Meneropong Budaya Jawa
"RUWATAN"
A.
Latar
Belakang
Daya transendensi mengarahkan manusia
untuk ke luar
dari diri, mencari makna, dan melakukan transformasi. Manusia berusaha mencari
makna diri, makna hidup, paham keselamatan, cara hidup, dll. Salah satu tema
yang sangat sering dicari manusia adalah paham keselamatan dan kebahagiaan
hidup. Manusia menghidupi cara tertentu untuk mencapai sebuah keselamatan di
dunia, yang disebut sebagai mung mampir
ngombe. Semua itu mengarahkan kepada sebuah kepenuhan makna yang dapat
memuaskan batin manusia.
Dalam kebudayaan Jawa, terdapat satu
tradisi yang berbicara mengenai keselamatan, yaitu ruwatan. Ruwatan berusaha
menyelamatkan
anak sukerta yang ‘diincar’ oleh bathara kalla untuk
dijadikan ‘makanan’nya. Maka, untuk membebaskan anak sukerta dari belenggu batara
kala, diadakanlah sebuah ritual ruwatan. Ruwatan menjamin keselamatan
manusia, terutama mereka yang termasuk dalam anak sukerta.
Kehadiran agama modern menyebabkan
terkikisnya makna ruwatan. Nilai-nilai yang ditawarkan agama menyebabkan pemahaman
manusia terhadap ruwatan semakin berkurang. Manusia mulai percaya dan mengimani
nilai agama tertentu dan meninggalkan makna ruwatan dalam perspektif
tradisional.
Masalah muncul bagi masyarakat Jawa.
Jika penjamin keselamatan (ruwatan) tersebut ditinggalkan, ritual lain apa yang
dapat menjamin keselamatan masyarakat Jawa? Padahal, kembali pada uraian di
atas, manusia selalu ingin mencari makna keselamatan di dunia ini.
B.
Rumusan Masalah
Pertama, Apa
pengertian ruwatan secara tradisional? Kedua,
Bagaimana realita ruwatan di zaman modern? Ketiga, Bagaimana analisis berkaitan dengan realita tersebut? Keempat, Apa pandangan Gereja Katolik
tentang ruwatan?
C.
Hipotesis
1. Pemahaman
dan praktek ruwatan semakin terkikis oleh rasionalisme agama
2. Ruwatan
sebagai simbol dalam sebuah kebudayaan
Jawa
D.
Metode
Penelitian
Metode yang kelompok gunakan adalah wawancara dan studi
pustaka.
E.
Narasumber
1. Bapak Sukardja
M.W (kepala Desa) Jonggarangan II, Sendangaarum, Minggir, Sleman, pukul
12.00-14.00 WIB, pada tanggal 25 Mei 2014, di Rumah Bapak Sukardja.
2. Bapak Barjo
(pihak yang pernah diruwat), pukul 16.00-17.00, di Desa Beran Kidul, Tridadi,
Sleman, Sleman.
3. Bapak Yohanes Tugino (tokoh
masyarakat), pukul 10.00-11.30, di Desa Daratan, Minggir, Sleman
F.
Analisis
F.1. Ruwatan
Perspektif Tradisional
F.1.1. Pengertian Ruwatan
Ruwatan berasal dari kata dasar ruwat yang berarti salah atau rusak. Ruwat
juga diartikan dengan dibuat tidak
berdaya (kejahatan, kutuk, pengaruh jahat). Ngruwat artinya membebaskan dari roh jahat. Beberapa
pengertian, ruwatan hendak diartikan sebagai cara
membebaskan manusia dari kutukan, roh jahat, dan dari
pengaruh roh-roh yang membawa malapetaka.
F.1.2. Anak
sukerta
Orang-orang
yang diruwat sering disebut dengan kata sukerta atau sukarta. Sukerta dalam
bahasa Indonesia memiliki dua arti yang “berlawanan”. Sukerta disatu sisi
diartikan sebagai diganggu, diusik,
dicela; disisi lain bisa berarti dibuat baik-baik, disambut dengan
kehormatan, dan dimuliakan.[1] Anak sukerta
adalah seorang anak yang diyakini sebagai orang yang hidup dalam bahaya, berada
dalam situasi terancam dan diganggu Batara
Kala. Ruwatan dimaksudkan untuk menyelamatkan orang sukerta dari malapetaka.
Dalam
garis besarnya ada 3 (tiga) macam kelompok sukerta,
yaitu :
- Sukerta karena
kelahiran seperti anak tunggal, kembar; berdasarkan waktu kelahiran,
misalnya anak yang dilahirkan tengah hari atau saat matahari terbenam dll.
Sukerta kelompok ini adalah
anak-anak yang sangat dicintai oleh orang tua mereka, keselamatan dan
kebahagiaan mereka selalu dipikirkan oleh orang tua mereka. Terlebih para
orang tua tersebut mengetahui bahwa anak-anak tersebut termasuk dalam
daftar sukerta.
- Sukerta karena
berbuat kesalahan meski tidak sengaja seperti : memecahkan gandhik, alat
pembuat jamu; menjatuhkan dandang (tempat untuk menanak nasi) waktu sedang
masak nasi.
