Technology

Fashion/feat-big

Senin, 27 Februari 2017

Meneropong Budaya Jawa "RUWATAN"

 Meneropong Budaya Jawa 
"RUWATAN"
A.  Latar Belakang
Daya transendensi mengarahkan manusia untuk ke luar dari diri, mencari makna, dan melakukan transformasi. Manusia berusaha mencari makna diri, makna hidup, paham keselamatan, cara hidup, dll. Salah satu tema yang sangat sering dicari manusia adalah paham keselamatan dan kebahagiaan hidup. Manusia menghidupi cara tertentu untuk mencapai sebuah keselamatan di dunia, yang disebut sebagai mung mampir ngombe. Semua itu mengarahkan kepada sebuah kepenuhan makna yang dapat memuaskan batin manusia.
Dalam kebudayaan Jawa, terdapat satu tradisi yang berbicara mengenai keselamatan, yaitu ruwatan. Ruwatan berusaha menyelamatkan anak sukerta yang ‘diincar’ oleh bathara kalla untuk dijadikan ‘makanan’nya. Maka, untuk membebaskan anak sukerta dari belenggu batara kala, diadakanlah sebuah ritual ruwatan. Ruwatan menjamin keselamatan manusia, terutama mereka yang termasuk dalam anak sukerta.
Kehadiran agama modern menyebabkan terkikisnya makna ruwatan. Nilai-nilai yang ditawarkan agama menyebabkan pemahaman manusia terhadap ruwatan semakin berkurang. Manusia mulai percaya dan mengimani nilai agama tertentu dan meninggalkan makna ruwatan dalam perspektif tradisional.
Masalah muncul bagi masyarakat Jawa. Jika penjamin keselamatan (ruwatan) tersebut ditinggalkan, ritual lain apa yang dapat menjamin keselamatan masyarakat Jawa? Padahal, kembali pada uraian di atas, manusia selalu ingin mencari makna keselamatan di dunia ini.
B.  Rumusan Masalah
Pertama, Apa pengertian ruwatan secara tradisional? Kedua, Bagaimana realita ruwatan di zaman modern? Ketiga, Bagaimana analisis berkaitan dengan realita tersebut? Keempat, Apa pandangan Gereja Katolik tentang ruwatan?
C.  Hipotesis
1.       Pemahaman dan praktek ruwatan semakin terkikis oleh rasionalisme agama
2.       Ruwatan  sebagai simbol dalam sebuah kebudayaan Jawa
D.  Metode Penelitian
Metode yang kelompok gunakan adalah wawancara dan studi pustaka.
E.  Narasumber
1.       Bapak Sukardja M.W (kepala Desa) Jonggarangan II, Sendangaarum, Minggir, Sleman, pukul 12.00-14.00 WIB, pada tanggal 25 Mei 2014, di Rumah Bapak Sukardja.
2.       Bapak Barjo (pihak yang pernah diruwat), pukul 16.00-17.00, di Desa Beran Kidul, Tridadi, Sleman, Sleman.
3.       Bapak Yohanes Tugino (tokoh masyarakat), pukul 10.00-11.30, di Desa Daratan, Minggir, Sleman
F.   Analisis
F.1. Ruwatan Perspektif Tradisional
  F.1.1. Pengertian Ruwatan
Ruwatan berasal dari kata dasar ruwat yang berarti salah atau rusak. Ruwat juga diartikan dengan dibuat tidak berdaya (kejahatan, kutuk, pengaruh jahat). Ngruwat artinya membebaskan dari roh jahat. Beberapa pengertian, ruwatan hendak diartikan sebagai cara membebaskan manusia dari kutukan, roh jahat, dan dari pengaruh roh-roh yang membawa malapetaka.
  F.1.2. Anak sukerta
Orang-orang yang diruwat sering disebut dengan  kata sukerta atau sukarta. Sukerta dalam bahasa Indonesia memiliki dua arti yang “berlawanan”. Sukerta disatu sisi diartikan sebagai diganggu, diusik, dicela; disisi lain bisa berarti dibuat baik-baik, disambut dengan kehormatan, dan dimuliakan.[1] Anak sukerta adalah seorang anak yang diyakini sebagai orang yang hidup dalam bahaya, berada dalam situasi terancam dan diganggu Batara Kala. Ruwatan dimaksudkan untuk menyelamatkan orang sukerta dari malapetaka.
Dalam garis besarnya ada 3 (tiga) macam kelompok sukerta, yaitu :
  1. Sukerta karena kelahiran seperti anak tunggal, kembar; berdasarkan waktu kelahiran, misalnya anak yang dilahirkan tengah hari atau saat matahari terbenam dll. Sukerta kelompok ini adalah anak-anak yang sangat dicintai oleh orang tua mereka, keselamatan dan kebahagiaan mereka selalu dipikirkan oleh orang tua mereka. Terlebih para orang tua tersebut mengetahui bahwa anak-anak tersebut termasuk dalam daftar sukerta.
