“Butir-butir Filsafat Keindonesiaan”, hlm. 402-411.
[12]A. J. Verheijen, Manggarai dan Wujud Tertinggi, Jakarta,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),1991, hlm. 37.
[13]Armada Riyanto, dkk. (ed), Kearifan Lokal Pancasila, “Butir-butir
Filsafat Keindonesiaan”, hlm. 403.
1 komentar:
Mantap kae.... Terbantu skali e....
Posting Komentar