- Sukerta karena
dalam hidupnya terkena banyak musibah, sial, penyakit, dan sering diancam
bahaya.
F.1.3. Ritus
Menurut ruwatan Murwakala, ada 36 jenis sesaji atau sajen yang harus dipenuhi. Sesaji itu berupa : Tuwuhan, yang
terdiri dari: pisang
raja, cengkirgadhing atau kelapa muda, dan pohon tebu wulung masing-masing dua pasang yang diletakkan di kanan-kiri kelir atau layar tempat pagelaran wayang kulit; parise gedheng yaitu : empat ikat padi sebelah menyebelah; satu buah kelapa yang sudah bertunas; dua ekor ayam (betina dan jantan) yang
diikatkan pada tuwuhan di
kanan-kiri kelir. Ayam jantan di kanan dan ayam betina di kiri;
empat batang kayu bakar yang masing-masing panjangnya satu hasta (+ 40 cm); ungker siji
yaitu satu buah gulungan benang; satu lembar tikar yang masih baru; empat buah ketupat; satu bantal baru; sebuah sisir rambut; sebuah sisir serit;
sebuah cermin; sebuah payung; sebotol minyak wangi; tujuh macam kain batik;
Selain
itu, daun lontar satu genggam; dua belah pisau; dua butir telur ayam kampung; gedhang ayu (pisang
raja yang sudah masak) dan Suruhayu (sirih yang digulung dan diikat dengan benang putih. Krambil Grondhil (kelapa tanpa sabutnya), gula kelapa setangkep (sepasang), beras sapitrah
(sejimpit), dan ayam panggang;
air tujuh rupa bunga yang ditempatkan dalam jam bangan baru dan dimasuki uang logam; minyak kelapa untuk lampu blencong (lampu minyak untuk menerangi layar wayang kulit, digantung di atas kepala Dalang); nasi gurih (nasi uduk) dan daging ayam yang digoreng;
satu gelas badheg yaitu arak kilangaren atau minuman keras;
satu gelas air kilang tebu; tujuh macam tumpeng yaitu tumpeng Magana, tumpeng rajegdoni,
tumpeng telur, tumpeng pucuk cabe merah, tumpeng tutul, tumpeng sembur,
tumpeng robyong; tujuh macam jenangketan: dodol ketan, wajik, jadah, dan sebagainya; tukon pasar
atau jajan pasar (buah-buahan dan kue yang bermacam-macam);
ketupat lepet; jenang abang, jenang putih, jenang lemu; rujak legi; rujak croba; cacahan daging dan ikan; alat-alat dapur; kendi berisi air penuh; diyan anyar
kang murub (pelita baru yang dinyalakan);
dan seikat benang lawe. Upacara dipimpin oleh dalang senior yang juga keturunan seorang dalang. Sepanjang pertunjukan wayang, anak yang diruwat tidak boleh meninggalkan tempat.
F.1.3.2. Mantra
Mantra merupakan unsur penting dalam upacara ruwatan. Ada lima golongan mantra yang digunakan dalam upacara ruwatan, yakni:
1.
Mantra
yang berupa cerita yang
perlu diikuti atau didengarkan oleh para peserta ruwatan, misalnya :Wa Kala Mur, yakni mantra yang berupa wejangan tentang sangkan paraning dumadi (asal mula dan tujuan hidup manusia). Segala sesuatu berasal dari Sang Hyang Wenang, meskipun pelaksanaannya diserahkan kepada Bathara guru.
2.
Mantra
yang bermaksud untuk penyucian bagi yang diruwat atau yang akan meruwat, misalnya : Santi Purwa
(permulaan penyucian),
yakni mantra yang mengisahkan asal-usul anggota badan Batara Kalla.
3.
Mantra
yang berupa sanjungan dalang kepada Bathara Kalla dan pengikutnya agar bersikap lunak dan lembut, misalnya :Sastra
Gigir dan Caraka Balik, yakni
mantra yang berisikan cerita bahwa dalam dahi Bathara Kala terdapat huruf Jawa yang susunannya terbalik, bukan ha-na-ca-ra-ka, dan seterusnya tetapi nga-tha-ba-ga-ma, dan seterusnya.
Contoh mantra
Sastra
Gigir : Hong, prayoganira, Sang Hyang Kamasalah, dadi daging
sakkema lokadyagrah pasthi kamaya, amurub mangalad-aladange dalaken prabawa ketug kadilin dhuprahara, yen lumaku tanpa suku, lembehan tanpa tangan, aningalitan panetra, ambegan tanpa grana, celath tanpa lidhah, angen-ange ntanp adriya, anengsetrapi nandhaten.
4.
Mantra
yang berupa harapan atau permintaan dalang kepada makhluk-makhluk yang tinggal di
lingkungan rumah,
pekarangan dan desa orang yang diruwat, misalnya : Balasrewu
atau Mandhalagiri,
yakni mantra yang dimaksudkan untuk mengusir pengikut-pengikut Bathara Kala.
5.
Mantra
untuk mengumpulkan kekuatan gaib bagi dalang atau matekaji, misalnya :Kumbala
Geni, yakni mantra yang menceritakan kembalinya Bathara Kala dan pengikut-pengikutnya pada kesejatian.