  2. Sukerta karena berbuat kesalahan meski tidak sengaja seperti : memecahkan gandhik, alat pembuat jamu; menjatuhkan dandang (tempat untuk menanak nasi) waktu sedang masak nasi.
  3. Sukerta karena dalam hidupnya terkena banyak musibah, sial, penyakit, dan sering diancam bahaya.
  F.1.3. Ritus
                        F.1.3.1. Sesaji Ruwatan[2]
Menurut ruwatan Murwakala, ada 36 jenis sesaji atau sajen yang harus dipenuhi. Sesaji itu berupa : Tuwuhan, yang terdiri dari: pisang raja, cengkirgadhing atau kelapa muda, dan pohon tebu wulung masing-masing dua pasang yang diletakkan di kanan-kiri kelir atau layar tempat pagelaran wayang kulit; parise gedheng yaitu : empat ikat padi sebelah menyebelah; satu buah kelapa yang sudah bertunas; dua ekor ayam (betina dan jantan) yang diikatkan pada tuwuhan di kanan-kiri kelir. Ayam jantan di kanan dan ayam betina di kiri; empat batang kayu bakar yang masing-masing panjangnya satu hasta (+ 40 cm); ungker siji yaitu satu buah gulungan benang; satu lembar tikar yang masih baru; empat buah ketupat; satu bantal baru; sebuah sisir rambut; sebuah sisir serit; sebuah cermin; sebuah payung; sebotol minyak wangi; tujuh macam kain batik;
Selain itu, daun lontar satu genggam; dua belah pisau; dua butir telur ayam kampung; gedhang ayu (pisang raja yang sudah masak) dan Suruhayu (sirih yang digulung dan diikat dengan benang putih. Krambil Grondhil (kelapa tanpa sabutnya), gula kelapa setangkep (sepasang), beras sapitrah (sejimpit), dan ayam panggang; air tujuh rupa bunga yang ditempatkan dalam jam bangan baru dan dimasuki uang logam; minyak kelapa untuk lampu blencong (lampu minyak untuk menerangi layar wayang kulit, digantung di atas kepala Dalang); nasi gurih (nasi uduk) dan daging ayam yang digoreng; satu gelas badheg yaitu arak kilangaren atau minuman keras; satu gelas air kilang tebu; tujuh macam tumpeng yaitu tumpeng Magana, tumpeng rajegdoni, tumpeng telur, tumpeng pucuk cabe merah, tumpeng tutul, tumpeng sembur, tumpeng robyong; tujuh macam jenangketan: dodol ketan, wajik, jadah, dan sebagainya; tukon pasar atau jajan pasar (buah-buahan dan kue yang bermacam-macam); ketupat lepet; jenang abang, jenang putih, jenang lemu; rujak legi; rujak croba; cacahan daging dan ikan; alat-alat dapur; kendi berisi air penuh; diyan anyar kang murub (pelita baru yang dinyalakan); dan seikat benang lawe. Upacara dipimpin oleh dalang senior yang juga keturunan seorang dalang. Sepanjang pertunjukan wayang, anak yang diruwat tidak boleh meninggalkan tempat.
       F.1.3.2. Mantra
Mantra merupakan unsur penting dalam upacara ruwatan. Ada lima golongan mantra yang digunakan dalam upacara ruwatan, yakni:
1.   Mantra yang berupa cerita yang perlu diikuti atau didengarkan oleh para peserta ruwatan, misalnya :Wa Kala Mur, yakni mantra yang berupa wejangan tentang sangkan paraning dumadi (asal mula dan tujuan hidup manusia). Segala sesuatu berasal dari Sang Hyang Wenang, meskipun pelaksanaannya diserahkan kepada Bathara guru.
2.   Mantra yang bermaksud untuk penyucian bagi yang diruwat atau yang akan meruwat, misalnya : Santi Purwa (permulaan penyucian), yakni mantra yang mengisahkan asal-usul anggota badan Batara Kalla.
3.   Mantra yang berupa sanjungan dalang kepada Bathara Kalla dan pengikutnya agar bersikap lunak dan lembut, misalnya :Sastra Gigir dan Caraka Balik, yakni mantra yang berisikan cerita bahwa dalam dahi Bathara Kala terdapat huruf Jawa yang susunannya terbalik, bukan ha-na-ca-ra-ka, dan seterusnya tetapi nga-tha-ba-ga-ma, dan seterusnya.
Contoh mantra Sastra Gigir : Hong, prayoganira, Sang Hyang Kamasalah, dadi daging sakkema lokadyagrah pasthi kamaya, amurub mangalad-aladange dalaken prabawa ketug kadilin dhuprahara, yen lumaku tanpa suku, lembehan tanpa tangan, aningalitan panetra, ambegan tanpa grana, celath tanpa lidhah, angen-ange ntanp adriya, anengsetrapi nandhaten.
4.   Mantra yang berupa harapan atau permintaan dalang kepada makhluk-makhluk yang tinggal di lingkungan rumah, pekarangan dan desa orang yang diruwat, misalnya : Balasrewu atau Mandhalagiri, yakni mantra yang dimaksudkan untuk mengusir pengikut-pengikut Bathara Kala.