Dengan demikian Bathara Kala dan pengikutnya tidak punya kekuatan lagi.
Semua mantra-mantra itu merupakan sarana untuk membebaskan orang sukerta dari penderitaannya, sehingga dapat hidup dengan tentram dan bahagia.
F.1.3.3. Wayang
Dalam
upacara ruwatan biasanya disertai dengan pertunjukan wayang yang mengambil
lakon Murwakala. Pada, prakteknya ruwatan serupa
dengan ritus penyucian dalam rangka penyelamatan.[3]
Lakon wayang tersebut hendak mengisahkan latar belakang adanya tradisi ruwatan.
Istilah murwakala adalah gabungan dari dua kata, yaitu murwa (artinya purba, menguasai, murwani, atau memulai) dan kala (artinya waktu, ketika, saat,
zaman, masa, kesempatan).[4]
Murwakala adalah menguasai waktu.
F.1.3.4. Potong Rambut
Ritual
potong rambut menjadi salah satu hal yang penting dalam ruwatan. Potong rambut
melambangkan bahwa pihak tersebut telah diruwat. Ia telah dibebaskan dari
kemalangan dan kesialan dengan simbol memotong rambut.
F.2. Ruwatan
Perspektif Modern
Zaman sekarang, berbicara ruwatan
akan sedikit asing. Banyak orang
Jawa tidak melakukan ruwatan. Dahulu, ruwatan menjadi salah satu upacara penting
dalam tradisi Jawa. Namun, ruwatan mengalami perubahan makna. Masyarakat yang tumbuh sekarang
adalah masyarakat yang modern dan berkembang. Sebenarnya, tradisi ini tidak ditinggalkan, tetapi sudah tidak umum.
Jika
melihat situasi sekarang, hampir
pasti semua akan masuk dalam kriteria ruwatan. Contohnya saja program keluarga
berencana (KB) membuat keluarga hanya memiliki dua atau tiga anak. Akan tetapi,
zaman sekarang ruwatan sudah mulai tidak umum di masyarakat zaman sekarang,
kalau ada pun hanya sedikit.
Ruwatan telah tumbuh selama
berabad-abad dalam tradisi Jawa. Tentu saja, tradisi ini
banyak mengalami proses
perubahan sampai pada bentuk sekarang ini. Umumnya, upacara Ruwatan
diselenggarakan dengan pergelaran Wayang yang ditampilkan secara simbolik dan metafolik yang serba estetis. Pesan
itu merupakan hasil penghayatan para leluhur dalam hidup dengan alam.
Penyampaian pesan simbolik mempunyai tujuan agar nilai- nilai yang diungkapkan dapat
terpelihara. Apabila pesan itu disampaikan secara lugas, niscaya penerimaannya
tidak berbeda dengan informasi biasa dalam kehidupan sehari-hari, artinya sesudah pesan itu
diterima oleh pendengarnya, maka selesailah fungsi pesan itu dan tidak mengesan
di dalam hati. Upacara Ruwatan
dilaksanakan dalam suasana hening dan sakral. Bukanlah
benda yang disakralkan, melainkan nilai yang terkandung di dalamnya. Secara rasional dapat diuraikan bahwa Ruwatan
bertujuan untuk membersihkan jiwa anak
sukerta dengan dibekali berbagai ajaran etika dan moral yang terungkap
dalam upacara, dalam pergelaran wayang, dalam makna simbolik setiap
perlengkapan, termasuk sesaji.
Pada
zaman dahulu, masyarakat terutama pada masyarakat Jawa pedalaman masih sangat
kental memegang teguh adat istiadat dan budaya warisan pendahulu mereka,
termasuk di dalamnya tradisi ruwatan. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa
dahulu, orang yang termasuk dalam kategori sukerta, tetapi tidak melaksanakan
tradisi ruwatan akan diasingkan dan dikucilkan oleh warga masyarakat yang lain.
Mereka beranggapan bahwa masyarakat akan dalam kondisi berbahaya dan
mendapatkan bencana apabila orang dalam kategori sukerta tersebut tidak
melaksanakan ruwatan.
Kepercayaan
tersebut menyebabkan tradisi ruwatan ini mampu bertahan sampai sekarang. Selain
itu, konsep keseimbangan mikro-kosmos dan makro-komos dalan kehidupan, menambah
kuat hadirnya tradisi ruwatan di masyarakat Jawa. Setelah itu, masuknya Islam pada
sekitar abad ke-15, berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu kerajaan
Demak tidak menyusutkan tradisi ruwatan ini. Hal ini disebabkan pola
persebaran agama Islam yang dikembangkan oleh para Walisongo adalah pola yang
mengedepankan aspek toleransi umat beragama dan akulturasi antar budaya Islam
dengan budaya setempat sehingga tradisi-tradisi Jawa kuno semacam ruwatan masih
dapat eksis.
Hal
yang berubah adalah pada aspek tujuan dan doa pengantar yang sudah diganti
dengan ajaran-ajaran yang bernuansa Islam. Pada masa sekarang, orang sangat
menghargai hukum kausalitas dan pola pikir rasional. Keberadaan ruwatan semakin
tergeser oleh kemajuan teknologi dan rasionalitas pola pikir masyarakat. Selain
itu, pemahaman masyarakat tentang konsep beragama yang baik dan benar juga
memiliki andil yang besar dalam mengikis tradisi-tradisi bernuansa magis.
Kini,
apabila masyarakat ditimpa musibah, mereka lebih memilih kegiatan-kegiatan yang
bernuansa agamais,
misalnya para pemeluk agama Islam mereka akan lebih senang melakukan istigosah (doa bersama) dibanding
melakukan ruwatan. Banyak pemeluk agama Islam yang tidak mau melakukan tradisi
ruwatan karena memerlukan banyak biaya (menyiapkan ubo rampe- wayang dan sesaji-) dan takut terjebak dalam konsep
“sirik” (menyekutukan Allah dengan kekuatan yang lain). Selain itu dalam agama Katolik juga
percaya ketika orang dibaptis dan melalui sakramen-sakramen yang ada dalam
Gereja Katolik orang pun diselamatkan. Sehingga praktek agama sekarang yang ada
membawa faham keselamatan yang baru.
Tradisi
ruwatan masih dijumpai pada lingkungan Keraton (Jogja dan Solo). Selain itu, banyak
pihak yang masih menganut tradisi ini. Biasanya kelompok- kelompok yang
menganut paham/aliran kejawen dan
kebatianan, umumnya mereka banyak terdapat di daerah Jawa Tengah bagian Selatan
dan di Yogyakarta.
Masyarakat zaman sekarang memandang
ruwatan sudah tidak seperti dahulu. Ruwatan bukan menjadi upacara yang wajib
untuk dilakukan untuk menghilangkan sial. Masyarakat zaman sekarang lebih melihat
sesuatu sebagai real. Pemikiran orang zaman sekarang lebih maju dan sederhana.
Namun, masyarakat Jawa
tetap menghargai ruwatan ini sebagai tradisi yang sarat dengan makna. Zaman
sekarang, ruwatan semakin langka, tetapi tetap ada menjadi tradisi.
Maka,
jaminan keselamatan yang dapat dipahami oleh manusia hadir dalam agama. Manusia
tidak lagi mendasarkan keselamatan dari ritus ruwatan saja, tetapi sudah
dilengkapi dengan pemahaman agama.
F.3. Hasil Wawancara
Bapak Sukardja, seorang Kepala Dukuh
yang walaupun bukan dalang, beliau sering membantu orang untuk
melakukan ritual ruwatan. Karena itu, kami melakukan wawancara dengan
beliau untuk semakin memahami makna ruwatan dan nilai-nilai yang mau dibawa
dari ruwatan.
Ruwatan merupakan sebuah ritual yang sudah melekat pada masyarakat Jawa dan identik dengan Betara Kala. Setiap manusia selalu memiliki kala (nasib buruk ) yang di bawa sejak lahir. Ruwatan mau memutus perangkap Kala agar seseorang terbebas dari nasib
buruk dan diharapkan dapat memperoeh berkat. Dalam proses ruwatan ada
mantra-mantra tertentu ( tidak dapat diucapkan secara sembarangan). Oleh karena itu, kami tidak dapat mengetahui
mantra-mantra apa saja yang diucapkan dalam proses ruwatan. Namun pada intinya
ruwatan mengandung makna demikian: “Luarna
saka bebendu, udara saka bebanda, karana nemu rahayu ingkang kepanggih wuri”
Ruwatan sebagai pelepas perangkap Kala, tidak dapat dijelakan secara logika-ilmu pengetahuan.
Makna ini hanya dapat
dipahami dalam masyarakat Jawa. Sebuah pengalaman yang diugkapkan oleh Bapak Sukardja dapat
memperjelas makna ruwatan. Ada seorang wanita yang memiliki “toh” atau semacam tanda lahir di bagian tubuhnya. Setiap
malam jumat “toh” yang berbentuk naga tersebut
bergerak. Dampaknya adalah wanita tersebut mendapat malapetaka. Karena itu, ruwatan diadakan. Setelah ruwatan, toh tersebut hilang dan wanita tersebut
tampak lebih cerah.
Ruwatan diilhami dari kisah Betara Guru yang nafsunya tidak
tersalurkan dengan tepat pada Dewi Uma, benih itu jatuh di lautan yang
menghasilkan sebuah cahaya. Saat para dewa bermaksud menghancurkan cahaya
tersebut dengan berbagai senjata justru lahir sesosok raksasa yang dikenal
dengan Betara Kala. Ia membuat
persyaratan dengan Betara Guru apa saja yang boleh ia makan sebagai tumbal.
Orang yang menjadi tumbal inilah yang dikenal dengan sukerta.
Betara Guru
dan Berata Kala ada dalam setiap
manusia, Betara Guu melambangkan kekuasaan, sedangkan Betara
Kala melambangkan nafsu. Kedua hal tersebut tidak terpisahkan dalam diri manusia.