5.   Mantra untuk mengumpulkan kekuatan gaib bagi dalang atau matekaji, misalnya :Kumbala Geni, yakni mantra yang menceritakan kembalinya Bathara Kala dan pengikut-pengikutnya pada kesejatian. Dengan demikian Bathara Kala dan pengikutnya tidak punya kekuatan lagi.
Semua mantra-mantra itu merupakan sarana untuk membebaskan orang sukerta dari penderitaannya, sehingga dapat hidup dengan tentram dan bahagia.
       F.1.3.3. Wayang
Dalam upacara ruwatan biasanya disertai dengan pertunjukan wayang yang mengambil lakon Murwakala.  Pada, prakteknya ruwatan serupa dengan ritus penyucian dalam rangka penyelamatan.[3] Lakon wayang tersebut hendak mengisahkan latar belakang adanya tradisi ruwatan. Istilah murwakala adalah gabungan dari dua kata, yaitu murwa (artinya purba, menguasai, murwani, atau memulai) dan kala (artinya waktu, ketika, saat, zaman, masa, kesempatan).[4] Murwakala adalah menguasai waktu.
       F.1.3.4. Potong Rambut
            Ritual potong rambut menjadi salah satu hal yang penting dalam ruwatan. Potong rambut melambangkan bahwa pihak tersebut telah diruwat. Ia telah dibebaskan dari kemalangan dan kesialan dengan simbol memotong rambut.
F.2. Ruwatan Perspektif Modern
Zaman sekarang, berbicara ruwatan akan sedikit asing. Banyak orang Jawa tidak melakukan ruwatan. Dahulu, ruwatan menjadi salah satu upacara penting dalam tradisi Jawa. Namun, ruwatan mengalami perubahan makna. Masyarakat yang tumbuh sekarang adalah masyarakat yang modern dan berkembang. Sebenarnya, tradisi ini tidak ditinggalkan, tetapi sudah tidak umum.
Jika melihat situasi sekarang, hampir pasti semua akan masuk dalam kriteria ruwatan. Contohnya saja program keluarga berencana (KB) membuat keluarga hanya memiliki dua atau tiga anak. Akan tetapi, zaman sekarang ruwatan sudah mulai tidak umum di masyarakat zaman sekarang, kalau ada pun hanya sedikit.
Ruwatan telah tumbuh selama berabad-abad dalam tradisi Jawa. Tentu saja, tradisi ini banyak mengalami proses perubahan sampai pada bentuk sekarang ini. Umumnya, upacara Ruwatan diselenggarakan dengan pergelaran Wayang yang ditampilkan secara simbolik dan metafolik yang serba estetis. Pesan itu merupakan hasil penghayatan para leluhur dalam hidup dengan alam.
Penyampaian pesan simbolik mempunyai tujuan agar nilai- nilai yang diungkapkan dapat terpelihara. Apabila pesan itu disampaikan secara lugas, niscaya penerimaannya tidak berbeda dengan informasi biasa dalam kehidupan sehari-hari, artinya sesudah pesan itu diterima oleh pendengarnya, maka selesailah fungsi pesan itu dan tidak mengesan di dalam hati. Upacara Ruwatan dilaksanakan dalam suasana hening dan sakral. Bukanlah benda yang disakralkan, melainkan nilai yang terkandung di dalamnya. Secara rasional dapat diuraikan bahwa Ruwatan bertujuan untuk membersihkan jiwa anak sukerta dengan dibekali berbagai ajaran etika dan moral yang terungkap dalam upacara, dalam pergelaran wayang, dalam makna simbolik setiap perlengkapan, termasuk sesaji.
Pada zaman dahulu, masyarakat terutama pada masyarakat Jawa pedalaman masih sangat kental memegang teguh adat istiadat dan budaya warisan pendahulu mereka, termasuk di dalamnya tradisi ruwatan. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa dahulu, orang yang termasuk dalam kategori sukerta, tetapi tidak melaksanakan tradisi ruwatan akan diasingkan dan dikucilkan oleh warga masyarakat yang lain. Mereka beranggapan bahwa masyarakat akan dalam kondisi berbahaya dan mendapatkan bencana apabila orang dalam kategori sukerta tersebut tidak melaksanakan ruwatan.
Kepercayaan tersebut menyebabkan tradisi ruwatan ini mampu bertahan sampai sekarang. Selain itu, konsep keseimbangan mikro-kosmos dan makro-komos dalan kehidupan, menambah kuat hadirnya tradisi ruwatan di masyarakat Jawa. Setelah itu, masuknya Islam pada sekitar abad ke-15, berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu kerajaan Demak tidak menyusutkan tradisi ruwatan ini. Hal ini disebabkan pola persebaran agama Islam yang dikembangkan oleh para Walisongo adalah pola yang mengedepankan aspek toleransi umat beragama dan akulturasi antar budaya Islam dengan budaya setempat sehingga tradisi-tradisi Jawa kuno semacam ruwatan masih dapat eksis.