Oleh karena itu, ruwatan dipahami sebagai pelepasan anak sukerta dari belenggu Betara kalla. Mereka yang bisa meruwat adalah orang-orang tertentu (manuggaling Kawula Gusti),
bahkan, tidak semua dalang bisa melakukan ruwatan. Untuk dapat mencapai tahap ini, orang harus mampu mengendalikan pikiran/pemurnian
pikiran, pemurnian hati dan kelamin (nafsu birahi). Oleh karena itu, mereka tidak lagi memikirkan hal-hal
duniawi, harta benda dan untung rugi. Mereka yang diruwat juga secara otomatis menjadi anak
dari si peruwat. Jika relasi ini tidak terjadi, maka daya ruwatan tidak akan berguna.
Para peruwat bisa memutus perangkap Kala dengan
“caraka balik” (mengembalikan kesialan kepada Betara Kala). Mereka juga memiliki “Rajah Kala Caraka” (senjata yang dimiliki Betara Kala).
Senjata itu digunakan
untuk melawan Kala yang berisi doa dan pujian yang berisi caraka balik. Pemaknaan caraka balik adalah aksara jawa yang di
baca dengan urutan terbalik.
Keberadaan mitos tentang Batara Kalla
tidak dapat dijelaskan secara logis oleh masyarakat jawa. Mitos tersebut sudah
menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat jawa, semua itu
telah menjadi satu kesatuan. Dalam wawancara yang telah kami lakukan,
masyarakat meyakini bahwa nasib itu ada dalam diri manusia. Setiap orang selalu
memiliki nasib dan itu sudah ditentukan oleh Yang Ilahi sejak kelahiran manusia
itu. Bagaimanapun juga, nasib tidak dapat ditentukan sendiri tapi bisa diubah
jika Gusti menghendaki, semua gumantung
ing Gusti.[5]
Pandangan tentang nasib telah
membangun cara bertindak, berpikir, dan merasa masyarakat jawa. Mereka akan
merasa cemas bila sesuatu akan datang kepada mereka di masa mendatang, terkait
dengan nasib buruk itu. Bapak Tugino sebagia tokoh masyarakat meyakini bahwa
kehadiran anak juga terkait dengan keberadaan nasib. Setiap anak membawa
nasibnya sendiri.[6]
Anak yang tidak disukerta akan membawa nasib buruk bagi seluruh keluarga dan juga masa depan
anak. Di sinilah, ruwataan dimungkinkan untuk membalik nasib manusia dari yang
buruk ke yang baik. Nasib ini bukan sebatas gugon
tuhon, melainkan sudah menjadi keyakinan masyarakat jawa. Keyakinan itu
tidak dapat dijelaskan dengan dasar logika atau yang rasional. Keyakinan itu
menjadi jiwa dalam masyarakat.
G.
Ruwatan
dan Tinjauan Budaya
Ruwatan merupakan
tradisi religius Jawa, khususnya bagi orang-orang yang masih melekatkan pada
kebudayaan Jawa. Cliffort
Geertz dalam Ritus dan perubahan pemakaman di Jawa
memperhatikan suatu dasar timbulnya suatu campuran unsur India, Islam dan
unsur pribumi dalam budaya ruwatan.[7]
Ketiga unsur tersebut membentuk ritual ruwatan sebagai bagian yang
mengintegrasikan masyarakat. Cliffort Geertz menenekankan cara pandang berbeda
terhadap kepercayaan dalam ritus tersebut. Secara jelasnya, ia mengungkapkan
bahwa kepercayaan itu membentuk ikatan sosial tradisional di antara
individu-individu. Pendekatan fungsional ini menggagas bahwa ruwatan memiliki
artinya dalam hubungannya dengan lingkup secara tradisional. Maka dari itu,
secara fungsional, ruwatan dipahami sebagai sistem simbolik di dunia. Sistem
simbolik tersebut mengartikan ruwatan bukan tradisi yang mewajibakan masyarakat
untuk melakukannya, melainkan lebih soal membangun integrasi sosial dan
kebudayaan. Walaupun pemahaman ruwatan
tersebut tidak dapat dipisahkan dari struktur simbol dan makna dalam diri orang
Jawa.
Tradisi
ruwatan dalam budaya Jawa dipandang mengahadirkan filosofi yang begitu dalam.
Filosofi itu membangun dan membentuk cara berada manusia Jawa, dalam berpikir,
bertindak, dan merasa. Filosofi ruwatan tersebut menjadi jiwa bagi masyarakat Jawa,
filosofi itu membangun identitas manusia Jawa. Dalam filosofi itu terkandung simbol
dan makna yang tegas sebagai esensi dari cara berada orang Jawa. Simbol tersebut menciptakan perasaan
dan motivasi yang kuat dan tidak mudah hilang dalam diri orang. Bahkan simbol
tersebut membangun orang untuk membedakan dan mengarahkannya pada apa yang baik
dan yang jahat, apa yang benar dan salah pada dirinya. Secara tegas, Emile
Durkheim menjelaskan simbol tersebut sebagai kesempatan membangun komitmen
bersama dalam komunitas dan masyarakat.
Masyarakat secara bersama-sama meletakkan nilai yang dihayati sebagai nilai
yang mempersatukan, di mana nilai tersebut terwujud dalam kepercayaan, tradisi,
dan ritual. Tiga bagian ini merupakan bagian yang hakiki dalam diri masyarakat
Jawa. Ketiga ini menghadirkan simbol yang melekat dalam diri orang Jawa.
Ruwatan ditempatkan sebagai bentuk
kepercayaan dalam tradisi. Dalam penghayatan itu, Durkheim menyebut penghayatan
yang dihidupi untuk melanjutkan terciptanya keharmonisan dalam alam dan
manusia. Secara jelasnya, Emile Dhurkheim mempertajam usaha mencapai
keharmonisan dalam kaitannya masuk dalam kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan
tersebut melambangkan suatu kedamaian yang roh dengan manusia. Bagi masyarakat
Jawa, mereka meyakini bahwa roh akan membantu manusia dalam kehidupan atau sebalinya memberi malapetaka
bagi manusia. Keyakian itu membuat mereka berusaha menjauhkan diri dari roh
yang dapat mencelakakan mereka. Kenyataan demikian membuat anak sukerta (yang
disimbolkan dengan keterikatan pada yang jahat atau bathara kalla) perlu diruwat agar terbebas dari kuasa yang jahat.
Orang Jawa meyakini bahwa keberadaan
anak sukerta yang tidak diruwat akan memberi pengaruh buruk pada diri anak dan
seluruh keluarga. Bagi mereka, ruwatan menjadi bagian yang tidak dapat
dihilangkan. Keharmonisan dengan alam perlu dijaga dan diharmoniskan. Hal
demikian menuntut mereka untuk meruwat anak sukerta.
Dalam perkembangan dewasa ini,
Cliffort Geertz memberi penjelasan berkaitan dengan tindakan ruwatan yang tidak
terlalu dihidupi atau dilestarikan lagi. Suatu
persoalan yang hendak diJawab dalam hipotesis ini ialah mengapa filosofi
ruwatan mengalami perubahan pemaknaan dan pemahaman dalam diri orang Jawa
dewasa ini?
Emile
Durkheim memandang bahwa agama dan magis sama-sama berusaha menjelaskan cara
kerja alam agar dapat dikuasai demi kepentingan manusia (Emile Durkheim;
Kesakralan Masyarakat). Agama ataupun magis dasarnya meiiliki suatu yang baik
dan buruk. Dalam pandangan Durkheim, keberalihan pemahaman akan yang magis
(dalam tradisi ruwatan) kepada agama bukan pertama-tama disebabkan pembedaan
yang sakral dan yang profane. Bagi Durkheim, agama dan magis memiliki
konsentrasi yang berbeda pada awalnya. Namun perubahan itu dipanang sebagai
hasil dari pengaruh
sosial yang sangat drasti. Cliffort Geertz memandang kondisi Jawa telah
mengalami perubahan yang signifikan. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi,
penyebaran mata uang, diferensiasi pekerjaan, telah melemahkan ikatan
tradisional. Perubahan struktur sosial telah mengganggu keseragaman kepercayaan
dan praktek religius yang mencirikanmasa yang lebih awal.[8] Munculnya
nasionalisme, pembaruan islam (dan agama-agama lainnya) sebagai ideology yang sebagain diakibatkan
pertambahan kompleksitas masyarakat Jawa, telah mempengarui kepercayaan ini.
Cliffort Geertz memandang
perubahan sosial sebagai pergeseran dari sebuah situasi yang di dalamnya
ikatan-ikatan pemersatu yang bersifat primer di antara para individu bergeser
ke kepentingan ideologis (ideological
like-mindedness). Perubahan
sosial itu
membuat orang semakin berpikir kritis dan rasional terhadap dunia sekarang ini.
Namun perlu dipahami juga, Max Weber mencoba membagi dua agama dalam sejarah
hidup manusia, yakni agama rasional dan tradisional. Weber menyebut agama tradisional sebagai
agama magis yang identik dengan
masyarakat primitif dan politeisme. Mereka tenggelam dalam roh-roh dan memberi
kesadaran pada usaha memegang teguh dan mempertahankan agama. Sedangkan, agama
rasional tidak melihat berbagai bentuk roh-roh tersebut. Agama itu adalah agama
yang logis dan rasional di mana Allah tidak berada bersama dengan manusia
di dunia tetapi ada “di atas”, terpisah dengan manusia. Allah
adalah realitas transenden yang menjamin keselamatan bagi para pemeluknya. Dalam
agama rasional, keselamatan pertama-tama dipusatkan dalam realitas yang
transeden. Kesadaran memeluk dan memusatkan perhatian padanya akan menjamin
keselamatan setiap individu. Bahkan pula, kitab suci dipanang sebagai sabda
yang membantu individu mencapai keselamatan. Meletakkan dasar pemikiran dan
kepercayaan pada tuntutan kita suci akan mengahantarkannya pada keselamatan.
Maka diri sini, ada dua hal yang membedakan sistematis agama tradisional dan
agama rasional, yakni jaminan keselamatan dan kitab suci sebagai tuntunan hidup
yang dipandang rasional.