Hal yang berubah adalah pada aspek tujuan dan doa pengantar yang sudah diganti dengan ajaran-ajaran yang bernuansa Islam. Pada masa sekarang, orang sangat menghargai hukum kausalitas dan pola pikir rasional. Keberadaan ruwatan semakin tergeser oleh kemajuan teknologi dan rasionalitas pola pikir masyarakat. Selain itu, pemahaman masyarakat tentang konsep beragama yang baik dan benar juga memiliki andil yang besar dalam mengikis tradisi-tradisi bernuansa magis.
Kini, apabila masyarakat ditimpa musibah, mereka lebih memilih kegiatan-kegiatan yang bernuansa agamais, misalnya para pemeluk agama Islam mereka akan lebih senang melakukan istigosah (doa bersama) dibanding melakukan ruwatan. Banyak pemeluk agama Islam yang tidak mau melakukan tradisi ruwatan karena memerlukan banyak biaya (menyiapkan ubo rampe- wayang dan sesaji-) dan takut terjebak dalam konsep “sirik” (menyekutukan Allah dengan kekuatan yang lain). Selain itu dalam agama Katolik juga percaya ketika orang dibaptis dan melalui sakramen-sakramen yang ada dalam Gereja Katolik orang pun diselamatkan. Sehingga praktek agama sekarang yang ada membawa faham keselamatan yang baru.
Tradisi ruwatan masih dijumpai pada lingkungan Keraton (Jogja dan Solo). Selain itu, banyak pihak yang masih menganut tradisi ini. Biasanya kelompok- kelompok yang menganut paham/aliran kejawen dan kebatianan, umumnya mereka banyak terdapat di daerah Jawa Tengah bagian Selatan dan di Yogyakarta.
Masyarakat zaman sekarang memandang ruwatan sudah tidak seperti dahulu. Ruwatan bukan menjadi upacara yang wajib untuk dilakukan untuk menghilangkan sial. Masyarakat zaman sekarang lebih melihat sesuatu sebagai real. Pemikiran orang zaman sekarang lebih maju dan sederhana. Namun, masyarakat Jawa tetap menghargai ruwatan ini sebagai tradisi yang sarat dengan makna. Zaman sekarang, ruwatan semakin langka, tetapi tetap ada menjadi tradisi.
Maka, jaminan keselamatan yang dapat dipahami oleh manusia hadir dalam agama. Manusia tidak lagi mendasarkan keselamatan dari ritus ruwatan saja, tetapi sudah dilengkapi dengan pemahaman agama.
F.3. Hasil Wawancara
Bapak Sukardja, seorang Kepala Dukuh yang walaupun bukan dalang, beliau sering membantu orang untuk melakukan ritual ruwatan. Karena itu, kami melakukan wawancara dengan beliau untuk semakin memahami makna ruwatan dan nilai-nilai yang mau dibawa dari ruwatan.
Ruwatan merupakan sebuah ritual yang sudah melekat pada masyarakat Jawa dan identik dengan Betara Kala. Setiap manusia selalu memiliki kala (nasib buruk ) yang di bawa sejak lahir. Ruwatan mau memutus perangkap Kala agar seseorang terbebas dari nasib buruk dan diharapkan dapat memperoeh berkat. Dalam proses ruwatan ada mantra-mantra tertentu ( tidak dapat diucapkan secara sembarangan). Oleh karena itu, kami tidak dapat mengetahui mantra-mantra apa saja yang diucapkan dalam proses ruwatan. Namun pada intinya ruwatan mengandung makna demikian: “Luarna saka bebendu, udara saka bebanda, karana nemu rahayu ingkang kepanggih wuri”
Ruwatan sebagai pelepas perangkap Kala, tidak dapat dijelakan secara logika-ilmu pengetahuan. Makna ini hanya dapat dipahami dalam masyarakat Jawa. Sebuah pengalaman yang diugkapkan oleh Bapak Sukardja dapat memperjelas makna ruwatan. Ada seorang wanita yang memiliki “toh” atau semacam tanda lahir di bagian tubuhnya. Setiap malam jumat toh” yang berbentuk naga tersebut bergerak. Dampaknya adalah wanita tersebut mendapat malapetaka. Karena itu, ruwatan diadakan. Setelah ruwatan, toh tersebut hilang dan wanita tersebut tampak lebih cerah.
Ruwatan diilhami dari kisah Betara Guru yang nafsunya tidak tersalurkan dengan tepat pada Dewi Uma, benih itu jatuh di lautan yang menghasilkan sebuah cahaya. Saat para dewa bermaksud menghancurkan cahaya tersebut dengan berbagai senjata justru lahir sesosok raksasa yang dikenal dengan Betara Kala. Ia membuat persyaratan dengan Betara Guru apa saja yang boleh ia makan sebagai tumbal. Orang yang menjadi tumbal inilah yang dikenal dengan sukerta.
Betara Guru dan Berata Kala ada dalam setiap manusia, Betara Guu melambangkan kekuasaan, sedangkan Betara Kala melambangkan nafsu. Kedua hal tersebut tidak terpisahkan dalam diri manusia.