Cliffort Geertz menjelaskan
pemikirannya berdasarkan pandangan Weber. Bagi Cliffort Geertz, orang sekarang
ini meyakini satu agama. Jika dilihat dalam jumlah keagamaannya, hampir
dipastikan bahwa masyarakat Jawa menganut satu agama rasional. Kenyataan
demikian sedikit demi sedikit mengubah cara pandang manusia terhadap agama
tradisional atau agama magis. Pemikiran atau cara pandang orang yang telah
dicampuri oleh agama rasional mulai mempermasalahkan dan mempertanyakan tentang
keberadaan makna hidup, kejahatan, penderitaan, dan kesengsaraan. Mereka
menginginkan satu Jawaban yang tegas dan rasional. Jawaban terpisah-pisah
seperti yang dijelaskan oleh agama tradisional tidak dapat mereka terima.
Masyarakat modern meminta Jawaban yang logis atas hal tersebut. Maka dari itu,
Cliffort Geertz menekankan bahwa agama tradisional tidak dapat lagi memberikan
apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dewasa ini.[9]
Dilihat dari pendekatan ekonomi,
masyarakat modern berpikir lagi terhadap tradisi ruwatan. Ritus upacara ruwatan
yang mengharuskan menghadirkan dalang dan sesaji dipandang terlalu banyak
mengeluarkan banyak biaya. Bagi mereka yang berada dalam ekonomi menengah
bawah, ruwatan menjadi bagian terlalu memperberat mereka. Bahkan pula, kriteria
anak sukerta memiliki terlalu banyak kompleksitas permasalahan dan setidaknya
ada 134 jenis anak sukerta yang perlu diruwat.[10] Hal
demikian menjadi faktor yang membuat ruwatan tidak disadari sebagai bagian yang
eksistensial dalam masyarakat Jawa.
Perubahan
rasionalitas manusia
tidak menghilangkan atau menyingkirkan simbol dan makna ruwatan dalam
masyarakat tetapi mengubah kosep tersebut dalam prespektif yang lebih rasional.
Ruwatan tetap
menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan. Simbol tersebut hanya ditempatkan
dalam cara pandang yang berbeda, khususnya dalam
membangun suatu sistem integrasi dalam masyarakat dengan dasar satu budaya Jawa
yang sama.
H.
Ruwatan
Perspektif Gereja Katolik : Sakramen Baptis
Dalam tradisi ruwatan di Jawa, orang
yang diruwat diyakini telah diselamatkan dari Batara Kala. Jauh sebelum agama-agama masuk di Indonesia, ruwatan
dimengerti sebagai sebuah tradisi kultis untuk mencapai sebuah keselamatan
lahir dan batin. Namun, ketika agama-agama masuk di Indonesia, orang Jawa tidak lagi
memahami ruwatan hanya sebatas tradisi kultis, tetapi juga memahaminya sebagai sebuah simbol keselamatan
bagi manusia. Maka, dalam kaitannya dengan hal tersebut, Gereja Katolik
khususnya, juga memiliki sebuah tradisi kultis yang amat kuno untuk menjamin
keselamatan manusia dari lingkaran dosa asal yang dibawanya sejak lahir.
Tradisi kultis yang amat kuno dipraktekkan di dalam Gereja itu adalah perayaan Sakramen Baptis.
Kata baptis berasal dari kata Yunani baptisma, yang berarti membenamkan,
mencelupkan atau menenggelamkan ke dalam air, entah seluruhnya atau sebagian. Dalam perayaan baptis, yang menjadi ritus utamanya adalah
membenamkan seseorang ke dalam air, atau kalau dalam Gereja Katolik, air itu
hanya dicurahkan ke dahi seseorang yang dibaptis sebanyak tiga kali.
Dalam tradisi Israel, upacara
baptisan dikenal dalam banyak upacara pentahiran (Im 11-15; Bil 19), termasuk
juga upacara pentahiran yang menggunakan percikan air (Bil 19:17-22) ataupun
menenggelamkan diri di sungai (2 Raj 5:14). Dalam Perjanjian Baru St. Yohanes
Pembaptis, membaptis banyak orang, termasuk Yesus, di sungai Yordan. Baptisan
Yohanes itu memiliki makna sebagai pengampunan dosa. “Bertobatlah dan berilah
dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu” (Mrk 1:4). Maka, pertobatan
yang diserukan oleh Yohanes ini terutama berkaitan dengan persiapan diri akan
kedatangan Kerajaan Allah.[11]
Praktek upacara baptis pada abad
pertengahan, banyak orang meyakini bahwa hanya mereka yang dibaptis yang akan
selamat. Mereka yakin bahwa siapa yang tidak dibaptis akan masuk neraka, karena
dosa asal yang mereka bawa sejak lahir. Namun, pemahaman akan keselamatan yang
hanya dicapai melalui baptis itu, kembali diluruskan oleh konsili Vatikan II.
Konsili Vatikan menyatakan bahwa Gereja yang berziarah ini tetap perlu bagi
jalan keselamatan (LG 14). Namun dalam
LG 16 mengakui adanya kebenaran yang sungguh berasal dari Allah di luar Gereja
dan berbicara mengenai keselamatan bagi setiap orang yang dengan tulus mencari
dan merindukan Allah. Keselamatan sesungguhnya menunjuk suatu pengertian yang
lebih luas daripada Gereja. Dalam hal ini, Gereja ditempatkan sebagai sakramen
keselamatan dunia. keselamatan itu ditampakkan dan dilaksanakan dalam Gereja,
khususnya secara konkret dirayakan dalam sakramen-sakramennya, terutama
sakramen Ekaristi.[12]
Demikianlah, sakramen baptis menjadi
tanda keselamatan Allah kepada manusia yang dilaksanakan oleh Gereja. Sama
halnya dengan upacara ruwatan yang bertujuan untuk melepaskan seseorang dari
kesukertaannya sejak lahir, sakramen baptis akan melepaskan kita dari dosa asal
yang kita terima sejak lahir. Hanya yang membedakan, sakramen baptis yang kita
terima bukan saja membersihkan kita dari dosa asal, tetapi dengan dibaptis,
kita percaya bahwa kita juga akan diangkat sebagai anak-anak Allah dalam
persekutuan dengan Gereja-Nya yang Kudus, Katolik dan Apostolik.
I.
Kesimpulan
Realita ruwatan yang semakin jarang
dikuatkan oleh wawancara. Dalam proses wawancara, disebutkan bahwa ruwatan
tidak dapat dijelaskan dengan logika dan ilmu pengetahuan. Padahal, dalam zaman
modern, manusia semakin rasional dan berkembang. Maka, segala yang tidak dapat
dijelaskan dengan rasio dan akal, akan semakin terkikis dan ditinggalkan. Di samping itu, perubahan cara
pandang ini dipengaruhi pula oleh paham keselamatan dan kebahagiaan. Letak
dasar keselamatan yang ada dalam agama tradisional telah digantikan dengan
keselamatan dalam agama rasional, yang didasarkan pada kitab suci dan yang
transenden.
Selain itu, pemaknaan agama yang
masuk, membuat manusia ke luar dari pemaknaan Jawa dan masuk dalam
pemaknaan agama tersebut. Emosi keagamaan beralih menuju agama yang dianut.
Maka, benarlah hipotesa pertama, bahwa makna ruwatan bergeser karena
rasionalitas agama yang masuk.
Namun, ruwatan dipahami sebagai
tradisi dan simbol yang harus dilestarikan sebagai local wisdom. Maka, ruwatan dimasukkan dalam bagian di ekaristi
(agama katolik), diubah pengantar dan doanya (agama islam). Berbagai usaha
tersebut menunjukkan bahwa ruwatan tetap menjadi tradisi yang baik untuk
dilestarikan.
J.
Daftar
Pustaka
Kustono, Hari,
2006 “Ruwatan:
Tinjauan Alkitabiah”,
Studia
Philosophia et theological :Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Widya Susana, Malang
Martasudjita, E.,
2003 Sakramen-Sakramen Gereja,
Kanisius : Yogyakarta
Geertz, Cliffort,
1992 Kebudayaan dan Agama; Bab VII Agama sebagai Sistem
Kebudayaan,
Kanisius, Yogyakarta
1992 Kebudayaan dan Agama. Bab
III: “Ritus dan Perubahan Sosial: Pemakaman di Jawa”, Kanisius, Yogyakarta.
S.Rukosusilo,
2006 “Ruwatan dalam Budaya Jawa”,
Studia
Philosophia et theologica, Sekolah Tinggi
Filsafat Teologi Widya Susana, Malang
[1] Hari Kustono,
“Ruwatan: Tinjauan Alkitabiah”, Studia
Philosophia et theologica, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Susana,
Malang, Vol.6 No.1 Maret 2006, 72.
[2] S. Reksosusilo,
“Ruwatan Dalam Budaya Jawa”,
dalam Studia Philosophicaet Theologica
Vol. 6. No. 1, 2006, 45-46.
[3] Hari Kustono,
“Ruwatan: Tinjauan Alkitabiah”, Sekolah
Tinggi Filsafat Teologi Widya Susana, Malang, Vol.6 No.1 Maret 2006, 72.
[6] Bapak Tugino
menjelaskan bahwa setiap anak itu sudah dihitung sejak keberadaannya di muka
bumi. Primbon menggambarkan secara detail tentang nasib anak pada tanggal ia
dilahirkan, menurut perhitungan jawa.
[7] Cliffort Geertz , Kebudayaan dan
Agama. Bab III: “Ritus dan Perubahan Sosial: Pemakaman di Jawa”, Kanisius,
Yogyakarta, 1992,76.
[8] Cliffort
Geertz , Kebudayaan dan Agama. Bab III: “Ritus dan Perubahan Sosial: Pemakaman
di Jawa”, 77.
[9] Cliffort Geertz, Kebudayaan dan Agama; Bab VII Agama sebagai
Sistem Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, 393.
[10] S.Rukosusilo,
“Ruwatan dalam Budaya Jawa”,Studia
Philosophia et theologica, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Susana,
Malang, Vol.6 No.1 Maret 2006, 36-40.
[12] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, Kanisius, 235
0 komentar:
Posting Komentar