Oleh karena itu, ruwatan dipahami sebagai pelepasan anak sukerta dari belenggu Betara kalla. Mereka yang bisa meruwat adalah orang-orang tertentu (manuggaling Kawula Gusti), bahkan, tidak semua dalang bisa melakukan ruwatan. Untuk dapat mencapai tahap ini, orang harus mampu mengendalikan pikiran/pemurnian pikiran, pemurnian hati dan kelamin (nafsu birahi). Oleh karena itu, mereka tidak lagi memikirkan hal-hal duniawi, harta benda dan untung rugi. Mereka yang diruwat juga secara otomatis menjadi anak dari si peruwat. Jika relasi ini tidak terjadi, maka daya ruwatan tidak akan berguna.
Para peruwat bisa memutus perangkap Kala dengan “caraka balik” (mengembalikan kesialan kepada Betara Kala). Mereka juga memiliki “Rajah Kala Caraka” (senjata yang dimiliki Betara Kala). Senjata itu digunakan untuk melawan Kala yang berisi doa dan pujian yang berisi caraka balik. Pemaknaan caraka balik adalah aksara jawa yang di baca dengan urutan terbalik.
Keberadaan mitos tentang Batara Kalla tidak dapat dijelaskan secara logis oleh masyarakat jawa. Mitos tersebut sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat jawa, semua itu telah menjadi satu kesatuan. Dalam wawancara yang telah kami lakukan, masyarakat meyakini bahwa nasib itu ada dalam diri manusia. Setiap orang selalu memiliki nasib dan itu sudah ditentukan oleh Yang Ilahi sejak kelahiran manusia itu. Bagaimanapun juga, nasib tidak dapat ditentukan sendiri tapi bisa diubah jika Gusti menghendaki, semua gumantung ing Gusti.[5]
Pandangan tentang nasib telah membangun cara bertindak, berpikir, dan merasa masyarakat jawa. Mereka akan merasa cemas bila sesuatu akan datang kepada mereka di masa mendatang, terkait dengan nasib buruk itu. Bapak Tugino sebagia tokoh masyarakat meyakini bahwa kehadiran anak juga terkait dengan keberadaan nasib. Setiap anak membawa nasibnya sendiri.[6] Anak yang tidak disukerta akan membawa nasib buruk  bagi seluruh keluarga dan juga masa depan anak. Di sinilah, ruwataan dimungkinkan untuk membalik nasib manusia dari yang buruk ke yang baik. Nasib ini bukan sebatas gugon tuhon, melainkan sudah menjadi keyakinan masyarakat jawa. Keyakinan itu tidak dapat dijelaskan dengan dasar logika atau yang rasional. Keyakinan itu menjadi jiwa dalam masyarakat.   
G.  Ruwatan dan Tinjauan Budaya
Ruwatan merupakan tradisi religius Jawa, khususnya bagi orang-orang yang masih melekatkan pada kebudayaan Jawa. Cliffort Geertz dalam Ritus dan perubahan pemakaman di Jawa memperhatikan suatu dasar timbulnya suatu campuran unsur India, Islam dan unsur pribumi dalam budaya ruwatan.[7] Ketiga unsur tersebut membentuk ritual ruwatan sebagai bagian yang mengintegrasikan masyarakat. Cliffort Geertz menenekankan cara pandang berbeda terhadap kepercayaan dalam ritus tersebut. Secara jelasnya, ia mengungkapkan bahwa kepercayaan itu membentuk ikatan sosial tradisional di antara individu-individu. Pendekatan fungsional ini menggagas bahwa ruwatan memiliki artinya dalam hubungannya dengan lingkup secara tradisional. Maka dari itu, secara fungsional, ruwatan dipahami sebagai sistem simbolik di dunia. Sistem simbolik tersebut mengartikan ruwatan bukan tradisi yang mewajibakan masyarakat untuk melakukannya, melainkan lebih soal membangun integrasi sosial dan kebudayaan.  Walaupun pemahaman ruwatan tersebut tidak dapat dipisahkan dari struktur simbol dan makna dalam diri orang Jawa.
Tradisi ruwatan dalam budaya Jawa dipandang mengahadirkan filosofi yang begitu dalam. Filosofi itu membangun dan membentuk cara berada manusia Jawa, dalam berpikir, bertindak, dan merasa. Filosofi ruwatan tersebut menjadi jiwa bagi masyarakat Jawa, filosofi itu membangun identitas manusia Jawa. Dalam filosofi itu terkandung simbol dan makna yang tegas sebagai esensi dari cara berada orang Jawa. Simbol tersebut menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat dan tidak mudah hilang dalam diri orang. Bahkan simbol tersebut membangun orang untuk membedakan dan mengarahkannya pada apa yang baik dan yang jahat, apa yang benar dan salah pada dirinya. Secara tegas, Emile Durkheim menjelaskan simbol tersebut sebagai kesempatan membangun komitmen bersama dalam  komunitas dan masyarakat. Masyarakat secara bersama-sama meletakkan nilai yang dihayati sebagai nilai yang mempersatukan, di mana nilai tersebut terwujud dalam kepercayaan, tradisi, dan ritual. Tiga bagian ini merupakan bagian yang hakiki dalam diri masyarakat Jawa. Ketiga ini menghadirkan simbol yang melekat dalam diri orang Jawa.
Ruwatan ditempatkan sebagai bentuk kepercayaan dalam tradisi. Dalam penghayatan itu, Durkheim menyebut penghayatan yang dihidupi untuk melanjutkan terciptanya keharmonisan dalam alam dan manusia. Secara jelasnya, Emile Dhurkheim mempertajam usaha mencapai keharmonisan dalam kaitannya masuk dalam kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan tersebut melambangkan suatu kedamaian yang roh dengan manusia. Bagi masyarakat Jawa, mereka meyakini bahwa roh akan membantu manusia dalam  kehidupan atau sebalinya memberi malapetaka bagi manusia. Keyakian itu membuat mereka berusaha menjauhkan diri dari roh yang dapat mencelakakan mereka. Kenyataan demikian membuat anak sukerta (yang disimbolkan dengan keterikatan pada yang jahat atau bathara kalla) perlu diruwat agar terbebas dari kuasa yang jahat.
Orang Jawa meyakini bahwa keberadaan anak sukerta yang tidak diruwat akan memberi pengaruh buruk pada diri anak dan seluruh keluarga. Bagi mereka, ruwatan menjadi bagian yang tidak dapat dihilangkan. Keharmonisan dengan alam perlu dijaga dan diharmoniskan. Hal demikian menuntut mereka untuk meruwat anak sukerta.
Dalam perkembangan dewasa ini, Cliffort Geertz memberi penjelasan berkaitan dengan tindakan ruwatan yang tidak terlalu dihidupi atau dilestarikan lagi. Suatu persoalan yang hendak diJawab dalam hipotesis ini ialah mengapa filosofi ruwatan mengalami perubahan pemaknaan dan pemahaman dalam diri orang Jawa dewasa ini?
Emile Durkheim memandang bahwa agama dan magis sama-sama berusaha menjelaskan cara kerja alam agar dapat dikuasai demi kepentingan manusia (Emile Durkheim; Kesakralan Masyarakat). Agama ataupun magis dasarnya meiiliki suatu yang baik dan buruk. Dalam pandangan Durkheim, keberalihan pemahaman akan yang magis (dalam tradisi ruwatan) kepada agama bukan pertama-tama disebabkan pembedaan yang sakral dan yang profane. Bagi Durkheim, agama dan magis memiliki konsentrasi yang berbeda pada awalnya. Namun perubahan itu dipanang sebagai hasil dari pengaruh sosial yang sangat drasti. Cliffort Geertz memandang kondisi Jawa telah mengalami perubahan yang signifikan. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, penyebaran mata uang, diferensiasi pekerjaan, telah melemahkan ikatan tradisional. Perubahan struktur sosial telah mengganggu keseragaman kepercayaan dan praktek religius yang mencirikanmasa yang lebih awal.[8] Munculnya nasionalisme, pembaruan islam (dan agama-agama lainnya)  sebagai ideology yang sebagain diakibatkan pertambahan kompleksitas masyarakat Jawa, telah mempengarui kepercayaan ini.
Cliffort Geertz memandang perubahan sosial sebagai pergeseran dari sebuah situasi yang di dalamnya ikatan-ikatan pemersatu yang bersifat primer di antara para individu bergeser ke kepentingan ideologis (ideological like-mindedness). Perubahan sosial itu membuat orang semakin berpikir kritis dan rasional terhadap dunia sekarang ini. Namun perlu dipahami juga, Max Weber mencoba membagi dua agama dalam sejarah hidup manusia, yakni agama rasional dan tradisional.  Weber menyebut agama tradisional sebagai agama  magis yang identik dengan masyarakat primitif dan politeisme. Mereka tenggelam dalam roh-roh dan memberi kesadaran pada usaha memegang teguh dan mempertahankan agama. Sedangkan, agama rasional tidak melihat berbagai bentuk roh-roh tersebut. Agama itu adalah agama yang logis dan rasional di mana Allah tidak berada bersama dengan manusia di dunia tetapi ada “di atas”, terpisah dengan manusia. Allah adalah realitas transenden yang menjamin keselamatan bagi para pemeluknya. Dalam agama rasional, keselamatan pertama-tama dipusatkan dalam realitas yang transeden. Kesadaran memeluk dan memusatkan perhatian padanya akan menjamin keselamatan setiap individu. Bahkan pula, kitab suci dipanang sebagai sabda yang membantu individu mencapai keselamatan. Meletakkan dasar pemikiran dan kepercayaan pada tuntutan kita suci akan mengahantarkannya pada keselamatan. Maka diri sini, ada dua hal yang membedakan sistematis agama tradisional dan agama rasional, yakni jaminan keselamatan dan kitab suci sebagai tuntunan hidup yang dipandang rasional.
Cliffort Geertz menjelaskan pemikirannya berdasarkan pandangan Weber. Bagi Cliffort Geertz, orang sekarang ini meyakini satu agama. Jika dilihat dalam jumlah keagamaannya, hampir dipastikan bahwa masyarakat Jawa menganut satu agama rasional. Kenyataan demikian sedikit demi sedikit mengubah cara pandang manusia terhadap agama tradisional atau agama magis. Pemikiran atau cara pandang orang yang telah dicampuri oleh agama rasional mulai mempermasalahkan dan mempertanyakan tentang keberadaan makna hidup, kejahatan, penderitaan, dan kesengsaraan. Mereka menginginkan satu Jawaban yang tegas dan rasional. Jawaban terpisah-pisah seperti yang dijelaskan oleh agama tradisional tidak dapat mereka terima. Masyarakat modern meminta Jawaban yang logis atas hal tersebut. Maka dari itu, Cliffort Geertz menekankan bahwa agama tradisional tidak dapat lagi memberikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dewasa ini.[9]
Dilihat dari pendekatan ekonomi, masyarakat modern berpikir lagi terhadap tradisi ruwatan. Ritus upacara ruwatan yang mengharuskan menghadirkan dalang dan sesaji dipandang terlalu banyak mengeluarkan banyak biaya. Bagi mereka yang berada dalam ekonomi menengah bawah, ruwatan menjadi bagian terlalu memperberat mereka. Bahkan pula, kriteria anak sukerta memiliki terlalu banyak kompleksitas permasalahan dan setidaknya ada 134 jenis anak sukerta yang perlu diruwat.[10] Hal demikian menjadi faktor yang membuat ruwatan tidak disadari sebagai bagian yang eksistensial dalam masyarakat Jawa.
Perubahan rasionalitas manusia tidak menghilangkan atau menyingkirkan simbol dan makna ruwatan dalam masyarakat tetapi mengubah kosep tersebut dalam prespektif yang lebih rasional. Ruwatan tetap menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan. Simbol tersebut hanya ditempatkan dalam cara pandang yang berbeda, khususnya dalam membangun suatu sistem integrasi dalam masyarakat dengan dasar satu budaya Jawa yang sama.
H.  Ruwatan Perspektif Gereja Katolik : Sakramen Baptis
Dalam tradisi ruwatan di Jawa, orang yang diruwat diyakini telah diselamatkan dari Batara Kala. Jauh sebelum agama-agama masuk di Indonesia, ruwatan dimengerti sebagai sebuah tradisi kultis untuk mencapai sebuah keselamatan lahir dan batin. Namun, ketika agama-agama masuk di Indonesia, orang Jawa tidak lagi memahami ruwatan hanya sebatas tradisi kultis, tetapi juga  memahaminya sebagai sebuah simbol keselamatan bagi manusia. Maka, dalam kaitannya dengan hal tersebut, Gereja Katolik khususnya, juga memiliki sebuah tradisi kultis yang amat kuno untuk menjamin keselamatan manusia dari lingkaran dosa asal yang dibawanya sejak lahir. Tradisi kultis yang amat kuno dipraktekkan di dalam Gereja itu adalah perayaan Sakramen Baptis.
Kata baptis berasal dari kata Yunani baptisma, yang berarti membenamkan, mencelupkan atau menenggelamkan ke dalam air, entah seluruhnya atau sebagian. Dalam perayaan baptis, yang menjadi ritus utamanya adalah membenamkan seseorang ke dalam air, atau kalau dalam Gereja Katolik, air itu hanya dicurahkan ke dahi seseorang yang dibaptis sebanyak tiga kali.
Dalam tradisi Israel, upacara baptisan dikenal dalam banyak upacara pentahiran (Im 11-15; Bil 19), termasuk juga upacara pentahiran yang menggunakan percikan air (Bil 19:17-22) ataupun menenggelamkan diri di sungai (2 Raj 5:14). Dalam Perjanjian Baru St. Yohanes Pembaptis, membaptis banyak orang, termasuk Yesus, di sungai Yordan. Baptisan Yohanes itu memiliki makna sebagai pengampunan dosa. “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu” (Mrk 1:4). Maka, pertobatan yang diserukan oleh Yohanes ini terutama berkaitan dengan persiapan diri akan kedatangan Kerajaan Allah.[11] 
Praktek upacara baptis pada abad pertengahan, banyak orang meyakini bahwa hanya mereka yang dibaptis yang akan selamat. Mereka yakin bahwa siapa yang tidak dibaptis akan masuk neraka, karena dosa asal yang mereka bawa sejak lahir. Namun, pemahaman akan keselamatan yang hanya dicapai melalui baptis itu, kembali diluruskan oleh konsili Vatikan II. Konsili Vatikan menyatakan bahwa Gereja yang berziarah ini tetap perlu bagi jalan keselamatan (LG 14).  Namun dalam LG 16 mengakui adanya kebenaran yang sungguh berasal dari Allah di luar Gereja dan berbicara mengenai keselamatan bagi setiap orang yang dengan tulus mencari dan merindukan Allah. Keselamatan sesungguhnya menunjuk suatu pengertian yang lebih luas daripada Gereja. Dalam hal ini, Gereja ditempatkan sebagai sakramen keselamatan dunia. keselamatan itu ditampakkan dan dilaksanakan dalam Gereja, khususnya secara konkret dirayakan dalam sakramen-sakramennya, terutama sakramen Ekaristi.[12]
Demikianlah, sakramen baptis menjadi tanda keselamatan Allah kepada manusia yang dilaksanakan oleh Gereja. Sama halnya dengan upacara ruwatan yang bertujuan untuk melepaskan seseorang dari kesukertaannya sejak lahir, sakramen baptis akan melepaskan kita dari dosa asal yang kita terima sejak lahir. Hanya yang membedakan, sakramen baptis yang kita terima bukan saja membersihkan kita dari dosa asal, tetapi dengan dibaptis, kita percaya bahwa kita juga akan diangkat sebagai anak-anak Allah dalam persekutuan dengan Gereja-Nya yang Kudus, Katolik dan Apostolik.  
I.    Kesimpulan
Realita ruwatan yang semakin jarang dikuatkan oleh wawancara. Dalam proses wawancara, disebutkan bahwa ruwatan tidak dapat dijelaskan dengan logika dan ilmu pengetahuan. Padahal, dalam zaman modern, manusia semakin rasional dan berkembang. Maka, segala yang tidak dapat dijelaskan dengan rasio dan akal, akan semakin terkikis dan ditinggalkan. Di samping itu, perubahan cara pandang ini dipengaruhi pula oleh paham keselamatan dan kebahagiaan. Letak dasar keselamatan yang ada dalam agama tradisional telah digantikan dengan keselamatan dalam agama rasional, yang didasarkan pada kitab suci dan yang transenden.  
Selain itu, pemaknaan agama yang masuk, membuat manusia ke luar dari pemaknaan Jawa dan masuk dalam pemaknaan agama tersebut. Emosi keagamaan beralih menuju agama yang dianut. Maka, benarlah hipotesa pertama, bahwa makna ruwatan bergeser karena rasionalitas agama yang masuk.
Namun, ruwatan dipahami sebagai tradisi dan simbol yang harus dilestarikan sebagai local wisdom. Maka, ruwatan dimasukkan dalam bagian di ekaristi (agama katolik), diubah pengantar dan doanya (agama islam). Berbagai usaha tersebut menunjukkan bahwa ruwatan tetap menjadi tradisi yang baik untuk dilestarikan.

J.   Daftar Pustaka
Kustono, Hari,
2006           “Ruwatan: Tinjauan Alkitabiah”,
Studia Philosophia et theological :Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Susana, Malang
Martasudjita, E.,
2003           Sakramen-Sakramen Gereja,
Kanisius : Yogyakarta
Geertz, Cliffort,
1992           Kebudayaan dan Agama; Bab VII Agama sebagai Sistem Kebudayaan,
Kanisius, Yogyakarta
1992           Kebudayaan dan Agama. Bab III: “Ritus dan Perubahan Sosial: Pemakaman di Jawa”, Kanisius, Yogyakarta.
S.Rukosusilo,
2006           “Ruwatan dalam Budaya Jawa”,
Studia Philosophia et theologica, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Susana, Malang




[1] Hari Kustono, “Ruwatan: Tinjauan Alkitabiah”, Studia Philosophia et theologica, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Susana, Malang, Vol.6 No.1 Maret 2006, 72.
[2] S. Reksosusilo, “Ruwatan Dalam Budaya Jawa”, dalam Studia Philosophicaet Theologica Vol. 6. No. 1, 2006, 45-46.
[3] Hari Kustono, “Ruwatan: Tinjauan Alkitabiah, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Susana, Malang, Vol.6 No.1 Maret 2006, 72.
[4] Hari Kustono, “Ruwatan: Tinjauan Alkitabiah, 73
[5] Keyakinan yang dipegang oleh Bpk. Barjo dan Bpk. Tugino.
[6] Bapak Tugino menjelaskan bahwa setiap anak itu sudah dihitung sejak keberadaannya di muka bumi. Primbon menggambarkan secara detail tentang nasib anak pada tanggal ia dilahirkan, menurut perhitungan jawa.
[7] Cliffort Geertz , Kebudayaan dan Agama. Bab III: “Ritus dan Perubahan Sosial: Pemakaman di Jawa”, Kanisius, Yogyakarta, 1992,76.
[8] Cliffort Geertz , Kebudayaan dan Agama. Bab III: “Ritus dan Perubahan Sosial: Pemakaman di Jawa”, 77.
[9] Cliffort Geertz, Kebudayaan dan Agama; Bab VII Agama sebagai Sistem Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, 393.  
[10] S.Rukosusilo, “Ruwatan dalam Budaya Jawa”,Studia Philosophia et theologica, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Susana, Malang, Vol.6 No.1 Maret 2006, 36-40.
[11]  E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, Kanisius, Yogyakarta, 2003, 218
[12] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, Kanisius, 235
Share:

0 komentar:

Arsip Blog

Definition List

3/recent/ticker-posts

Unordered List

5/Technology/col-left

Support

5/Nature/col-left